bc

Sweet Poison

book_age18+
480
FOLLOW
2.1K
READ
dark
love after marriage
age gap
aloof
brave
drama
tragedy
sweet
bxg
icy
like
intro-logo
Blurb

Setelah tertimpa beragai macam kemalangan, Althea Lee bertemu dengan seorang pria yang mengaku sebagai tunangannya, An Ri Han. Althea pikir, semua cobaan hidupnya akan langsung sirna setelah ia menikah. Namun, harapannya hancur saat ia mengetahui fakta bahwa suaminya tidak memiliki perasaan apapun padanya. Walau begitu, Thea tetap berusaha agar Ri Han mengakuinya dan memberinya sekelumit cinta. Sayangnya, takdir kembali mempermainkannya saat kebusukan sang suami terungkap. Akankah Thea kembali mendapatkan cinta dan kebahagiaannya?

***

Cover image by cottonbro on pexels

Font :

1. Optimus Princeps ( 100% free on dafont.com )

chap-preview
Free preview
Chapter 1
Suara petir menggelegar, membelah heningnya malam. Air mata langit mengguyur bumi, mengisyaratkan duka mendalam yang terkenang. Di bawah derasnya hujan, sosok pria berjas hitam berdiri di depan kediaman Choi. Manik kelamnya menatap sayu, meratapi sebuah dosa yang tak akan pernah hilang ditelan oleh waktu. Di depan pintu utama kediaman Choi, seorang laki-laki paruh baya menatapnya dengan tatapan tajam. Tangannya mengepal erat, menahan amarah yang membuncah. “Tarik permintaanmu kembali, Ri Han,” desisnya. “Sampai dunia ini hancur pun aku tidak akan membiarkanmu menikahi wanita itu!” Menipiskan bibir, pria itu mengangkat kepalanya. Menatap balik pada manik kelam yang menatap tajam padanya. “Maaf, tapi semua yang saya katakan bukanlah sebuah permintaan. Anda menyetujuinya atau tidak, saya akan tetap menikahi gadis itu.” “An Ri Han!” bentak sang pria paruh baya. “Apa kau lupa dengan janjimu? Apa kau lupa dengan semua sumpah yang kau ucap?!” Diam. Ri Han tak menjawab. Ia tak akan pernah lupa dengan janji yang ia ucap. Walau begitu, ia harus menebus semua semua kesalahannya. Ia harus membereskan sisa masa lalu yang tertinggal. “Saya akan menanggung akibatnya,” ucap Ri Han. Merasa keputusan Ri Han sudah bulat, rahang sang pria paruh baya pun mengeras. Beberapa anak buahnya pun segera menghampiri dan menahan tangan Ri Han. Sang pria tampan tak memberontak walau ia tahu, hukuman yang ia terima bukanlah hukuman ringan. “Kurung dia. Berikan beberapa cambukan hingga dia jera,” ujar sang pria paruh baya seraya mengambil cerutu dan menghisapnya. Berharap semua yang ia dengar dari bibir Ri Han hanyalah buaalan semata. Namun, yang ia harapkan layaknya berbeda dengan realitas. Sebuah kalimat yang Ri Han ucapkan, semakin membuatnya membara. “Abonim … tolong jangan sentuh Althea Lee. Hidup dan matinya, hanya milikku seorang.” Ingin rasanya membenturkan kepala putranya tercinta ke tembok terdekat. Walau begitu, ia masih memiliki hati nurani untuk menahan semua hasratnya. Menoleh, ia kembali melemparkan tatapan tajam pada Ri Han. “Aku tidak akan terburu-buru. Masih banyak waktu untuk melenyapkannya dari kehidupanmu.” *** Waktu bergulir, senada dengan keresahan hati yang tak kunjung padam. Memandang pekat langit malam hanyalah sebuah pelampiasan. Dari balik jendela kamar, ia mengamati bayang-bayang. Embusan udara di luar sana, tak mampu menyampaikan pesan cinta yang membuncah di d**a. Begitu dingin, hingga menusuk tulang. Membekukan hati yang kini dilanda sepi. Tatapan resahnya tak mampu beranjak dari tiap rintik tangisan sang angkasa. Dadanya merindukan sebuah belaian, sebuah kasih sayang. Menghela napas, ia melenyapkan semua pikiran buruk yang bergentayangan. Menoleh, menatap jam dinding yang menemaninya dalam kesepian. Sudah larut malam, tapi belum ada tanda akan kehadiran orang yang ia cinta. Dimanakah gerangan suaminya? Apakah masih ada pekerjaan yang belum diselesaikan? Mengapa sampai selarut ini? Bibirnya menipis, menahan sesak yang membuncah. Kakinya melangkah, menghampiri ponsel yang sedari tadi tergeletak di atas kasur. Cepat-cepat ia menggeser layar, berharap ada satu pesan masuk yang ia terima. Berharap setidaknya cintanya mengabari terlebih dahulu jika akan pulang larut malam. Jika tidak, ia tidak akan bisa tidur sebelum melihat sosok yang sedari tadi ia nanti. Kembali, manik cokelat itu menatap layar ponsel. Namun, apa yang ia harapkan tidak ada di sana. Pesan ataupun panggilan, tidak ada satu pun jejak sang suami di sana. Kalut. Pikirannya kini tidak tenang. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada suaminya tercinta. Ia tidak tahu bagaimana kondisi cintanya. Semua itu membuat pikirannya kacau hingga semua mimpi buruk pun terbayang. “Ri Han,” bisiknya, lirih. Merebahkan diri, Thea mulai lelah menanti. Senjenak, matanya terpejam. Mencoba berpikir jernih, tapi tetap saja akalnya menolak. Bagaimana bisa ia berpikir jernih jika suaminya belum pulang sampai hampir tengah malam? Di luar sedang hujan dan itu tidak baik untuk kesehatan, bukan? Apakah suaminya makan dengan baik di kantor? Apakah suaminya istirahat cukup di kantor? Thea khawatir. Cintanya selalu saja pulang larut. Tak jarang ia khawatir dengan kesehatan sang suami. Memang, Ri Han bekerja untuk menafkahinya, tapi semua itu terasa salah. Seharusnya pria itu lebih memikirkan dirinya sendiri. Disambarnya ponsel yang tergeletak di ranjang. Seketika, ia mencari kontak sang suami dan mencoba untuk meneleponnya. “Angkat teleponnya, Ri Han….” bisiknya, frustrasi. Tersambung. Namun, sepertinya sang suami tak berminat untuk menjawab panggilan masuknya. Tidak ada jawaban, dan akhirnya ia hanya bisa menipiskan bibir dan membanting ponsel di atas ranjang. Hatinya campur aduk tak menentu. Di mana Ri Han sekarang? Mengapa tidak menjawab? Apa panggilan dari sang istri sama sekali tidak penting untuk Ri Han? Rasa khawatir bercampur kesal pun membara. Yang ia butuhkan hanya pelampiasan agar ia tak lagi menumpahkan air mata. Satu bantal ia lemparkan. Dua, hingga tiga. Dan yang terakhir, bertepatan dengan pintu kamar yang dibuka. Alhasil, bantal itu pun berhasil mengecup sosok yang kini berdiri di ambang pintu. Seketika, manik cokelatnya melebar sempurna. Menatap canggung dengan senyum kecut yang mengembang. Pria itu, pria yang sedari tadi ia tunggu ... kini menatap tajam dengan wajah dingin yang tak terhapuskan. Masih dengan setelan jas hitam dan rambut yang tertata rapi. Thea tak mampu menatap terlalu lama. Ia takut jika suaminya murka. Namun, alih-alih marah, sang suami malah tak menampakkan perubahan raut yang berarti. “Kenapa belum tidur?” tanya Ri Han, datar. Pertanyaan dengan nada yang begitu dingin. Thea bahkan tidak mengerti apakah suaminya sedang marah atau tidak. “A-aku mengkhawatirkanmu. Ini sudah larut dan kau belum pulang. Kau juga tidak mengabariku,” ujar Thea. Kaki mungilnya kini menapak lantai dan menghampiri sang suami. Namun, pria itu masih menatap datar, tak menunjukkan sebuah reaksi yang berarti. “Kau basah,” bisik Thea. “Biar aku bantu melepas bajunya.” Tangan mungil Thea hampir menyentuh Ri Han, tapi pria itu langsung mencengkeram erat tangan Thea. Menghentikan niat baik sang istri. “Tidak usah repot-repot. Aku bisa mengatasinya sendiri,” ujar Ri Han. “Ta-tapi—” Ri Han tidak menghiraukan istrinya. Pria itu memilih melangkah menjauh sembari menanggalkan dasi dan jasnya. Ia tidak peduli dengan Thea yang melayangkan tatapan khawatir. Semua itu tidak penting baginya. Ya, karena baginya … istrinya hanyalah bonus tambahan yang digunakan untuk memperlancar kehidupan nyata yang ia miliki. “Ri Han, setidaknya istirahatlah seben—” Menoleh, Ri Han melemparkan tatapan tajam pada Thea hingga wanita itu hanya bisa menundukkan kepala. Nyali Thea benar-benar menciut kali ini. Sang suami tak mengatakan apa pun, tapi manik tajam itu seolah mengulitinya.Walau Thea memang istri Ri Han, entah mengapa ... rasanya semua itu hanya tertulis di atas kertas. Ri Han seolah tidak pernah mencintainya. Pria itu bahkan tidak pernah membelainya dengan kasih dan cinta walau sekali seumur pernikahan mereka. Jika pengantin baru lainnya membicarakan betapa manis kisah cinta mereka, Thea hanya bisa tersenyum lemah. Selama empat bulan ia menikahi Ri Han, pria itu hanya menyentuhnya sekali. Itu pun saat malam pertama. Selebihnya? Jangankan bercinta, Ri Han bahkan tak pernah menyentuh Thea dengan mesra. Kadang Thea berpikir, apakah ia tidak memenuhi selera Ri Han? Ataukah— Tidak. Ri Han tidak pernah memiliki wanita lain. Pria itu juga memenuhi segala kebutuhan Thea, jika itu menyangkut materi. Kadang Thea pun berpikir, untuk apa menikah kalau akhirnya ia pun tidak pernah dianggap oleh suaminya? Tidak seperti kisah cinta teman-temannya. Ia merasa iri saat melihat teman-temannya bergandeng tangan dengan pacar atau suami mereka. Terlihat begitu bahagia, begitu indah. Tidak seperti dirinya dan suaminya. Hampa. Walau begitu, Thea tidak akan menyerah. Ia berusaha untuk menjadi istri yang baik. Kepercayaan yang diberikan sang suami, akan ia jaga dengan baik. Mungkin karena Ri Han terlalu sibuk bekerja, pria itu sampai melupakan cara untuk memanjakan dirinya sendiri. Lagi pula, Thea pun tidak tega melihat wajah lelah Ri Han sepulang dari bekerja. Sebisa mungking, ia harus berusaha membantu suaminya. Keheningan terpecah ketika ponsel Ri Han berdering. Pria itu pun langsung menerima panggilan. Di sisi lain, Thea masih tak bergeming, hanya saja manik indahnya tak bisa menahan diri untuk mengamati sang suami. Walau pria itu sesekali melirik tajam pada Thea, semua itu tak membuat hati Thea gentar. Mungkin bagi orang lain, itu adalah tatapan yang mengerikan. Tapi tidak untuk Thea, ia sudah terbiasa. Wajah Ri Han memang selalu tak bersahabat. Ia tahu, suaminya adalah pria yang baik. “Kirimkan data yang lengkap, aku akan mengurusnya besok.” Thea masih menatap suaminya yang kini menutup telepon. Tentu, semua itu tentang masalah pekerjaan. Ri Han sangat sibuk. Bahkan waktunya untuk beristirahat harus dikorbankan karena pekerjaan. Tak jarang Thea mendapati Ri Han tertidur di ruang kerja. Membuat wanita itu khawatir dengan kesehatan sang suami tercinta. “Dari kantor?” tanya Thea, sembari tersenyum manis. “Akhir-akhir ini, kau jarang tidur. Jangan paksakan dirimu terlalu berlebihan.” Ri Han hanya mengangguk. Pria itu kembali melangkah. Bukan ke tempat tidur, melainkan ke pintu kamar. Melewati Thea yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri. “Tidurlah, aku masih ada pekerjaan,” ujar Ri Han. Setelah mengucap kata-kata itu, Ri Han melanjutkan langkah. Thea hanya bisa menatap punggung kokoh suaminya dengan manik sendu. “Ri Han terlalu memaksakan diri,” bisik Thea, khawatir. Beralih pada Ri Han yang melangkah keluar. Ponselnya kini ia tempatkan di telinga, menunggu jawaban dari seberang sana. Sebuah pembicaraan serius yang tidak boleh didengar oleh Thea pun berlanjut. “Jahat sekali kau, Sunbae-nim. Tiba-tiba mematikan telepon. Apa tadi aku menelepon di saat yang salah? Jangan-jangan kau dan istrimu sedang bercin—” “Lanjutkan yang tadi,” potong Ri Han. “Bagaimana perintah dari sajang-nim?” Suara kekehan terdengar. “Aha, ternyata Sunbae-nim tipe pemalu ya? Ah, baik. Kita beralih tema. Misi kali ini lebih berisiko.” “Asalkan ada pisau dan pistol di tanganku, semua teratasi.” Ri Han mencuramkan alis. Ya, asalkan ada pisau dan pistol di tangannya maka ... semua akan menjadi lautan darah. Ia adalah seorang pembunuh bayaran nomor satu. Selalu berkutat dengan misi berbahaya yang mengancam nyawa. Namun begitu, tak ada seorang pun yang bisa menggoresnya. Ia selalu membunuh target dengan cepat dan tanpa suara. “Hoo~ menyeramkan. Aku jadi ingin tahu, bagaimana jika istrimu sampai tahu tabiat aslimu?” Suara tawa kembali terdengar. Sungguh, itu membuat Ri Han naik darah. “Jika ia tahu tentang diriku yang sebenarnya, aku akan langsung memesan peti mati untuknya,” geram Ri Han. Tidak. Ri Han serius. Thea memang bagian dari hidupnya. Tapi ia menikah dengan istrinya bukan karena cinta. Tapi karena suatu hal yang mengharuskannya mengambil gadis itu sebagai teman hidupnya. Di sisi lain, Thea tidak pernah tahu kalau suami yang sangat ia cintai adalah seorang pembunuh bayaran. Pria itu hanya mengatakan bahwa ia bekerja di perusahaan jasa. Semua kebenaran tentang dirinya, Ri Han tutup rapat-rapat dari sang istri. Jika suatu saat Thea mengetahui jati dirinya, maka tak ada cara lain selain membunuh Thea. Dengan begitu Thea tidak akan pernah ternoda oleh kegelapan hidupnya. Hanya cara itu yang bisa menyelamatkan istrinya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Perfect Marriage Partner

read
821.2K
bc

FINDING THE ONE

read
34.5K
bc

CEO and His Cinderella

read
56.7K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
39.9K
bc

Pengantin Pengganti

read
85.9K
bc

Hubungan Terlarang

read
513.1K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
77.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook