Prolog

904 Words
Bogor, 12 Agustus 2022 Maika mematut tubuhnya di cermin. Tidak ada yang special dari penampilannya hari ini. Selain dia yang mengenakan kebaya berwarna abu tua dengan panjang kebayanya hingga lutut, lengkap dengan rok batik berwarna senada. Beserta pashmina dengan panjang hingga perut berwarna abu muda .Wajah berwarna kuning langsat hasil perjuangan skincare routine selama 3 tahun ini hanya dipoles dengan foundation dan bedak tabur. Dan sedikit sentuhan lip tint berwarna cherry. “Udah belum, Kak?” teriak Nala–mamanya dari lantai satu. “Bentar, Ma!” sahutnya dengan suara yang cukup kencang. Gadis itu menatap ponselnya, ini sudah hampir seminggu dia mengirimkan pesan pada Nara. Tapi sahabatnya itu belum membalasnya. Keterlaluan memang. Mau bagaimana lagi? Maika tahu, Nara pasti sibuk dengan kehidupannya saat ini. Dan Maika tidak punya hak untuk menuntut ini-itu pada Nara. Cukup mendengar balasan kalau Nara baik-baik saja sudah mampu membuatnya tersenyum senang. Maika menuruni tangga yang jadi penghubung antara lantai 1 dengan lantai 2. Nampak Mama, Papa dan kedua adiknya sudah rapi. Buset, udah kayak acara apaan aja, pikir Maika. “Papa ikut juga?” tanya Maika berbasa-basi. “Iyalah, Papa ‘kan mau lihat anak papa wisuda.” Wisuda SMK tepatnya. Maika hanya menganggukkan kepalanya. Kelimanya berjalan keluar menaiki mobil berwarna hitam. Maika duduk di bangku paling belakang, sendiri. Dan kedua adiknya duduk di bangku tengah. “Kamu ada kepikiran buat lanjut kuliah?” tanya Papanya. Maika mengalihkan perhatiannya pada kedua orangtuanya. Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Enggak, Pa.” Raut wajah Papanya mendadak jadi muram. “Kenapa? Kamu tahu ‘kan jaman sekarang kalau enggak kuliah cari pekerjaan itu susah, lebih-lebih kalau kamu cuman lulusan SMK.” Maika menghela napasnya sesaat. “Maaf, Pa. Tapi aku memang belum kepikiran buat lanjut kuliah, planning aku sehabis lulus ini mau coba buka usaha sendiri,” jelas Maika. “Gak papa-papa kok, asalkan kamu serius rintis usaha kamu. Mama yakin, kamu bisa sukses. Gak masalah kalau kamu emang gak mau kuliah, Mama atau Papa enggak bisa maksa. Karena nantinya, toh kamu-kamu juga yang jalaninnya.” Akhirnya Nala turut bersuara. Dia paham seperti apa Maika. Daripada memaksakan kehendak, yang nantinya membuat putrinya tidak bisa menikmati pilihannya. Lebih baik dia mendukung pilihan Maika. Percayalah, mau seperti apapun cara mendidiknya. Orang tua hanya ingin yang terbaik untuk anaknya. “Ya udah, kalau Mama yang udah ngomong. Papa gak bisa maksa kamu, Papa dukung kamu,” kata Revan–Papa Maika sambil tersenyum ke arah sang istri. Maika mengembangkan senyumnya. Ada untungnya juga Papanya sebucin itu pada Mamanya. “Gombal kamu,” kata Mamanya malu-malu. Maika hanya menghela napas untuk yang kedua kalinya. Nasib jadi nyamuk di antara orang tuanya sendiri. *** “Apa kabar, Bang?” Maika mendengus ketika anak kelasnya menyapa dia dengan panggilan ‘Abang’. “Naon?!” kata Maika ngegas. Gadis itu sudah kehilangan muka saat anak-anak cowok di kelasnya berlagak menyiapkan karpet merah untuknya. Beberapa anak kelas lain turut menertawakan hal itu. Macannya 12 kuliner 2 gitu lho. “Untung udah lulus,” lirih Maika yang mengundang tawa dari teman sebangkunya. “Sabar, ya, Bang,” kata Gea sambil tertawa. “Pengen gue roasting ke oven tuh anak,” keluh Maika. “Iya deh iya, yang anak Boga mah bahasanya berat,” goda Risya. “Apa lo? Diem-diem udah taken. Gak ngundang gue lagi,” sindir Maika dengan suara pelan. “Ya maaf, Mai, soalnya ‘kan acaranya cuman buat keluarga. Terus lo tau lah, gue sama–“ “Iya paham, cuman bercanda doang kok.” Maika berujar dengan ekspresi lempeng. “Ngeselin lo!” Maika tertawa. Gadis itu mengalihkan pandangannya. Dia tak sengaja melihat Rama tengah menatapnya.Laki-laki itu berisyarat memanggilnya. “Temenin gue ya, Ris,” pinta Maika pada Risya yang juga menyadari hal ini. Risya mengangguk. Keduanya langsung berjalan keluar meninggalkan aula. *** “Soal permintaan gue waktu itu, apa udah ada jawaban?” tanya Rama. Maika menatap sekilas laki-laki yamg ada di hadapannya. Maika menghela napasnya sesaat. Ini yang terbaik. “Tolong pertimbangin. Gue mau serius sama lo.” Maika hanya mampu meremas bagian ujung kebayanya. Dia yakin, Rama mengatakan hal seperti itu hanya karena obsesinya yang ingin memiliki Maika. Mengingat selama ini laki-laki itu begitu mengejarnya. Dia tidak bisa. “Ram, sebelumnya gue berterima kasih atas niat baik lo. Tapi gue enggak bisa. Maaf, Ram.” Maika menarik napasnya. Hatinya lebih terasa lega. Dan itu membuat hati Rama terasa diremas. Laki-laki itu mengepalkan tangannya. “Kenapa?” lirih Rama dengan mata yang sudah memerah. “Lo enggak bener-bener serius soal itu ‘kan? Apa lo berpikir, gimana kehidupan setelah pernikahan? Tanggung jawab lo bertambah, lo enggak bisa mikirin ego lo aja ketika nikah nanti. Ada kehidupan lain yang mesti lo tanggung.” Kata Maika. Rama tercenung, dia tidak pernah berpikir ke arah sana. “Kalau tujuan lo nikah sama gue, cuman karena mau tuntasin rasa penasaran lo sama gue. Tolong mundur, jangan mempermainkan pernikahan hanya karena keinginan lo.” Perkataan Maika sukses membuat Rama tertampar. Niatnya untuk menikahi Maika saja sudah tidak baik. “Lo dicariin Fajar.” Tubuh Maika kembali terasa kaku saat mendengar suara bernada dingin itu. Rama berdeham,” Eh, Bang Rafan. Lo kok bisa tau gue ada di sini?” kata Rama berbasa-basi. Rafan tak membalas, laki-laki itu berlalu begitu saja. Maika menahan dirinya untuk tidak mengangkat kepalanya. Kenapa dia ada di sini? “Maaf, Mai. Semoga lo bahagia, gue gak bakal ganggu lo lagi.” Rama berpamitan pada Maika.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD