Empat Belas

1681 Words
Suara derap langkah kaki Dian dan Aku mengundang beberapa pasang mata ke arah kami, tapi kami tak peduli sama sekali jika kami membuat berisik. "Pasien kecelakaan!" seru Dian di bagian informasi. Dua orang petugas perempuan di hadapannya saling pandang bingung, mereka berdua tak mengerti sama sekali apa maksud Dian barusan. Aku maju ke depan. "Apa ada pasien kecelakaan barusan? Seorang gadis, katanya sudah ada di sini." "Siapa namanya?" tanya salah satu dari kedua orang perempuan di hadapanku. "Soraya" kataku dan Dian bersamaan. Sekali lagi dua orang perawat itu saling pandang sebelum melihat ke layar komputer di hadapan mereka yang letaknya agak di bawah. "Soraya Andri Wicaksana?" tanya perawat yang ada di hadapanku. Aku dan Dian hampir mengangguk berbarengan. "Kamar rawat melati nomer dua belas." katanya menjawabku. Aku dan Dian segera menuju ruangan yang baru saja disebutkan oleh petugas tersebut. Kami mencari-cari kamar melati di dalam peta rumah sakit yang terletak di salah satu dinding diantara stiker lainnya yang ada di sepanjang dinding. Lantai tiga ruang Melati, itu artinya kami harus naik lift. Ada dua lift di hadapan kami, salah satunya tertutup dan bertuliskan dalam perbaikan sedang yang lainnya sedang berjalan ke atas, saat aku melihat sudah berjalan ke lantai lima. Terlalu lama menunggu lift, aku dan Dian saling pandang lalu kami memutuskan untuk menapaki tangga darurat. Malam telah sangat larut saat aku dan Dian akhirnya menemukan kamar Soraya. Di luar kamar terlihat Mama Soraya sedang menangis dalam pelukan suaminya, Andri Wicaksono. Kedatanganku dan Dian membuat Papa Soraya menatapku kaget. "Tante... " panggilku. Mama Soraya mendongak terkejut dan menatap suaminya sejenak sebelum menatapku kembali. "Alya?" panggilnya. "Kok kamu tahu Soraya ada di sini?" tanya beliau. "Alya tahu dari petugas Ambulance yang angkat ponsel Soraya saat Alya telepon." "Ya Tuhan... "kata Mama Soraya seraya berdiri dan memelukku. "Bagaimana bisa kecelakaan itu terjadi tante?" tanyaku. "Tan-tante gak tahu Al, kejadiannya sungguh sangat cepat." katanya seraya melepaskan pelukanku. "Boleh Alya lihat ke dalam?" tanyaku dan ia menggangguk. "Permisi ya, tante om." kataku lagi dan keduanya mengangguk pelan. Aku dan Dian berjalan dua langkah menuju kamar Soraya. Aku membuka pintu kenopnya dan tampak di kedua mataku Soraya tengah terbaring dengan jarum inpus yang ada di punggung tangan kirinya. Selang oksigen di hidungnya dan kepalanya diperban keliling. Hatiku terasa ngilu melihatnya seperti itu. Perlahan aku melangkah masuk setelah Dian mengangguk kecil ke arahku. Bibir Soraya terkatup rapat. Bajunya telah berganti dengan baju rumah sakit. Ketika aku menengok ke lantai, aku melihat ada kantong plastik, iseng, aku membukanya dan seketika itu pula mulutku menganga dengan tangan yang bergetar hebat. Aku buru-buru menutup kantong plastik itu lagi dan mengangkat tanganku saat aku bisa mengendalikannya. Aku menatap Soraya sejenak dan melihatnya ngeri saat aku teringat kecelakaan yang baru saja menimpanya. Pintu kamar Soraya terbuka, Mama dan Papanya masuk ke dalam. Mamanya masih kelihatan sedih. "Masa kritisnya telah lewat, kita hanya menunggu dia sadar. Ia harus sadar dalam dua kali empat jam, jika tidak maka Soraya akan koma." "Apa? Koma tante?" tanyaku tak percaya dan tante itu kembali mengangguk dengan air mata yang meleleh kembali. "Ada pembuluh darah yang tersumbat di otaknya. " kata tantenya lagi. "Apa tidak bisa dilakukan operasi, tante?" tanya Dian. "Om belum bicara lebih jauh lagi dengan dokter, Dian, jadi kami belum tahu penanganan selanjutnya gimana. Yang jelas dokter akan melakukan observasi lebih lanjut dan segera menghubungi kami, takutnya ada gejala yang lainnya." jelas Papa Raya. Aku memandang Soraya dengan tatapan lesu. Perlahan aku memasukkan tanganku di dalam selimut untuk meraih tangannya. Aku membelai lembut tangannya yang terkulai lemas di balik selimut. Tiba-tiba saja aku merasakan sesuatu yang aneh di tanganku. Ada yang memegang tanganku, kulitnya kasar sekali, aku merasakan sedikit lembab dan ada lendir juga. Apa ini? Apa yang sebenarnya tengah memegangku? Kubiarkan tanganku sejenak untuk digrayangi. Semakin lama tanganku semakin kuat ia ikat. Jantungku berpacu sangat-sangat cepat. Aku yakin sekali ada hal lain yang di balik selimut Alya. Bau anyir darah kembali menusuk hidungku. Aku berusaha mengendalikan diriku agar Om dan Tante tak kaget. Aku tak mau asal teriak saat mereka di hadapanku kini. Aku meremas celana Dian dengan tangan kiriku. Ia menoleh ke arahku dengan tatapan heran dan bertanya-tanya. Kuputar mataku ke arah selimut di mana tanganku berada dan Dian mengikuti arah mataku. Aku bisa merasakan tangan lain yang memegang tanganku kini mencengkramnya dengan sangat erat. Aku sudah tak tahan lagi, aku meremas kuat-kuat celana Dian untuk menahan cengkraman aneh di tangangku yang menyakitkan sekali. Dian bertindak. Ia menyingkap sedikit selimut Soraya dan seketika itu pula tanganku seolah terbebas dari cengkraman. Untung saja kejadian itu tak dilihat oleh Mama Soraya yang sedang berjalan menuju sofa di sudut ruangan dituntun oleh suaminya. Aku menarik tanganku dan memeriksanya. Dian ikut memeriksa tanganku dan benar dugaanku, ada yang mencengkram tanganku. Bekas tiga jari menghitam masih terlihat di tanganku. Curiga, aku menyingkap selimut dan mendapati hal yang sama juga ada di tangan Soraya. Keterkejutan tercetak jelas di wajah Dian, ia menatapku tak percaya dan bingung. Kami harus bicara, ada hal aneh yang sedang terjadi. "Om, tante, Alya dan Dian pamit ya, besok sekolah." kata Dian. Om Andri berdiri, kami berjalan menghampiri Om dan Tante yang masih bersedih melihat kondisi Soraya yang memprihatinkan. Aku dan Dian gantian mencium tangan Papa dan Mama Soraya, keduanya mengucapkan terima kasih karena kami telah sudi menyediakan waktu luang malam-malam untuk menjenguk Soraya. "Besok kami bolehkan tante kemari lagi? Bisa jadi besok satu kelas ke mari." kataku dan tante mengangguk memperbolehkan. Aku dan Dian pamit pulang. Saat Dian sudah diambang pintu, aku menoleh kembali ke arah Soraya yang terbaring. Aku menatapnya penuh iba dan kasihan, di sisi lain aku merasa kecelakaannya adalah suatu hal yang ganjil. Aku harus segera menyelidikinya. Saat sudah sampai di pelataran rumah sakit, ponselku berdering. Panggilan masuk dari Papa. Aku menatapnya enggan, jam di ponselku menunjukkan angka sepuluh malam. Papa pasti marah besar. Aku begidik ngeri membayangkannya memarahiku dan Mama membelaku. "Alya! Pulang!" seru Papa saat baru saja aku mengangkat ponselku. Belum sempat aku bicara, telepon telah mati, aku menghela napas berat. "Kenapa Al?" "Biasa, bokap gue, An." kataku lemas. "Mendingan kita pulang sekarang." kataku padanya dan ia mengangguk setuju. Kami berjalan menuju parkiran motor. Membelah malam di kota Jakarta yang seolah tak pernah sepi meski malam hari rasanya lebih nyaman. Pasalnya dalam keramaian meski aku bisa melihat banyaknya hantu yang berkeliaran di sisi kanan kiri jalan tak membuatku takut sama sekali. "Tangan lo masih sakit?" tanya Dian sedikit berteriak saat menanyakan kondisi tanganku. "Nggak!" jawabku tak kalah berteriak. "Besok lo harus cerita lagi ke gue, Al!" "Iya." "Kalau di rumah lo ada apa-apa, lo tinggal hubungi gue, Al!" kata Dian lagi dan aku mengangguk seraya melayangkan jempolku di hadapannya. Angin malam yang berhembus panas dan segar menyerbu wajahku. Aku masih bingung dengan kejadian tadi pada Soraya dan tak habis pikir dengan kenyataan dari apa yang kulihat beberapa menit sebelum kejadian kecelakaan itu benar-benar terjadi. Pikiranku melayang ke mana-mana dan tak terasa motor Dian tiba-tiba berhenti. Kupikir aku sudah sampai di rumah, nyatanya Dian berhenti agak jauh dari rumahku, tepatnya kita berada di gang masuk komplek rumahku. "Kenapa, An?" tanyaku. "Lo gak lihat?" tanya Dian sedikit menoleh ke belakang, melihatku namun hanya matanya yang bisa melirik. "Lihat apa?" tanyaku seraya mengalihkan pandanganku darinya menuju rumahku. Aku cukup kaget kala melihat asap yang keluar dari rumahku. Lalu tak lama kemudian Papa dan lelaki tua keluar juga dari rumah. Lelaki tua yang penampilannya lebih mirip dengan dukun. Kupikir Papa gak percaya hal-hal gaib itu lagi, tapi kenapa ada dukun di rumah jika tak percaya? "Ayo jalan mendekat, An... " kataku dan ia menurutinya. Dinyalakannya motornya lagi menuju rumahku. Aku turun dari motor Dian dengan tatapan tajam dari lelaki tua yang menatapku penuh selidik dan Papa yang dengan sorot marahnya siap menerkamku. "Malem, Om. " sapa Dian. Papa mengangguk kecil. "Malem, An, mending kamu pulang, tadi Mamamu nyari ke sini, aku bilang pergi sama Alya. " "Baik, Om, terima kasih. Saya pamit." kata Dian sopan dan Papa hanya mengangguk kecil lalu mempersilahkannya untuk pergi. "Masuk, Alya!" perintah Papa. Aku hanya diam dan melangkah masuk ke rumah. Lelaki tua yang berpakaian seperti dukun itu menatapku tanpa berkedip sampai aku masuk ke rumah. Di ambang pintu kusempatkan untuk menoleh ke arahnya dan membalas tatapan tajamnya tersebut. Ia lalu memalingkan wajahnya dariku dan melihat ke arah Papa. Aku bisa melihat lewat jendela kalau lelaki tua itu berbicara serius ke arah Papa dan sesekali melihat ke arah rumah, seolah-olah ia tahu aku sedang mendengarkan pembicaraan mereka. "Sudah makan, Al?" suara itu mengagetkanku. Aku berbalik dan mendapati Mama sedang berdiri di ambang pintu kamarnya. Ia menatapku dengan senyuman, tapi semakin intens dilihat, semakin kerasa sekali kalau tatapan Mama sedikit kosong. Ada yang aneh dengan Mama tapi aku tak merasakan hawa hantu di sekitarnya. "Sudah, Ma, sama Dian. " jawabku. "Bersih-bersih dulu baru mandi, ya Al... " kata Mama dan aku mengangguk. Mama kembali masuk ke dalam kamarnya dan aku kembali menoleh ke arah dukun lelaki itu dan Papa berada. Dukun itu telah masuk ke dalam mobil kecil dengan sopirnya, ketika mobil itu berjalan aku melihat sosok aneh menempel di mobil itu. Menyeramkan. Aku berlari masuk ke dalam rumah dan merebahkan diriku di atas kasur. Bayangan makhluk menyeramkan yang menempel di belakang mobil dukun lelaki itu jelas sekali. "Alya! Alya!" panggil Papa seraya menggedor-gedor pintu kamarku."Alya!" panggil Papa sekali lagi. "Iya, Pa!" kataku seraya beranjak dari kasur dan menuju pintu kamar. "Dari mana saja kamu?"tanya Papa geram. "Jenguk Soraya yang kecelakaan."jawabku malas "Kapan?" tanyanya kaget. "Tadi, habis Isya' kecelakaannya." jawabku. "Kenapa kamu gak ngomong sama Papa?"tanyanya marah. "Belum sempet ngomong, udah mati duluan ponselnya." "Kamu itu ya, alesan aja!" kata Papa geram. "Ini!" kata Papa seraya memberikan air yang berisi bunga-bunga segar di dalamnya. "Apa ini?" "Mandi dengan ini!" kata Papa. "Hah?" "Badan kamu banyak setannya! Jadi harus mandi dengan ini! " kata Papa lagi. "Katanya Papa gak percaya begituan?" "Bantah saja kamu! Sudah ambil dan mandi sekarang!" "Tapi ini sudah malam, Pa!" "Mandi atau tidur di luar?" ancamnya, aku hanya bisa mendengus kesal mendengar titahnya. Aku menerima air bunga itu dan segera ke kamar mandi untuk mandi. Lebih baik menuruti hal gak jelas dari pada tidur di luar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD