Chapter 2 - Sedang Butuh Belaian

1836 Words
“Jadi maksudmu aku bukan perempuan pertama yang ‘tidur’ denganmu?” tanya Vina dengan mata yang terlihat sedikit terbelalak lebar. “Tentu saja bukan, Vina,” jawab Adrian seraya tersenyum miring. “Tidak usah berlagak sok naif di hadapanku. Aku ini laki-laki normal berusia tiga puluh satu tahun, kamu pikir aku tidak butuh yang namanya ‘belaian’ seorang perempuan?” sambungnya dengan raut yang nampak masih agak kesal. Vina terdiam sejenak untuk berpikir. “Tadi kamu bilang kamu punya ketertarikan seksual yang berbeda … memang jenis ketertarikan seksual apa yang kamu punya?” tanyanya penasaran. Adrian, yang memang tingkat gairahnya pada Vina sudah menurun drastis, memilih untuk tidak menjawab pertanyaannya. Dia meraih ponselnya yang tergeletak di atas ranjang, dan lanjut memesankan Vina sebuah taksi online. “Aku sudah memesan taksi buat mengantarmu pulang, kamu boleh keluar dari apartemenku sekarang dan menunggu di lobby,” perintahnya, atau lebih tepatnya mengusirnya secara halus. “Loh? Jadi kamu mengusirku?” gerutu Vina dengan wajahnya yang cemberut. “Ck, siapa juga yang mengusirmu? Bukannya tadi kamu sendiri yang bilang kalau kepalamu sakit dan kamu mau pulang saja? Kenapa sekarang malah jadi berubah pikiran, hm?” sarkas Adrian sambil membaringkan tubuh berototnya yang separuh telanjang itu di atas ranjang. Paras Vina langsung merona padam karena kesal bercampur malu. Tanpa basa-basi dia langsung merapihkan dan memakai kembali seluruh pakaiannya, menyisir asal rambutnya, mengambil handbag beserta ponselnya—dan pergi meninggalkan Adrian sendirian tanpa berucap sepatah kata pun. Brak! Bunyi pintu apartemen Adrian yang dibanting kasar oleh Vina menggema hingga ke seluruh penjuru ruangan. “Ck, dasar perempuan plin-plan. Untung aku tidak jadi membayari dia ongkos pulangnya,” gumam Adrian kesal. Laki-laki yang tulang hidungnya tinggi dan lurus bak perosotan itu lanjut menghubungi Petra, sahabatnya, setelahnya. “What’s up, bro?” sapa Petra seraya tersenyum lebar. “Bagaimana ‘one night stand’-mu dengan Vina? Lancar? Fetish jenis apa yang kamu ‘mainkan’ dengan dia hari ini?” tanyanya seraya sedikit merayu kawannya. “Lancar apanya? Baru juga mulai, dia sudah keburu malas duluan,” jawab Adrian usai berdecak geram. Dia menghela napas panjang buat sesaat. “Sepertinya memang susah, ya, menemukan perempuan tulus yang mau menerima ketertarikan seksualku yang tidak biasa ini,” imbuhnya sambil tersenyum kecut. “Hmm .. Itu artinya Vina memang bukan perempuan yang cocok buatmu, bro. Tenanglah, aku juga masih single kok,” ucap Petra. “Nanti juga suatu saat kita akan ketemu dengan perempuan yang cocok dengan selera kita.” “Yeah, aku juga yakin sekali, paling-paling habis ini Vina akan langsung memblok nomorku dan meng-unmatch-ku di aplikasi dating online tidak berguna itu.” Adrian lanjut bicara sambil menaikkan kedua bahunya yang lebar itu dengan raut santai, “Tapi aku tak peduli. Toh stok perempuan di muka Bumi ini belum habis.” “Nah, begitu dong,” tutur Petra seraya tersenyum lebar. “Bagaimana kalau buat menghibur hatimu, habis ini kita pergi ke club bersama? Siapa tahu kan di sana ada perempuan cantik dan sexy yang bisa kita jadikan ‘bantal’ buat menemani tidur kita malam ini?” ajaknya seraya menyeringai. Adrian ikut menampilkan seringai nakalnya. “Ide yang bagus, sobat. Kita ketemuan saja di Club Eighty Rose, oke?” pintanya. “Oke.” Panggilanpun terputus. Kebetulan sekali, keduanya sampai di Club Eighty Rose di saat yang bersamaan, lebih tepatnya empat puluh enam menit kemudian. “Tumben tidak ‘ngaret’?” canda Adrian. “Aku sudah tidak tahan, Adrian, mau cepat-cepat ‘mencuci mataku’ di sini,” jawab Petra seraya bergurau. Lampu disko yang berwarna-warni diiringi dengan lagu-lagu EDM yang dibawakan oleh seorang disc jockey menjadi latar orang-orang yang sedang sibuk menari di atas lantai dansa. Ada yang masih sadar, ada yang sudah separo sadar, dan ada juga yang benar-benar sudah lenyap kesadarannya akibat ulah sebotol vodka. “Kamu mau minum apa? Biar aku yang traktir,” ujar Adrian sambil memperhatikan sebuah menu yang ada di hadapannya. “Wow, thanks, bro!” kata Petra semangat. Laki-laki yang kulitnya hitam manis ini memang paling suka ditraktir. “Aku pesan bloody mary saja,” sambungnya usai menghabiskan beberapa detik waktunya untuk melihat-lihat deretan minuman keras yang terpampang dalam daftar menu. “Oke.” Adrian lanjut memanggil seorang bartender. “Aku pesan bloody mary-nya satu dan mojito-nya satu. Less ice, ya,” pesannya. “Baik, Tuan. Ditunggu sebentar,” ucap sang bartender yang usianya masih muda itu. Pandangan Petra teralihkan sepenuhnya setelahnya ke arah seorang perempuan bertubuh bak gitar Spanyol dan berpayudara besar yang sedang berdiri dari kejauhan bersama dua orang temannya—sambil terus menatap ke arah dirinya dan Adrian. “Hei, coba lihat perempuan itu. Tubuhnya boleh juga,” bisiknya sambil menyikut pelan siku Adrian. “Yang mana?” tanya Adrian bingung. “Arah jam dua belas,” jawab Petra. Perempuan itu langsung tersipu malu saat sepasang maniknya bertemu dengan sepasang manik milik Adrian. Petra mengedipkan satu matanya dengan nakal, “Sepertinya dia suka denganmu. Sana hampiri dia dulu, biar aku yang menjaga kursi dan mojito-mu.” Adrian hanya tersenyum lebar. Dihampirinya perempuan itu—yang ternyata adalah seorang perempuan penghibur—dengan langkah dan pembawaan yang nampak gentle dan cool. Sejak pertemuan awalnya saja perempuan itu sudah berani meletakkan tangannya ke atas d**a Adrian yang bidang, yang hanya ditutupi sebuah kemeja biru polos yang bahannya tipis. Karena sudah sama-sama tak bisa menahan nafsunya, ditambah lagi Adrian Mahveen memang sedang butuh ‘dibelai’, Adrian langsung membawa perempuan itu ke kamar mandi wanita dan mengajaknya bercintaa di dalam sana. “Kamu tidak punya penyakit menular seksual, kan?” tanyanya usai menurunkan celana jeans serta boxer-nya, dan memakai ‘alat pengaman’ berbentuk seperti balon yang dia selipkan di dalam dompet kulit tebal warna kremnya. “Tidak, sayang,” jawab perempuan penghibur itu sambil mengelus pelan pipi Adrian yang mulus. Kelar menyibak mini dress-nya ke atas dan menanggalkan panties-nya yang tipis, dia lalu lanjut duduk mengangkang di atas pangkuan paha Adrian—yang sedang duduk di atas WC duduk yang sudah dia tutup. Perempuan penghibur itu langsung mendesah keenakan saat merasakan batang berurat milik Adrian yang seketika ‘mengisi’ lubang hangatnya dengan ‘penuh’. “Ahhh … f**k, punyamu besar sekali, Adrian,” desahnya seraya menggenjot milik Adrian dengan tempo lamban. Dikecupnya belahan gundukan besar dan kenyal milik perempuan penghibur itu bergantian, lalu diremasnya dengan lembut. “Bergerak lebih cepat, sayang,” perintah Adrian. “God, damn,” erangnya saat perempuan penghibur itu mempercepat tempo genjotannya. Adrian Mahveen, biasa dipanggil Adrian saja, bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan sukses bernama Enigma Softwares yang bergerak di bidang teknologi dan informasi. Bukan tanpa alasan, pendiri sekaligus CEO Enigma Softwares memanglah Berend Mahveen, ayah kandungnya yang usianya nyaris mau menyentuh angka tujuh puluhan. Untuk saat ini, Adrian baru diberikan kepercayaan untuk menjabat sebagai seorang manajer di perusahaan yang kelak akan jadi miliknya. Aleyna Mahveen, ibu kandungnya, sudah lama meninggal di usianya yang masih tergolong muda, tiga puluh delapan tahun, akibat kanker tulang yang menggerogoti tubuhnya. Namun tak butuh waktu lama bagi Berend untuk menikah kembali, yang mana di pernikahannya yang kedua ini, dia yakin sekali kalau yang dinikahinya adalah cinta sejatinya. Berend menikah kembali dengan seorang perempuan asal Kyoto, Jepang, bernama Mariko Fujita. Keduanya tidak sengaja bertemu saat Berend sedang melakukan bisnis trip ke Jepang, dan sambil menikmati pemandangan bunga sakura yang berguguran dengan indah, Berend mengajak Mariko untuk berkenalan. Mariko sendiri sebelumnya sudah pernah menikah dengan seorang laki-laki asal Indonesia bernama Herman Amaya. Dari pernikahannya yang pertama ini, dia dikaruniai dua orang anak—Deniz Amaya, yang usianya cuma setahun lebih tua dari usia Adrian; dan Monique Amaya, yang usianya dua tahun lebih muda daripada Adrian. Secara otomatis, pernikahan ayahnya yang kedua ini memberikan Adrian dua orang saudara tiri, di mana sebelumnya Adrian selalu menghabiskan waktunya bersama dengan teman-temannya dan bukan dengan saudaranya. Dikarenakan Adrian anak tunggal, dulu saat masih hidup, terutama menjelang detik-detik terakhirnya, Aleyna acap kali meminta Adrian untuk cepat-cepat menikah dan memomong anak. Bahkan permintaannya pun sederhana. Aleyna tahu kalau waktunya di Bumi ini sudah tak banyak lagi, jadi dia hanya meminta Adrian mengikat tali pernikahannya di hadapan dirinya saja—dan itu sudah bisa membuatnya pergi dengan bahagia. Tapi apa daya, bahkan hingga detik ini pun, Adrian Mahveen belum menemukan perempuan yang bisa dia jadikan istri … apalagi ditambah dengan semua ketertarikan seksual alias fetish-nya yang unik. Padahal setiap kali hendak menjalin hubungan dengan seorang perempuan, dengan blak-blakan Adrian menceritakan soal fetish-nya. Dan, terkadang, walaupun pada awalnya perempuan-perempuan itu merasa biasa-biasa saja—karena dompet tebal dan fisik Adrian yang menawan juga tentunya—tapi pada akhirnya, perempuan-perempuan itu malah mundur dengan perlahan. “Benar-benar aneh dan menjijikan! Kamu punya kelainan seksual, kan? Tidak mau coba konsultasi ke dokter atau seksolog?” cemooh salah seorang mantan kekasih Adrian, Wendy namanya. Seandainya saja Berend dan Aleyna tahu, kalau hal ini yang membuat putra sematawayangnya itu tak urung menikah hingga saat ini ... “Ahh! Ahh! Ahh! f**k ..,” desah perempuan penghibur itu, yang sudah satu kali dibuat mencapai puncak kenikmatannya oleh Adrian. Keduanya kini berganti posisi menjadi ‘doggy-style.’ Ukuran kamar mandi yang tidak terlalu luas itu malah membuat tubuh Adrian dan perempuan penghibur itu berada semakin dekat. Jadi semakin panas dan sesak pula memang, namun semakin menggairahkan. Dan hampir sepuluh menit kemudian, keduanya akhirnya mencapai puncak kenikmatannya untuk yang kedua kalinya. “Oh, f**k, damn,” desah Adrian sambil meremas kasar b****g dan gundukan besar perempuan penghibur itu. Dengan cekatan keduanya memakai dan merapihkan kembali seluruh pakaiannya. Keduanya pun juga sama sekali tak peduli meskipun ada segelintir pengunjung kamar mandi yang sayup-sayup mendengarkan suara desahan dan penyatuan tubuhnya, karena toh yang penting tidak ada yang melihat apalagi merekam aktifitas panas itu. “Adrian …,” panggil perempuan penghibur itu. “Aku boleh menginap di apartemenmu malam ini?” pintanya sambil mendekatkan gundukan kembarnya yang besar itu ke lengan Adrian yang berotot. “Aku mau mengenalmu lebih dekat, sayang.” Dia tersenyum tipis. “Maaf, tapi tidak. Kamu tidak boleh menginap di apartemenku,” tolak Adrian seraya sedikit mejauhkan lengannya dari tubuh sexy perempuan penghibur itu. “Kenapa, sayang?” tanya perempuan penghibur itu dengan sorot kecewa. “Karena aku tidak ‘normal’. Aku aneh,” jawab Adrian serius. “Aku juga tidak ‘normal’ kok. Bukankah setiap orang punya sisi ‘gila’-nya masing-masing, hm?” tutur perempuan penghibur itu. Adrian tersenyum getir. “Kamu tidak akan mengerti,” katanya—sambil merogoh sebatang rokok dan sebuah korek dari dalam kantung celana jeans-nya, lalu pergi meninggalkan perempuan penghibur itu sendirian dengan parasnya yang merengut. “Hey, lama sekali? Kamu habis mengajaknya bercintaa di mana? Parkiran?” gurau Petra begitu melihat kedatangan sahabatnya kembali. “Nih, mojito-mu,” lanjutnya sambil memberikan Adrian segelas mojito pesanannya yang esnya sudah mencair semua. “Di kamar mandi wanita,” jawab Adrian. Diminumnya segelas mojito-nya sampai setengah. “Sudahlah, lupakan saja. Palingan juga dia sama seperti mantan-mantanku yang cuma menganggapku sebagai cowok tidak waras,” ujarnya skeptis. ♥♥TO BE CONTINUED♥♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD