Pagi Pertama

1086 Words
*** Aku jatuh cinta pada kamu yang membuat aku merasa, kalau cinta dan bahagia sesederhana itu. *** Maika membuka matanya. Gadis itu menahan napas ketika melihat Rafan tengah memeluknya sambil mengulas senyum. Sepertinya suaminya itu baru selesai shalat, terlihat dari baju koko yang dikenakannya. “Pagi,” sapa Rafan. Maika balas tersenyum canggung. Semoga saja Rafan tidak mendengar detak jantungnya yang begitu kencang. “Pagi, sekarang jam berapa kak?” tanya Maika. Gadis itu menguap kecil. Masih dengan posisi yang sama, Maika mencoba merilekskan dirinya. Dia harus terbiasa. “Setengah 4, kamu mau tahajud? Masih bisa kok.” Maika menggelengkan kepalanya. Tadi malam sebelum tidur dia sempat pipis. Ternyata tamu bulanannya datang. “Aku lagi halangan kak, baru tadi malem,” jawab Maika. Seketika Rafan melepaskan pelukannya. Agak tidak aman kalau terus begini. “Kirain lagi sholat.” Rafan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Tapi bukan Rafan namanya kalau tidak bisa mengendalikan suasana. “Oh iya, ada yang mau aku omongin sama kamu,” sambung Rafan. “Soal apa, Kak?” tanya Maika. Gadis itu bangkit dari posisinya. Lalu menguncir rambut panjangnya. “Kita berdua ‘kan udah nikah, gak mungkin bakal tinggal sama orang tua terus. Udah waktunya kita buat istana kita sendiri. Kamu mau aku ajak pindah ke rumah baru kita ‘kan? Alhamdulillah udah beres, sengaja aku baru kasih tahu kamu. Sebenernya aku bangun rumah ini udah lama. Dari pas awal tahun, cuman karena pakai uang sendiri. Aku cicil jadi baru beres sekarang. Mungkin enggak besar, tapi insyaallah nyaman buat kita- eh kok kamu nangis?” Maika memeluk Rafan dengan erat. Dia tidak pernah menyesal menikah di usia sebelia ini. Sekalipun masa mudanya harus terbuang. Pernikahannya dengan Rafan adalah hadiah terindah yang pernah dia terima. Dia bahagia. Sangat. “Makasih karena kakak udah milih aku, aku bersyukur sekali menjadi istri kakak,”ucap Maika dengan air mata yang berlinang. Air mata ini, air mata bahagia.“makasih juga karena udah mau terima aku, padahal kakak tau kalau aku ini banyak kurangnya.” Rafan tersenyum tulus, lalu mengecup puncak kepala istrinya. “Kamu mau ‘kan mulai semuanya dari nol sama aku?” tanya Rafan. Maika mengangguk. Tentu dia sangat ingin. Membangun rumah tangga yang mengantarkan-Nya hingga ke Surga adalah impiannya. Tidak peduli jika nantinya orang-orang akan memberi tanggapan buruk padanya. “Jangan sungkan nasihati aku kalau aku salah ya, kak?” Rafan mengangguk. “Begitu juga sebaliknya. Hubungan suami istri itu dua arah. Harus saling-saling. Enggak bisa hanya kamu atau aku. Ini tugas kita berdua. Pokoknya kita sama-sama belajar dan berjuang.” *** “Gak ada yang ketinggalan ‘kan?” Maika menggelengkan kepalanya. Dia sudah mengeceknya sebanyak dua kali. Dia yakin dia tidak salah. “Kita langsung ke rumah baru, Kak?” tanya Maika. Rafan mengangguk sambil memasangkan seat belt pada Maika. “Mampir dulu ke informa, kita cari lemari buat baju, sama kompor.” “Di sana yang udah ada apa aja kak?” tanya Maika. “Apa ya? Baru kasur, televisi, sofa belum sih. Sementara kita pakai karpet dulu aja. Insyaallah nanti kalau udah ada rezekinya kita beli sofa sama kulkas yah.” “Iya kak gak apa-apa, itu juga udah alhamdulillah banget. Lagian aku lebih suka ngegelar karpet gitu dibanding pakai sofa. Kalau peralatan masak ada apa aja?” tanya Maika. Kalau semisalnya belum ada, dia berniat membawa alat masak yang hadiah lomba. Satu set lengkap beserta oven dan blender. “Eh iya, aku gak kepikiran beli alat masaknya.” Maika tersenyum. “Gak apa-apa kak, di rumah Mama aku punya alat masak lengkap. Satu set gitu, ada oven sama blender juga. Hadiah lomba masak itu,” kata Maika antusias. “Maaf, aku beneran lupa. Cuman kepikiran beli barang yang besar,” sesal Rafan. Laki-laki itu mengelus pelan kepala Maika yang tertutup khimar hitam sepaha. “Ih gak apa-apa, lagian aku juga punya. Nanti uang buat alat masak bisa kita beliin buat gelas sama piring,” jawab Maika bijak. Rafan bersyukur yang menjadi istrinya adalah Maika. Gadis itu pengertian dan tidak banyak menuntut. Kelihatan sekali kalau anakanya juga tidak boros. “Insyaallah, nanti kalau gaji aku naik. Aku bakal beliin apa yang kamu mau. Sekarang sabar dulu aja ya?” Maika mengangguk patuh Mobil mereka mulai berjalan membelah jalan. Sepanjang jalanan Maika dan Rafan saling bertukar cerita. Sungguh Rafan baru tahu ternyata kalau menikah seenak ini. Dia tipikal anak yang malas bercerita. Tapi ketika dengan Maika, dia mau bercerita dan mendengar gadis itu bercerita. Apalagi Maika pendengar yang baik. “Oh aku tau, jadi yang pas aku kelas 7 ke TSB itu. Kak Rafan lagi jalan-jalan juga sama temen-temen kak Rafan? Yang waktu itu pakai seragam SMA ‘kan? Pantes aja kayak ada yang liatin aku. Ternyata kakak. Aku ngerasa mukanya gak asing gitu, kayak pernah liat tapi lupa,” jelas Maika panjang lebar “Kakak kok bisa tau itu aku?” “Muka kamu gampang diinget. Waktu itu aku takut salah, eh ternyata beneran kamu.” Rafan juga tidak menyangka. Dia pikir waktu itu dia hanya salah lihat. Apalagi ‘kan dia dan Maika sudah lama tidak bertemu lagi. Terakhir bertemu Maika, saat gadis itu kelas 3 SD. Berarti saat itu sekitar 4 tahunan dia tidak bertemu Maika. Siapa sangka yang dia lihat hari itu benar Maika? “Kak, hehe kapan-kapan liburan ke Bandung yuk!” ajak Maika. Rafan yang tengah fokus melihat ke arah lampu merah langsung menoleh ke arah Maika. “Boleh, tapi kayaknya aku gak bisa dekat-dekat ini. Soalnya alhamdulillah kerjaan aku lagi banyak-banyaknya. Ntar aja sekalian bulan madu.” Maika yang tengah membuka makanan ringan seketika tergugu. Apa katanya? Bulan madu? “Bu–bulan madu?” Maika tergagap. Dia sadar akan satu hal. Bahkan dia juga pernah membaca nasihat soal ini. Kalau dia siap menikah. Maka dia juga harus siap untuk jadi seorang ibu. “Iya, kita keliling bandung. Naik wahana extream kayak roaller coster, niagara di TSB. Terus kita kulineran.” Maika yang tadinya agak terkejut, langsung menggangguk semangat. Dia tidak sabar rasanya. Masalah punya anak. Nanti dia bisa membahasnya dengan Rafan. Setidaknya untuk beberapa waktu le depan. Dia ingin menghabiskan waktunya bersama Rafan. Mengenal laki-laki itu lebih dekat. Dan pastinya belajar lebih baik lagi untuk menjadi seorang istri dan ibu untuk anaknya kelak. Siap tidak siap, Maika akan berusaha mempersiapkan dirinya. Dia yang sudah memutuskan untuk menikah muda. Maka dia harus bertanggung jawab dengan pilihannya. Intinya jangan dibawa stress seolah-olah seperti beban. Maika akan membiarkan semuanya berjalan mengalir. Dia yakin dia mampu melewatinya dengan baik, selagi ada Rafan di sisinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD