Tidak apa-apa, kadang kamu bisa melakukan kesalahan. Semua orang pun kadang melakukannya. Belajar dari kesalahan itu, ya? -Nara.
Terhitung dari acara pertemuan dua keluarga untuk membahas pernikahan antara Maika dan Rafan, mungkin sekitar 2 minggu lagi pernikahan itu akan dilaksanakan. Mulai dari pakaian pengantin, catering, hingga gedung sudah clear. Undangan juga sudah mulai disebar. Yang jadi tugasnya saat ini, Maika harus menjelaskan pada Risya maupun Gea.
Keluarga besarnya dari pihak Mamanya maupun Papanya juga sudah diberitahu. Dan tentunya mengundang banyak reaksi yang berbeda, kakeknya Maika yang dari Mamanya tidak setuju. Mereka ingin Maika menjadi seorang dokter atau kuliah di luar negeri. Haish, boro-boro jadi dokter. Maika saja hanya lulusan SMK. Dan lagi, gadis itu tidak berminat kuliah. Tidak tahu saja kakeknya itu kalau tiap pelajaran matematika dan IPA di sekolahnya, Maika hanya tidur.
Pamannya—Nares juga menentang soal menikah muda itu, mereka tidak mau kalau Maika harus mengalami hal yang sama seperti Mamanya.
Sisanya mendukung saja, baik neneknya dari Papanya, neneknya dari Mamanya paling antusias, bahkan kakeknya yang dari Papanya juga mendukung saja. Kedua tantenya juga merasa tidak masalah. Hanya saja banyak yang menyayangkan kalau Maika masih muda, tak jarang mereka membandingkan Maika dengan sepupu-sepupunya lulus SNMPTN. Komentar paling pedas berasal dari istri pamannya, katanya mamanya gagal mendidik Maika. Sampai mengatakan kalau masa depan Maika itu suram.
“Maika beda banget ya sama Narisa, lihat Narisa dia lulus SNMPTN. Jalur raport lho, udah gitu keterimanya di UI jurusan kedokteran. Lha ini, masih bau kencur udah mikir nikah aja.” Komentar pedas yang dilayangkan tantenya itu sempat membuat Maika berniat untuk membatalkan pernikahannya.
Tolonglah, dia hanya anak gadis biasa. Yang kalau diberikan komentar semacam itu, mentalnya langsung down. Sekalipun orang-orang bilang udah gak usah dipikirkan, tapi ‘kan tetap saja hatinya terasa sakit dengan ucapan itu. Memangnya kalau tidak kuliah itu artinya dia tidak punya masa depan?
Mamanya sampai marah besar pada Nares dan keluarganya. Karena bukannya mendapat sambutan hangat, malah dapat cacian. Padahal niat mereka itu baik. Menikahkan Maika juga untuk menjaga kehormatan gadis itu, tapi mereka malah berpikiran kalau Maika masa depannya tidak jelas. Parahnya mereka berpikir kalau Maika hamil di luar nikah.
Saat itu mamanya langsung menarik Maika keluar. Bahkan sampai membanting pintu besar rumah itu. Ibu mana yang tidak sakit saat anaknya direndahkan seperti itu?
Mereka lupa dengan sifat bar-bar Nala sepertinya. Sudah tahu singa betina sedang tidur, malah dibangunkan.
Kalau mengingat momen hari itu, perasaanya sangat campur aduk. Sedih, senang, dan bangga tercampur aduk. Dia ingat, dia dan mamanya sampai meninggalkan Jihan dan Zahira dengan papanya. Sedangkan dia dan Mamanya pergi ke suatu tempat.
Di sana, dia mencurahkan semua perasaannya yang tertahan selama 18 tahun ini pada mamanya. Dia merasa lega. Sangat- sangat lega. Getaran di ponselnya membuat Maika tersadar dari lamunannya. Gadis itu membaca pop up pesan yang muncul.
Ternyata pesan dari Nara yang berisi ajakan untuk keluar Rumah. Tidak mungkin juga jam segini dia pergi ke mall. Maika sedang malas pergi terlalu jauh.
“Ma, Mai mau izin ke warung bakso cuanki. Boleh gak?” Maika menghampiri mamanya yang tengah menyuapi Zahira makan.
“Sama siapa?” tanya Mamanya.
“Nara, Ma. Abis itu pulang lagi kok,”ucap Maika. Nala menghela napas.
“Jangan lama-lama, ya.” Maika mengangguk. Gadis itu langsung menyalami Mamanya. Dengan semangat 45, Maika berjalan menuju garasi.
Sudah lama juga dia tidak jalan-jalan. Gadis itu mulai menjalankan motornya. Semoga saja Rafan belum pulang. Dia belum siap kalau harus berpapasan dengan laki-laki itu.
Ketika sedang asyik mengendarai motornya, Maika dibuat terkejut oleh mobil yang menyerempetnya hingga Maika kehilangan keseimbangan dan berakhir jatuh di atas aspal. Kakinya tertindih motor. Bibirnya berdarah karena terbentur kaca spion.
Beberapa orang mulai mengerumuninya. Maika masih syok, gadis itu memegangi kepalanya yang terasa pusing. Ada untungnya hanya terbentur tiang. Di sisa kesadarannya. Maika bisa melihat kalau Rafan menghampirinya.
“Mai, Hei!”
Untuk yang pertama kalinya juga dia mendengar Rafan memanggil namanya.
***
Terkait kecelakaan Maika ini, hanya Nara dan Rafan yang tahu. Para orang tua belum diberitahu. Tidak terbayang seberapa hebohnya nanti jika orang tua mereka diberitahu soal ini. Untungnya tidak ada luka yang serius. Kaki Maika juga hanya mengalami memar saja dan benturan di kepalanya juga tidak sampai menimbulkan gagar otak.
Ada-ada saja memang, padahal 2 minggu lagi gadis itu menikah. Memang dasarnya Maika ini tidak bisa diam. Jadi begini akhirnya.
“Maika!” seru Nara ketika Maika mulai siuman.
“Ada yang sakit? Lo bisa liat gue sama abang ‘kan?”
Maika memegangi kepalanya. Dia sebenarnya sudah sadar sih. Hanya saja dia sedang berniat mengeprank Nara. Mari kita lihat reaksinya. Di sini ada Rafan juga. Sekali-kali caper tidak apa-apa kali, ya? Semoga ini termaafkan.
“Kamu siapa?” Asli, Maika ingin sekali menyemburkan tawanya saat melihat wajah tegang Nara dan Rafan.
“Mai, jangan bercanda lah. Gak lucu tau,” ucap Nara memelas sambil mencoba menyentuh tangan Maika.
Demi totalitas aktingnya, Maika menepis tangan Nara.
“Kita gak kenal, kamu siapa?” Nara mulai menangis. WOILAH PENGEN NGAKAK INI MAIKA. Bisaan juga dia akting sehebat ini.
“Cengeng banget, gue gak apa-apa. Maaf, cuman bercanda,” kata Maika. Nara yang tadinya menangis seketika langsung menghentikan tangisnya. Lalu menatap tajam ke arah Maika yang kini tertawa pelan.
“Gak ada yang lucu.” Tiba-tiba saja Rafan bersuara dengan nada dingin.
Seketika tawa Maika reda. Mendadak perasaan gadis itu jadi tak enak. Dia merasa bersalah.
“Pernikahan kita tinggal 2 minggu lagi kalau lo lupa. Enggak bisa ya diem aja di rumah? Semua di sini khawatir asal lo tau. Dan lo malah jadiin itu becandaan,” kata Rafan disertai tawa getir.
Tidak tahukah Maika seberapa takutnya dia kehilangan gadis itu? Bayang-bayang kejadian dimana Maika bersimbah darah 3 tahun lalu kembali menghantuinya.
Dia takut kehilangan Maika. Rafan menarik napasnya, mata laki-laki itu sudah memerah. Tanpa bicara lagi, dia keluar ruangan Maika. Rafan takut kalau emosinya tidak stabil, dan berujung menyakiti Maika dengan perkataannya. Rafan tidak mau hal itu terjadi. Lebih baik dia menenangkan dirinya.
Sepeninggalnya Rafan, Maika terisak. Gadis itu meratapi kesalahannya. Dia memang sudah keterlaluan. Tidak seharusnya dia bercanda dengan seperti ini.
“Mai udah ya, lo belum pulih bener. Abang gue cuman lagi khawatir sama lo, jadi gitu. Udah, ya?” Nara menghapus air mata Maika.
“Gue keterlaluan banget, Nar,” sesal Maika.
“It’s okay. Gue maklumin kok. Sekarang lo istirahat lagi aja, ya. Gak apa-apa. Semua bakal baik-baik aja. Abang khawatir sama lo, makanya dia kayak gitu. Percaya sama gue.” Nara meyakinkan Maika.
***
Karena tidak ada luka yang begitu serius, Maika diperbolehkan untuk pulang. Gadis itu ingin menanyai satu hal. Tapi dia merasa tidak enak. Dan ketika Rafan menebus obat, barulah dia berani bertanya pada Nara.
“Ehm, biaya rumah sakitnya gimana, Nar? Gue gak mau ngerepotin lo sama Kak Rafan,” ucap Maika.
“Ihh, santai aja kali. Biarin aja dia yang urus. Lo ‘kan calon istrinya dia, udah gak usah mikirin itu,” jawab Nara.
Tapi ‘kan tetap saja dia merasa tidak enak. Apalagi dia sudah membuat laki-laki itu marah padanya.
“Tapi, Nar gue-“
“Ssst! Nanti abang gue malah makin marah.” Akhirnya Maika hanya bisa mengangguk pasrah. Rasanya begitu campur aduk. Maika memegangi kepalanya yang terasa pusing.
Dia ingin sekali menangis. Perasaannya jadi sangat sensitif sekali. Tiba-tiba saja ada air mineral di hadapannya. Maika melihat siapa yang memberikan itu. Ternyata Rafan. Laki-laki itu menatapnya dengan tatapan dingin. Dengan ragu, Maika mengambilnya.
“Makasih, Kak,” ucap Maika.
Setelah Maika selesai minum. Ketiganya berjalan menuju parkiran. Sepanjang perjalanan pulang. Maika hanya memejamkan matanya. Kepalanya terasa berat. Saat membuka mata, Maika melihat kalau mobil ini sudah memasuki Gapura komplek mereka. Dia jadi deg-deg an sekali. Tidak bisa membayangkan kalau Mama atau Papanya tahu soal ini, bisa-bisa si Milo disita. Milo itu nama panggilan untuk motor Mionya.
“Ayo turun,” kata Rafan. Maika menggelengkan kepalanya.
“Kenapa?” tanya Rafan mencoba sabar.
“Takut mama marah,” jawab Maika pelan.
Yaa Rabb ... kalau seperti ini bagaimana bisa Rafan tidak makin suka. Maika terlihat sangat menggemaskan.
“Biar gue yang jelasin.” Rafan keluar dari mobilnya. Tak lama, Mamanya Maika dan Bundanya Nara langsung berbondong-bondong menghampiri mobil Rafan.
“Yaa Allah Mai, kamu teh lagi gimana? Kok bisa sampai gini?” tanya Mamanya Maika sambil meniliti putrinya.
“Dia keserempet mobil, Ma. Kayaknya yang bawa mobil lagi mabuk. Alhamdulillaahnya enggak ada luka serius. Tapi kalau misal ada keluhan pusing yang gak ilang, mesti balik lagi buat CT Scan,”jelas Rafan.
Ini pertama kalinya Maika mendengar laki-laki itu berbicara panjang lebar.
“Kata Mama juga diem aja di rumah, ngeyel sih! Lagian kalian lagi dalam masa pingit. Enggak boleh ketemu, belum mahrom.” Maika menunduk mendengar omelan Mamanya.
“Mulai besok kalian gak boleh ketemu,” putus Bundanya Nara.
“Ayo sini Mama bantu!” Maika menerima uluran tangan Mamanya.
“Saya pamit, Assalamu’alaikum.” Rafan menghampiri Bundanya yang tengah membangunkan Nara.
“Wa’alaikumussalam.”
Tak lama Bundanya Nara berjalan menghampiri Maika dan Mamanya. “Cepet sembuh ya sayang, tadi Bunda udah titip obat oles ke Mama. Nanti olesin di bagian yang memar. Nal, Mbak pamit dulu ya,” ucap Bundanya Nara.
“Makasih Tante,” balas Maika.
“Masa manggilnya mau Tante terus?” tegur Mamanya.
“Eh maaf, maksudnya Bunda.”
“Iya gak apa-apa, mungkin belum terbiasa. Assalamu’alaikum,” pamit Bundanya Nara.