The Devil

832 Words
Andrew berjalan cepat dan menelusuri lorong sekolah dengan terburu-buru. Semua mata menatap memuja pangeran tampan itu, sedangkan Gafin, si pangeran impian berjalan di belakang kakaknya dengan langkah yang sama. Kedatangan mereka membuat seluruh pelajar perempuan ricuh, seakan ada aktor tampan yang mendatangi sekolah. Mereka berdua adalah kembar popular di kalangan pelajar perempuan. Andrew dengan  penampilan berantakan yang tampak cool bagai seorang preman dan Gafin, Si rapi yang tampak memukau bak pangeran dari negeri dongeng. Mereka berdua kembar, tapi tidak sama—keduanya memiliki karisma berbeda. Andrew menghentikan langkahnya, begitupun dengan Gafin. “Lily tuh,” ujar Andrew sembari mengarahkan dagunya ke arah gadis cantik di hadapan mereka. Gafin tersenyum manis saat melihat kekasihnya berjalan ke arah mereka. “Aku tinggal ya,” Andrew menepuk pelan pundak Gafin sebelum meninggalkan adik kembarnya. Ia mengedipkan sebelah matanya saat berpapasan dengan Lily—kekasih adiknya. Sedangkan Lily memberikan senyuman terbaiknya untuk Andrew. “Pagi, Sayang.” Lily memeluk erat lengan Gafin. “Pagi, Ly.” Gafin mengecup puncak kepala Lily. Membuat semua mata gadis-gadis menatap iri mereka berdua, “Tumben kamu nggak mau dijemput?” Gafin melanjutkan perkataannya. “Aku mau ngomong sesuatu sama kamu, Fin. Pulang sekolah kita ke café biasa ya!” Lily mengecup pipi Gafin sebelum berjalan menuju kelasnya. Gafin tersenyum dan berdiri di depan pintu kelasnya, menatap lembut punggung yang lama-kelamaan menghilang dari pandangannya. *** Gafin tiba lebih awal dari waktu yang ia sepakati dengan sang kekasih. Ia duduk di sudut ruangan, tempat favorit mereka jika datang ke tempat itu. “Maaf tadi aku ada urusan dikit.”  sepasang tangan melingkar sempurna pada leher Gafin. Pemuda tersenyum saat merasakan tangan kekasih yang dicintainya. Ia membalikkan tubuh dan meminta Lily untuk duduk di sampingnya. “Nggak pa-pa … aku juga baru sampai.” Gafin mengusap lembut wajah kekasihnya, “Kamu mau pesan apa?” ia mengulurkan buku menu pada Lily. Gadis itu mengambil buku itu dan membolak-balikkannya. Tidak lama, ia pun memanggil seorang pramusaji untuk memesan. Lily tersenyum bahagia saat matanya bertemu dengan mata Gafin yang menatapnay penuh cinta. Lily tahu, lelaki di sampingnya adalah lelaki sempurna yang selama ini menjadi incaran para gadis di sekolah, tetapi ia tidak dapat menekan egonya. Sifat dasar manusia yang serakah dan tidak tahu berterima kasih adalah rasa yang saat ini mendominasi Lily. “Fin ….” panggil Lily. “Kamu mau ngomong apa, Sayang?” Gafin membelai puncak kepala Lily. Apa aku sanggup  kehilangan kamu? Kamu terlalu baik untuk aku, Fin, Lily meringis pelan. “Aku mau kita putus,” ujar Lily sembari mengarahkan wajahnya ke arah lain. Gafin menghentikan gerakan tangannya yang tengah membelai puncak kepala Lily. Ia tersenyum miris. Entah sudah berapa kali ia berpacaran dengan seorang gadis, tetapi selalu ditinggalkan begitu saja oleh para kekasihnya. Gafin mengacak puncak kepalanya frustasi. Ia menjauhkan tangannya dari kepala Lily dan menatap kosong ke depan. “Terserah kamu,” ujarnya datar. Lily tersenyum miris. Dugaannya selama ini benar, Gafin tidak menginginkannya sebagaimana ia menginginkan lelaki itu. Dengan mudahnya lelaki itu menyetujui kata perpisahan yang ia ungkapkan. Ia merasa beruntung karena memilih Andrew dibandingkan Gafin yang selama ini lebih mementingkan buku daripada dirinya. “Makasih ya, Fin.” Lily tersenyum tipis, “Kamu nggak mau tahu alasan aku minta putus?”  ia menatap Gafin penuh tanya. Gafin tersenyum sinis. “Apa penting aku tahu alasannya?” ia menumpukan wajah pada tangannya yang mengepal sempurna dan menatap Lily tajam. Lily tersenyum manis. “Nggak perlu sih. Kita masih bisa berteman ‘kan?” Lily mengulurkan tangannya kepada Gafin. Gafin terkekeh pelan. Apa mungkin bisa berteman jika hatiku terlanjur kamu sakiti? mungkin kamu memang bukan cinta sejatiku, tapi aku telah menitipkan hatiku padamu. “Sudahlah, Ly. Aku sedang tidak ingin berteman dengan gadis manapun. Maaf aku duluan. Mau pergi les,” ujar Gafin sembari berdiri dan meninggalkan Lily. Ia menuju kasir dan membayarkan semua tagihan makan siang yang belum disentuhnya sama sekali. *** Andrew tersenyum sinis kepada lelaki di hadapannya dan menghapus darah yang mengalir melalui sudut bibir. Lelaki bertubuh besar di depan Andrew tersenyum lebar melihat lawannya babak belur. “Bilang maaf nggak lo?” teriak lelaki itu. Andrew meludah ke muka lelaki itu sembari tersenyum sinis. “Gue nggak salah.” Lelaki itu mengeraskan rahang dan memberikan pukulan terbaiknya pada wajah Andrew. Sedangkan Andrew terkekeh menerima setiap pukulan lelaki itu. “Cuma ini yang lo bisa?” “Lo nyari mati ya?”“ lelaki itu semakin berang melihat Andrew yang tidak mengenal kata menyerah. Ia kembali melayangkan tinjuan tepat ke wajah Andrew, tetapi pukulan itu dapat ditangkis Andrew dengan baik. Sudah cukup bermain-main, ia tidak akan membiarkan wajahnya terlihat lebih buruk lagi. Walau bagaimanapun wajah adalah salah satu asetnya yang sangat berharga. “Lo yang nyari mati.” Andrew memutar tangan lelaki besar di hadapannya. Dengan tatapan meremehkan ia memandang lelaki di hadapannya dan tersenyum sinis. Lelaki itu mencoba memukul Andrew dengan tangannya yang bebas, tetapi usahanya gagal. Andrew bukanlah lelaki bertubuh kecil yang lemah, nyatanya ia tidak pernah sekalipun kalah dalam adu jotos seperti saat ini. Sebuah seringaian terlukis jelas pada wajah tampan yang sudah babak belur itu. Andrew mulai memberikan pukulan dan juga tendangan pada tubuh lelaki di hadapannya. Lelaki bertubuh besar itu meringkuk di tanah dan mencoba menyelamatkan wajahnya yang tidak tampan itu. Melihat lelaki di hadapannya tampak tak berdaya membuatnya bangga, Andrew tersenyum penuh kemenangan. “Sekarang siapa yang cari mati?” bisiknya pada telinga lelaki itu. Andrew berjalan meninggalkan lelaki itu dengan perasaan yang sangat bahagia. Bertambah satu lagi kemenangannya hari ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD