***
Kamu tidak perlu mengubah siapapun yang ingin kamu jadikan pasanganmu. From bad to be good. Kalau kamu ingin dapat yang baik. Maka ubahlah diri kamu sendiri, jadi lebih baik. Ingat, bukankah jodoh adalah cerminan diri?
***
Maika meremas rok batiknya ketika dua laki-laki itu sudah pergi.
"Enggak apa-apa, Mai," kata Risya sambil mengelus lembut bahu Maika.
Dia mencoba memahami Maika. Pasti akan sangat terkejut jika dia berada di posisi Maika juga. Tiba-tiba diajak nikah. Apalagi dalam kondisi masih sangat muda, dan baru lulus. Karena dia pun mengalami hal yang sama.
Risya menatap Maika yang tengah melamun.
"Kita balik ke aula ya?" ajak Risya.
Maika menganggukkan kepalanya.
Gadis itu jadi sangat pendiam. Dan lebih banyak melamun.
"Yang lo lakuin itu udah bener. Enggak ada salahnya buat nolak dia. Memilih pasangan hidup bukan hal yang sepele. Banyak hal yang mesti lo cari tahu juga tentang dia. Agamanya, perangainya gimana? Dan cara dia tadi menurut gue kurang tepat. Kalau dia beneran serius, dia pasti bakal datangin orang tua lo. Enggak peduli nantinya bakal diterima atau enggak. Bukan berarti gue bilang Rama buruk," jelas Risya yang berhasil membuat lamunan Maika buyar.
Maika menatap Risya. Gadis itu mengusap wajahnya kasar. Moodnya mendadak jadi jelek. Pikirannya kacau. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana kalau dia benar-benar menikah dengan Rama. Apalagi dengan banyak cerita kalau laki-laki yang dipuja-puja oleh kaum hawa di sekolahnya itu punya banyak mantan pacar. Belum lagi beberapa video tidak layak yang sering ada di snapgram teman-temannya. Rama dengan minuman dan wanita.
Maika tidak naif, dia merasa tersentuh saat Rama mengatakan hal itu. Namun, setelah dipikir lagi. Dia memang tidak berhak menghakimi masa lalu seseorang. Tidak ada yang menjamin bagaimana Rama di keesokkan harinya. Tapi bagaimanapun, dia ingin menikah dengan laki-laki yang baik agamanya. Yang mampu membimbing dia. Dia tidak mau jika nantinya orang-orang yang berhubungan dengan laki-laki itu mengacau di kehidupan rumah tangganya.
Ck, lama-lama kepalanya bisa pecah.
"Inget perjuangan orang tua lo. Inget juga gimana lo berusaha buat wujudkan mimpi lo. Kerja part time sampai lo drop, ngumpulin uang jajan sampai bela-belain masak pagi-pagi buat masak bekal. Perjuangan 3 tahun ini, enggak bakal lo sia-sia in gitu aja kan?"
Risya benar, dia harus fokus untuk mengejar mimpinya. Masih banyak hal yang bisa dia lakukan. Salah satunya membuat kedua orang tuanya bangga. Maika menarik napasnya dalam-dalam. Memejamkan matanya sejenak. Lalu tersenyum menatap Risya.
"Jazaakillaahu khayr, gue jadi yakin sama pilihan gue," ucap Maika tulus.
"Wa jazaakillaahu khayr. Gantian dong, waktu gue bimbang mau nikah 'kan lo yang yakinin gue. Sekarang gue yakinin lo, gue tau kok gimana rasanya. Cuman kondisi kita berdua beda,"balas Risya.
"Iyalah, rugi kalau lo gak terima. Kalau agama dia baik, dan lagi dia punya kerjaan tetap. Ya kenapa enggak," kata Maika.
"Nah! Itu maksud gue Mai, paham gak sih gue tuh ngode lo biar ngeuh sama itu." Maika menganggukkan kepalanya.
Benar juga, yang jadi pertimbangannya saat ini. Kenapa bisa dia lupakan? Percintaan memang rumit.
"Iya, baru sadar gue. Semua prinsip gue mendadak ilang, Sya," keluh Maika.
"Pada ngomongin apa sih?" Gea tiba-tiba datang sambil membawa 3 ice cream.
"Anak kecil gak boleh kepo," kata Risya mengejek.
Oh ya, usia Gea memang lebih muda dari Maika dan Risya. Di saat lulus sekolah, usianya masih 16 tahun. Jadi saat masuk SD, usianya baru 5 tahun.
"Aishh pasti bahas yang plus-plus, nih ice cream chillin-chillin," ujar Gea sambil menyerahkan ice cream yang dibawanya. Ada rasa tiramisu dan cappuchino.
"Plus-plus teh naon? Sembarangan lo!" Gea meringis saat mendapat pukulan kecil dari Maika.
"Lo dapat es krim dari siapa?" tanya Maika ketika dia mulai menikmati es krim tiramisu kesukaannya.
"Tadi Rama kasih ke gue, kenapa emang?"
Dari Rama, ya?
Saat itu juga selera ingin makan es krimnya mendadak turun. Baru saja perasaannya membaik. Mau dibuang sayang, mubazir juga. Ya sudahlah makan saja.
"Enggak," balas Maika jutek. Tentunya Gea tidak menyadari hal ini. Karena Maika berucap sangat pelan.
"Eh, hari ini kita ke rumah gue yuk! " ajak Gea.
Maika terdiam, kalau tidak salah hari ini Papanya bilang mereka akan pergi ke Bandung. Ah iya, ngomong-ngomong soal Bandung. Sudah hampir 3 tahun dia tidak ke sana."Maaf banget Ge, gue hari ini mau ke Bandung," ringis Maika.
Wajah Gea meredup." Yah sayang banget. Padahal gue pengen dimasakin nasi liwet sama lo. Ya udah deh gak papa. Hari Jum'at depan aja gimana?"
"Boleh," balas Maika membuat Gea tersenyum senang.
"Baik, akan kami informasikan juara-juara di setiap kelas. Mohon untuk yang namanya dipanggil naik ke atas podium."
Seketika perhatian Maika, Risya dan Gea beralih ke arah podium yang sudah terdapat meja berjajar kan Piala dan Sertifikat. Perut Maika terasa mulas, akan selalu begini jika pembagian hasil nilai. Jantungnya ikut bereaksi yang membuat gadis itu tidak nyaman. Meski dia sendiri tidak yakin kalau dia jadi salah satunya. Persaingan di kelasnya cukup ketat. Anak-anaknya pun berambisi semua.
"Peraih nilai tertinggi di kelas 12 Kuliner 5, Ananda Mahesa Arfa Argia."
Riuh tepuk tangan pun terdengar.
"Ih! Kenapa mesti si songong sih," kesal Gea. Gadis itu semakin kesal ketika Mahesa tersenyum penuh arti kepadanya.
"Halah, gitu-gitu juga lo dulu bucin ke dia," cibir Maika membuat Gea salah tingkah.
"Ya 'kan itu waktu dulu! Pas gue masih alay," kelitnya membuat Maika semakin gencar mengisengi Gea.
"Masa sih?"
"Aih, kalian berisik terus dari tadi, jadi gak terlalu jelas dengernya!" omel Risya.
"Ya maap."
"Peraih nilai tertinggi di kelas 12 Kuliner 2, Ananda, Maika Dzikria." Seketika Maika membeku. Gadis itu belum bisa mengatasi keterkejutannya.
"Itu pasti typo 'kan?" Dengan kesal Risya memukul pelan bahu sahabatnya.
"Mana ada typo, ayo cepetan naik sana!" Risya mendorong Maika untuk bergegas berjalan menuju podium.
"ABANG SARANGHAEYO!!"
"YAK SELAMAT BANG!"
"WOI MINGGIR-MINGGIR, MACAN ASIA MAU LEWAT!"
Tolong, dia sudah sangat malu saat ini. Kalau saja ini di kelas. Sudah Maika pukuli dengan sapu ijuk teman sekelasnya itu. Untung sudah jadi alumni teman sekelas.
Dengan rasa malu yang sudah menggunung. Maika berusaha mempertahankan ekspresi datarnya. Gadis itu berjalan tegas menuju podium.
Terserahlah mereka mau berpikiran seperti apa.
"Selamat ya, Maika," ucap wali kelasnya sambil mengusap puncak kepala Maika.
"Terima kasih, ibu." Maika mencium punggung tangan wali kelasnya.
Dia masih tidak percaya ketika Piala dan sertifikat itu diserahkan padanya. Rasanya seperti ingin jadi Iron Man, ralat maksudnya– ah sudahlah tidak bisa dijelaskan. Tentunya Maika sangat-sangat bersyukur atas apa yang dia terima. Alhamdulillaahilladzi bini'matihi tatimmushshalihaat. Di barisan orang tua, Maika bisa melihat kalau Mamanya begitu senang. Papanya juga. Netra gadis itu bergerak, dia mencari seseorang yang sempat dia temui tadi. Sayangnya tidak ada.