Kinan menyudahi mencuci mobilnya setelah mengeringkan dengan kanebo dan memastikan mobilnya mengkilat. Baru saja akan masuk dia melihat Bram dan Yumna memasuki pelataran dengan wajah kesal. Bram bahkan menendang ember berisi air sabun hingga tumpah berantakan.
"Apa- apaan sih kamu, Mas!"
"Kamu yang apa- apaan. Ngapain kamu siram Ayu sampai jatuh, terus sekarang kakinya terkilir." Bram mendorong bahu Kinan.
Kinan tertegun. Untuk pertama kalinya dia melihat Bram begitu marah bahkan bersikap kasar. Namun rasa terkejutnya hanya sebentar saat dia menyadari apa yang Bram lakukan demi membela Ayu.
"Apa kamu tanya apa yang Ayu katakan? Lagian buat pelakor macam dia, cuma di siram aja tuh gak ada apa-apanya."
"Kamu!" Bram hendak melayangkan tangannya, namun saat ini dia pun terkejut dengan apa yang akan dia lakukan.
"Lihat? Kamu bahkan mau nampar aku cuma gara- gara dia?" tunjuk Kinan. "Kamu bahkan udah melupakan apa yang kamu janjikan dulu saat kita menikah? Satu janji kamu sudah kamu ingkari. Janji akan selalu setia dan sekarang kamu membuat aku memiliki madu." Kinan menunjuk rumah Ayu. "Lalu janji lain mau kamu ingkari juga? Janji untuk gak menyakiti fisikku."
Bram menatap tangannya. "Bukan begitu, Sayang," ucapnya dengan menyesal.
"Terus, apa?"
Bram mengusap wajahnya kasar. "Ayu bukan pelakor. Tolong jangan bilang seperti itu. Aku cuma mau kita baik- baik aja. Bisakan, kita hidup damai tanpa ada drama?"
"Yang buat drama itu kamu, Mas. Pindah ke rumah sebelah demi supaya aku nyerah dan balik kerja. Dan sekarang apa maksud kamu dengan melakukan itu di depan Yumna. Kamu sengaja buat aku kelihatan buruk di depan Yumna?" Bram terdiam. "Jangan harap aku bakalan nyerah gitu aja, Mas. Kamu bilang dia bukan pelakor? Iya, kalian sama- sama gatel!"
"Kamu!" Bram berteriak marah, namun dia memejamkan matanya berusaha meredam amarahnya.
"Aku cuma minta kamu buat tunggu sampai aku dapet kerja."
"Aku udah tunggu 7 tahun ini. Dan apa hasilnya? Kamu manfaatin aku buat kasih hasil kerjaku ke selingkuhan kamu itu." Kinan melempar kanebo di tangannya dengan kesal. Namun saat ini tubuh Kinan terhunyung saat Yumna maju dan mendorong tubuhnya.
"Mama jahat! Mama sukanya cuma marah- marah!" Kinan yang terkejut dengan perlakuan Yumna sampai terhunyung dengan punggung menubruk badan mobil.
Mata Kinan tertegun, menatap Yumna dengan sedih. Bahkan Yumna juga berani membentak dan mendorongnya. "Lihat, sampai itu yang Yumna lihat dari aku?" Kinan menatap Bram dengan mata yang berkaca- kaca.
"Itu salah kamu sendiri yang kurang perhatian," kilah Bram. Namun hati Bram juga merasa kasihan.
"Mama jahat, aku lebih suka Tante Ayu!" Hati Kinan benar-benar terasa seperti ditimpa batu besar. Dadanya sesak dan sulit bernafas.
Anaknya sendiri membencinya.
Remasan tangannya di d**a menunjukkan jika hatinya benar-benar sakit.
Bram meraih bahu Kinan untuk membantunya berdiri, namun Kinan justru menepisnya dengan cepat. "Pada akhirnya ini tetap salah aku, ya?" lirih Kinan.
Kinan menatap Yumna. "Kamu beneran lebih suka Tante Ayu?"
Yumna menaikan dagunya. Menatap Kinan angkuh.
"Kenapa?" tanya Kinan lagi.
"Mama jahat, suka marah kalau aku gak bikin PR. Suka larang- larang makanan yang aku suka." Kinan terkekeh mendengar ucapan Yumna.
"Padahal Mama ngelakuin itu untuk kebaikan kamu." Kinan menatap tak percaya. "Jadi, kamu memilih tinggal sama Tante Ayu di bandingkan Mama cuma gara- gara itu?"
Yumna masih cemberut dengan menatap tajam. Dan itu artinya Yumna membenarkan pertanyaan Kinan.
Kinan kira Yumna melakukannya karena di pengaruhi oleh Ayu dan Bram tapi rupanya putrinya itu punya pemikiran sendiri tentangnya. Yumna bahkan berani mendorongnya untuk meluapkan kekesalannya.
"Udah, jangan ribut terus. Ayo aku bantu kamu masuk." Bram menurunkan nada bicaranya lalu membantu Kinan.
Kinan menghela nafasnya, lalu melepas tangan Bram. "Aku gak papa, silakan kalau kalian mau kembali ke rumah Ayu," ucap Kinan dengan melangkah masuk.
Bram melihat punggung Kinan yang masuk ke dalam rumah dan menutup pintu, lalu menoleh pada Yumna.
"Kok Mama gak bujuk aku, Pa?" tanyanya dengan kesal.
Bram menghela nafasnya. "Ngapain kamu dorong Mama kayak gitu?"
"Papa juga." Bram tertegun. Jadi Yumna benar-benar menirunya.
"Lain kali kamu gak boleh kasar. Papa juga salah." Mungkin Kinan benar, harusnya dia memang tak melibatkan Yumna.
Bram melangkah keluar pagar, lalu pergi ke rumah sebelah diikuti Yumna.
Saat masuk dia melihat Ayu duduk di sofa sambil menonton televisi. "Gimana kaki kamu?" tanyanya meneliti kaki Ayu yang berselonjor di sofa.
"Udah gak papa kok, cuma masih sakit sedikit. Gimana Kinan nyerah belum, Mas?"
Bram menggeleng. "Dia bahkan gak membujuk Yumna."
Ayu berdecak. "Apa Kinan setega itu. Masa dia biarin anaknya begitu aja. Ibu macam apa dia. Harusnya dia berjuang buat rebut hati Yumna kan?"
Bram melihat pada Yumna. "Yumna masuk dulu sana. Tidur siang." Yumna mengangguk lalu pergi.
"Mulai sekarang jangan gunakan Yumna," ucap Bram saat Yumna benar-benar pergi.
"Kenapa?"
"Yumna masih kecil."
"Ya terus, gimana dong. Cuma Yumna harapan kita satu- satunya."
Bram menghela nafasnya. "Aku kembali saja nanti."
Ayu mengerutkan keningnya tak suka. "Maksudnya kamu mau nyerah gitu aja?"
"Sejak awal aku yang salah." Melihat Kinan menangis Bram merasa bersalah. Sebaiknya dia bujuk Kinan baik-baik dari pada perang dingin seperti sekarang.
"Ya kalau gitu kamu harus mau cari kerja benar-benar dong. Emang siapa yang repot kalau Kinan berhenti seperti sekarang." Ayu memalingkan wajahnya kesal.
Bram menghela nafasnya. Saat ini terdengar deru mobil menyala membuat Bram keluar rumah. Benar saja itu mobil Kinan yang keluar dari pelataran.
"Mau kemana dia, Mas?" Bram menatap kepergian Kinan dengan mobilnya lalu memasuki rumah. Bram nampak berpikir lalu meraba sakunya dimana dia menemukan selembaran kertas yang di berikan Kinan.
Haruskah dia melamar kesana?
"Yumna ayo rapikan pakaian kamu. Kita pulang," ucap Bram saat memasuki kamar yang Yumna tempati.
"Pulang? Gak mau ah, Mama jahat. Aku mau disini aja." Yumna berkata acuh dan kembali main.
"Yumna jangan begitu! Pokoknya kita pulang!"
"Gak mau, aku mau disini sama Tante Ayu!"
"Yumna!" Ayu menyentuh tangan Bram yang terlihat sangat marah.
"Biar aku yang ngomong." Bram menghela nafasnya lalu mengangguk.
"Yumna, kamu harus nurut sama Papa. Lagian kalau Yumna mau kesini, Yumna tinggal datang, rumah kita kan deket." Yumna mencebik namun mengangguk. Ayu tersenyum lalu mengusap rambut Yumna.
"Anak pintar." Mata Ayu berkilat dengan senyum yang mengandung banyak arti.
....
Sementara itu Kinan memacu mobilnya keluar dari kawasan perumahan. Terus melaju dan melaju hingga menemukan sebuah kafe dimana dia membuat janji dengan seseorang.
Kinan melihat sekitarnya hingga menemukan dua orang pria yang sedang berbincang dan menghampiri mereka.
"Pak, Kai?" Kedua pria itu menoleh dan Kinan tersenyum menyapa.
"Maaf, harusnya saya gak mengganggu waktu Pak Kai hari ini." Kinan merasa bersalah. Dia mendadak menghubungi pengacara perceraian itu untuk segera bertemu.
"Gak papa Bu Kinan, silakan duduk. Oh ya, kenalkan ini sahabat saya Andra." Kinan menoleh pada satu pria lagi.
"Kinan?" Kinan mengerutkan keningnya saat namanya di panggil dia meneliti pria bernama Andra itu hingga matanya membulat sempurna.
"Andra?" Pria itu mengangguk. "Andra yang dulu pake kaca mata?" katanya lagi.
Dengan menggaruk tengkuknya pria itu terkekeh. "Ya, setidaknya itu yang kamu inget."
Kinan tersenyum. "Sorry, tapi kamu ganteng loh sekarang."
"Jadi kalian saling kenal?" Kinan mengangguk.
"Andra teman sekelas saya waktu SMA dulu," ucap Kinan.
Kai mengangguk. "Oke. Jadi Bu Kinan ada apa menghubungi saya? Bukannya gak jadi cerai?"
Kinan menoleh pada Andra yang mengerutkan keningnya nampak penasaran, lalu berdehem. "Bisa kita bicara berdua aja, Pak Kai?"
"Oh, tentu." Kai menggerakkan kepalanya pada Andra yang langsung pergi meski enggan, lalu Kinan mendudukan dirinya di kursi yang di tempati Andra sebelumnya.
Kinan menghela nafasnya, dengan tangan yang dia remas kuat Kinan menatap Kai, pengacara perceraian yang dia hubungi sebelumnya. "Saya mau cerai."