Tiga Belas

1063 Words
Aku meneguk air putih yang disodorkan Dian padaku. Aku tak mengerti sama sekali kenapa hanya aku yang bisa mengalami hal-hal aneh tersebut. Hari telah berganti malam, aku dan Dian sama-sama enggan pulang ke rumah. "Lo kenapa sih, Al?" tanya Dian. Air mataku akhirnya rembes juga. Jujur saja aku juga sangat-sangat takut. Aku takut kalau apa-apa yang tengah terjadi padaku akan melibatkan orang-orang disekitarku. Kejadian Mama tadi di rumah adalah salah satu ketakutanku. Dian menghela napas, ia menatapku dalam-dalam dengan ketenangan yang ia kuasai. Aku menghapus air mataku dan menatapnya dengan napas yang kuusahakan lebih teratur dari sebelumnya. "Gue gak ngerti, An. Kejadian di sekolah sampai apa yang ada di rumah semua berawal dari gue pingsan di lapangan basket." kataku. "Apa yang lo lihat?" tanyanya serius. "Pas gue pingsan, gue mimpi bangun di kelas yang udah sepi banget tapi lonceng masih berbunyi. Gue keluar kelas tapi gak ada siapapun di lorong-lorong sekolah. Gue berusaha nyari lo dan yang lainnya dengan jalan pelan-pelan nyusuri lorong sekolah sambil lihat kanan kiri, pas gue nyampek di kamar mandi yang lo tahu-Kamar mandi yang kekunci dan gak ada satupun yang boleh masuk- disitulah baru lorong sekolah tiba-tiba rame. Semua siswa pada keluar dari kelasnya dan berlari ke arah lapangan basket. Gue nahan satu siswi yang paling belakang larinya, ia cuma berhenti sejenak dan ngelihat ke arah gue tanpa ngomong apa-apa trus lari ke arah lapangan basket juga. Karena lorong udah sepi dan gue penasaran, akhirnya gue ikutin kemana cewek itu pergi, dan siswa yang lainnya pergi, An. Semakin gue deketin lapangan basket, semakin gue ngecium bau darah di sana. Anyir banget baunya. Gue kayak berpetualang di tempat nyata, kayak bukan mimpi. Dan yang gue lihat setelah gue sampai... " Aku menerawang ngeri melihat langit malam yang pekat ketika kembali aku teringat mimpiku yang menyeramkan itu. "Apa yang lo lihat?" tanya Dian serius. "Banyak mayat berserakan di lapangan dan perempuan yang gue sapa di mimpi duduk mengerikan di ujung tribun." kataku cepat. Seketika itu pula Dian menarik wajahnya yang nampak kaget dan menghela napas berat. Ia nampak frustasi begitupun dengan diriku yang tertunduk tak mengerti. "Tadi lo juga ngelihat sesuatu, kan?" tanya Dian selidik dan akupun mengangguk ke arahnya. "Apa, Al?" tanya Dian lagi. "Setelah keluar dari UKS dan berniat pulang, gue kan jalan tuh di lorong sekolah , anehnya gue muter-muter mulu di lorong itu. Semakin gue deketin gerbang sekolah, rasanya pintu gerbabg itu semakin jauh. Semakin jauh banget dari jangkauan gue, An. Lalu semuanya tiba-tiba berubah. Jam di dalam kelas muternya mundur dan beberapa siswa berubah dari waktu ke waktu, musimpun berjalan mundur dari waktu ke waktu juga sampai gue tiba di suatu tempat, tempat yang sama yakni lorong sekolahan tempat gue berdiri sebelumnya, yang berbeda adalah tahunnya. Gue seperti ditarik ke masa lalu. Di depan gue duduk siswi perempuan seorang diri yang lagi ngelamun lalu ada lima genk cewek cantik yang datangi dia dan minta PR mereka ke siswi itu. Siswi itu bilang kalau PRnya udah ada di meja masing-masing. Tak berselang lama dari kejadian itu gue denger banyak siswi cewek bersorak-sorai sambil manggil-manggil nama seseorang. Lo tahu kan kayak fans ketemu artisnya, kayak gitu kurang lebih sikap mereka. Rame banget lorongnya. Gue penasaran emang siapa sih yang lagi datang ke sekolah, ternyata gak tahunya bokap gue dengan ke empat temen sekolahnya. Bokap gue pada masa SMAnya." kataku. Dahi Dian berkerut tak mengerti dan heran. "Lo gak percaya dan kaget kan? Gue juga. Gue hapal betul wajah bokap pas masih SMA maka itu gue yakin banget kalau yang gue lihat itu bokap gue, karena wajahnya sama persis dengan yang dialbum sekolahnya dia. Dan gue curiga ke empat temen cowoknya yang lain itu adalah bokap lo, bokap Kiran, bokap Soraya dan bokap Ardi. Bukankah mereka sohib sejak SMA?" kataku lagi dan Dian mengangguk tanda mengerti. "Trus, Al?" kejarnya. "Salah satu dari lima genk cewek itu adalah Bu Rani." "Bu Rani guru Konseling?" tanya Dian memastikan. "Gue gak yakin seratus persen sih tapi kayaknya iya." kataku lagi. "Itu kenapa pas bokap gue ke sekolah gue lihat bokap sama Bu Rani akrab, kayak kenal udah lama banget." kataku. Dian menghela napas. Aku masih akan melanjutkan cerita soal apa yang kulihat sore ini di rumah tapi ponselnya berbunyi. Ia berdiri dan berjalan menjauh dariku. Kulihat ia berhenti di bawah pohon dengan memunggungiku. Aku menyeruput teh hangat yang telah dingin dari warung jalanan yang juga menyediakan gorengan. Aku menarik satu gorengan yang ada di hadapanku. Tempe mendoan. Ketika aku menggigitnya, tanpa sengaja mataku melayang ke Jalanan dan aku cukup terkejut melihat Soraya tengah berlari ke Jalanan dan... "Bruakkk!!!" sebuah mobil menabraknya. Aku tercengang untuk sepersekian detik. Napasku naik turun tak jelas. "Arrgggg!!!" teriakku kala kulihat darah Soraya keluar dari kepalanya yang menempel aspal. "Alya! Alya!" panggil Dian seraya mengguncangkan kedua bahuku. Aku menatapnya dengan tatapan kalut dan takut, ia menatapku bingung. "Kenapa?" tanyanya. "Itu Soraya kecelakaan!" tunjukku ke arah jalanan, tapi aku tak berani menoleh ke arah jalanan. "Mana? Gak ada!" kata Dian. Aku terhenyak kaget. Lalu dengan cepat menoleh ke arah jalan raya yang beroperasi seperti biasanya. Tak ada jejak kecelakaan di sana. Soraya pun gak ada di sana. Ada apa ini? Bukankah yang barusan kulihat benar-benar Soraya? Kenapa gak ada? Aku meraba-raba saku jaketku dan menemukan ponsel yang tengah kucari-cari. Dengan tangan yang gemetaran aku mencari kontak Soraya, setelah menemukannya aku langsung meneleponnya. Tak kuhiraukan tatapan aneh Dian dan para orang-orang yang lalu lalang di sekitarku, ini soal hidup dan mati Soraya. Kejadian barusan benar-benar seperti nyata adanya. Tak ada sambungan dan terputus. Aku mencoba menghubungi Soraya lagi. Aku menunggu dengan sangat cemas dan akhirnya teleponku tersambung juga. "Ya, Al?" panggil Soraya di seberang. "Lo... Lo... Gak pa-pa?" tanyaku terbata-bata. "Gue? Maksud lo apaan, Al?" tanyanya "Nggak. Lo ada di mana sekarang?"tanyaku. "Gue lagi dijalan, habis dari mall, ini lagi jalan kaki ke toko kue di dekat mall..." katanya. Aku mendengar suara mobil, motor dan klakson di sekitar Soraya yang jauh tapi jelas. "Ray, lo gak usah ke mana-mana di situ saja. Gue ke sana sekarang, lo sebutin di mana lo seka.... " "Bruakkk!!" "Buggg!!!" "Buggg!!" Belum sempat aku mengatakan seluruh kalimat di otakku, suara dentuman, pecahan dan klakson berebut masuk ke telingaku. Air mataku entah mengapa tiba-tiba saja rembes jatuh saat aku teringat bagaimana Soraya terkapar di aspal jalanan. "Raya... Ray... Ray... " panggilku pelan. Tak ada sahutan sama sekali. "Raya!" teriakku, tapi tak ada sahutan sama sekali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD