H2 - 2

2649 Words
Berita mengenai perkelahian kedua pria itu menyebar dengan cepat. Bagaimana tidak? Ruangan meeting berubah menjadi kapal pecah setelah kepergian mereka dari sana. Belum lagi para karyawan mendengar suara keributan dari ruangan itu. Tidak ada yang berniat masuk untuk melerai kedua pemimpin perusahaan yang sedang berbaku hantam itu karena terlalu takut. Para karyawan mengkhawatirkan pekerjaannya akan menjadi taruhan jika mereka ikut campur urusan kedua atasannya itu. Sayang sekali reihan, managing director sekaligus teman dekat mereka berdua sedang tidak berada di kantor sehingga para karyawan tidak bisa melaporkan kejadian ini dan meminta tolong reihan untuk melerai kedua pria itu. Gilang keluar dari ruangan itu lebih dulu dengan wajah penuh emosi dan lebam di hampir keseluruhan wajahnya. Terlihat sedikit darah menetes dari bibirnya. Tif ingin menghampiri Gilang tetapi ia tahu saat ini semua karyawan sedang menaruh perhatian pada pria itu. Gilang pun memasuki ruangannya dan menutup pintu dengan keras bersamaan dengan Regan yang keluar dari ruangan dengan wajah dingin. Tanpa kesakitan sama sekali. Wajah pria itu tidak terlalu buruk jika dibandingkan luka lebam yang didapatkan oleh Gilang. Tif memperhatikan kepalan tangan pria itu yang berdarah akibat terlalu bersemangat meninju lawannya. Berlawanan dengan Gilang, Regan malah melangkah menuju pintu keluar dari kantornya dan berbelok menuju lift. Hati nurani Tif ingin mengikuti pria itu tetapi otaknya melarang keras, melarang Tif untuk bergerak dari mejanya. Ia akan menyebabkan kekacauan lagi jika pergi dari sana dan menghampiri Regan. Maka dari itu ia tetap di tempatnya dan melakukan pekerjaan yang seharusnya sudah ia lakukan sejak tadi. Anton menghampirinya diam-diam dan berbisik, “Nek, lo tau kenapa mereka berantem?” Tif melonjak kaget saat melihat pria itu sudah di belakang kursinya dan berbisik di belakang telinga. “Ton, jangan suka ngagetin gitu, ah.” Tif menegurnya saking kesal karena kaget. Pria itu hanya tersenyum meringis melihat temannya yang kaget karena ulah dirinya. “Ya, soridori nek. Jadi itu kenapa?” pria itu mengedikan dagunya pada gilang yang sedang berada di dalam ruangannya. “Mana gue tau, emangnya you pikir I harus tahu segalanya mengenai dia?” “Semua orang tahu kali, nek lo lagi deket sama pak Gilang.” “Deket bukan berarti gue harus tau semua urusan dia, cong!” bantahnya. Anton menghela napas menyerah karena merasa temannya itu tidak akan memberi info dan bocoran mengenai masalah itu. “Ya udah deh, gagal usaha gue untuk jadi lambe of the day kali ini.” Tif mengibaskan tangannya mengusir pria itu dari tempatnya. Namun, dengan tampang tidak berdosanya pria itu malah semakin mendekat pada Tif. “Jadi, sekarang lo secara resmi udah setuju jadi simpanan pak Gilang, ya sist?” Tif mendelik pada temannya itu. “Apaan sih, tiba tiba nanyanya begitu?” “Gini loooh, lo kan udah tau, pak Gilang udah punya cewek. Kita pernah bahas ini dulu, remember?” Berita mengenai Gilang dan Clara memang menjadi konsumsi public dikarenakan status wanita itu yang bekerja sebagai entertainer. Tentu saja, semua orang tahu mengenai keberlangsungan hubungan mereka berdua. “Gue tau.” Jawab Tif. Tangannya masih menari di atas keyboardnya sambil mendengarkan Anton berbicara. “Terus artinya lo menerima di jadiin pacar kedua?” “Gue ga pacaran sama dia.” Tif menampik perkataan Anton. Ia tidak mungkin menceritakan terang-terangan pada temannya bahwa ia dan gilang menjalin hubungan di belakang clara, pacar gilang. “Tapi kalo lo sekarang aja udah sedeket ini sama dia, apa artinya kalo lo bukan jadi pacar keduanya?” “Selingkuhan maksud lo?” “Gue mau ngomong itu tapi gue ga enak.” “Kenapa harus ga enak? Gue ga ngerasa jadi selingkuhannya doi.” “Bagus deh.” Anton masih di sana memperhatikan temannya yang berpura-pura sibuk. Lalu ia meneruskan, “Gue ngomong gini karena gue ga mau temen gue terjerumus dan terlibat hubungan orang ketiga nantinya, buat kebaikan lo sendiri.” Tif tersenyum mendengar ucapan pria itu. Ia tahu maksud dan tujuan pria itu baik. Mengingatkan dirinya agar tidak terlewat batas. Namun, justru itulah yang Tif akan lakukan. Ia akan melanggar semua batasan untuk Gilang agar hidup pria itu juga berantakan. Walau pun harus mengorbankan hidup dan kebahagiannya sendiri. “Tenang aja, gue bisa take care of myself kok Ton.” “Lagian kenapa lo malah nyasar sama pak Gilang sih, gue kira lo akan menang jackpot, karena berhasil gaet pak Regan.” “Gue ga tahan sama dia, perangainya jelek banget.” Laki-laki itu memutar matanya dengan lebay dan menggoyangkan kedua tangannya. “Sepadan kali sama duitnya. Siapa sih yang mau nolak paket komplit kayak dia? Ganteng, cek! Hot body, cek! Unlimited money, cek!” ujarnya sambil mengacungkan jari satu-persatu sembari menghitung poin plus dari bosnya itu. “Jadi maksud lo, ga pa-pa berengsek kalo tajir?” Tif kali ini berhenti berpura-pura bekerja dan menopang dagu sambil memperhatikan Anton sepenuhnya. “Yah, selagi permainannya di ranjang oke. Who am I to complain?” tanya pria itu dengan dramatis dan dibuat-buat seolah-olah mereka sedang membicarakan titisan dewa yang tidak boleh dilewatkan. “Sinting lo!” Tangan Tif memukul pelan lengan pria itu. “Kayak lo udah pernah ngerasain aja main di ranjang sama doi. Udah berasa paling bener ajeeeee.” Bahu pria itu bergetar menahan tawa. “Ga perlu ngerasain sendiri kali, nek. Sekali liat bodynya aja semua orang bisa tahu kalo dia punya skill yang ga perlu diragukan lagi kualitasnya.” Tif hanya geleng-geleng mendengar perspektif dari temannya itu. * Saat pikirannya dilanda kegelisahan, Tif selalu berbicara pada Emily, kakaknya. Namun, kali ini ia tidak bisa melakukannya karena ia akan merasa bersalah pada Emily karena menyembunyikan sesuatu darinya sekali pun itu untuk kepentingan Emily sendiri. Entah sudah berapa lama Tif hilir mudik di kamarnya sendiri dengan ponsel di dalam genggaman dan menunggu seseorang menghubunginya. Saluran Netflix sudah jelas tidak dapat mengalihkan kekhawatiran Tif saat ini. Ia membiarkan drama series yang sedang ia putar sedari tadi tanpa suara, membuat suasana di kamar itu hening. Hanya suara langkah kakinya sendiri yang terdengar. Dering ponsel membuat gadis itu terlonjak dan detak jantungnya berdegup kencang. Ia langsung melihat layar ponsel yang sedari tadi masih ia pegang di tangannya. Namun, nomor yang tertera disana bukanlah nomor yang sedang ia tunggu. Melainkan seseorang yang membuat Tif heran mengapa orang itu menghubunginya malam ini di luar jam kerja. Tetapi, pada akhirnya gadis itu tetap mengangkat panggilan yang sudah berdering sejak 15 detik yang lalu itu. “Ha- halo?” tif berusaha mendengarkan lebih fokus namun tidak ada jawaban dari sana. “Halo, ada apa?” tanyanya lagi untuk memastikan. Tif mengerutkan kening saat ia mendengar suara tawa dari lawan bicaranya. “Regan, ada apa? Jika kamu masih tidak bicara aku tutup teleponnya.” Pria itu mendengus. “Kenapa, kamu sudah tidak sabar untuk naik ke ranjang bersama si b******n itu?” Regan akhirnya berbicara dengan nada menyindir. Tif menghentikan langkahnya dan tidak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. “Coba bicara sekali lagi seperti itu padaku, aku tidak akan tinggal diam!” bentaknya. “Lalu apa yang akan kamu lakukan? Melapor padanya? Kamu tidak lihat wajahnya karena aku habisi tadi siang?” pria itu tertawa puas dengan suara serak. “Seharusnya kamu tidak mengkhianatiku dengan pria b******k itu. Dia tidak pantas untuk itu.” “Jadi maksudmu kamu yang lebih pantas?” “Aku memiliki segalanya. Kamu bisa meminta apa pun padaku. Kamu bekerja karena aku, bukan dia!” “Jadi sekarang kamu menyesal karena telah menerimaku kerja diperusahaanmu?” “Dasar wanita jalang!” Tif membuka mulutnya tetapi  tidak sanggup mengeluarkan satu kata pun karena terlalu terkejut dengan makian pria itu. Setelah itu ia mendengar suara berisik di seberang teleponnya. “Stop it, Reg!” lalu ia mendengar Regan menggumamkan suatu kalimat namun ia tidak dapat mendengar suara pria itu lebih jelas. “Tif, sorry, dia sedang mabuk. Ga perlu diambil hati omongan dia, he’s fuckin’ messed up right now.” “Pak Reihan?” “Iya, ini Reihan. Ga perlu khawatir, dia cuma asal ngomong.” Tif mendengar suara benda terjatuh, atau mungkin sengaja dijatuhkan, dari ponsel Regan. “s**t!” umpat Reihan. Tif tahu ia seharusnya tidak mengatakan ini, namun kalimat itu terlontar begitu saja dari bibirnya. “Kalian di mana sekarang?” Tif tidak mendengar suara latar belakang musik yang berisik jadi mereka pasti tidak sedang mabuk di bar langganan mereka. Sekali pun di ruangan VIP, seharusnya suara musik masih terdengar dengan jelas. Sebaliknya, suara di seberang sana terdengar sunyi. “Apartemen miliknya.”   =-= Setelah menanyakan alamat apartemen pria itu, tanpa berpikir dua kali ia langsung mengganti baju tidurnya dengan sesuatu yang sedikit lebih pantas untuk menuju tempat itu. Ini sudah jam sebelas malam, jalanan Jakarta lumayan sepi walau pun ini hari Jumat. Atau mungkin sebenarnya penduduk Jakarta belum mulai memadati jalanan malam ini atau apa. Ia tidak peduli. Ia hanya ingin sampai ke tempat itu lebih cepat. Tif menghembuskan napas dan mempersiapkan diri begitu supir taksinya memasuki area apartemen mewah itu. Ini pertama kalinya wanita itu mengunjungi apartemen Regan. Entah apa yang ia pikirkan namun ia tidak bisa tenang dan diam saja setelah menerima telepon dari pria itu tadi. Tangannya menekan bel di depan pintu kamar yang tadi disebutkan Reihan. Ia tidak terkejut saat pria itu sendiri yang membukakan pintu untuknya. “Dia di dalam, ayo.” Pria itu mengedikan kepalanya sebagai tanda ajakan pada Tif untuk masuk ke dalam. Baru beberapa langkah dari pintu, Tif sudah melihat kekacauan yang terjadi di sekeliling apartemen itu. “Sebaiknya lo ga usah ke area depan tv, gue belum sempet bersihin area sana.” Tif mengerjap lalu ia melihat area yang di maksud Reihan. Banyak pecahan beling dari gelas dan botol berserakan di sana. Meja kaca diruangan itu sedikit retak namun masih bisa bertahan dari serangan apa pun itu yang menimpanya sebelum ia datang kesini. Itu belum seberapa jika dibanding dengan kekacauan yang ia lihat setelahnya. Lampu pajangan yang seharusnya berdiri anggun di pojok ruangan itu tergeletak di lantai dengan mengenaskan. Saat ia memasuki ruangan yang dituju Reihan, Tif melihat si pelaku utama sedang berbaring di atas tempat tidur berukuran besar itu dengan tenang dan damai. Tif berhenti di pintu kamar itu dan bersandar disana sambil melipat dadanya membuat Reihan juga berhenti dan berbalik. “Kami cuma minum beberapa gelas aja awalnya. Tapi si b******n itu tiba-tiba minum dengan kesetanan sampe K.O dan berubah seperti orang gila.” Tif hanya memandangi Regan sambil mendengar Reihan berbicara. “Gue rasa lo tau apa penyebabnya karena sedari tadi dia manggil-manggil nama lo.” “Maki-maki gue lebih tepatnya.” Ucap tif dengan nada getir. “Itu juga.” Ucap pria itu jujur sambil tertawa kecil. “Kalo gitu, gue anggap lo bisa ambil alih sekarang. Gue udah terlalu lelah ladenin Babyboy kayak dia sedari tadi. Dia udah tepar jadi seharusnya lo bisa tangani dia.” Jelas Reihan. “Oke.” Tif tersenyum sambil menghela napas. “Thanks, anyway.” “Nevermind, dia temen gue. Udah seharusnya juga. Kalo ada apa-apa, hubungi gue aja. Lo ada nomornya kan?” Gadis itu mengangguk. Tentu saja dia punya nomor Reihan, karena sesekali di harus menghubungi atasannya itu untuk kepentingan pekerjaan. Lalu cowok itu berjalan dan menepuk bahunya sebelum meninggalkan apartemen itu. Tif memandangi pria itu selama kurang lebih lima menit sebelum ia berjalan untuk mendekatinya. Memeluk dirinya sendiri karena takut terhadap respon pria itu nantinya jika ia terbangun. Pria itu tertidur dengan masih menggunakan kemejanya yang setengah kancingnya terbuka. Dia bahkan tidak repot-repot mengganti setelan kerjanya sebelum mabuk-mabukan. Tif menggeleng melihat kelakuan pria itu. Ia berjongkok di samping tempat tidur untuk mengamati pria itu dari sana. Dalam cahaya gelap pun ia masih bisa melihat ketampanannya. Garis rahangnya yang tajam sekarang ditumbuhi sedikit bulu-bulu halus disana. Hidungnya yang angkuh dan bibirnya yang sensual menambah kharisma pria itu. kerutan-kerutan samar terlihat di antara kedua alisnya. Tif tidak dapat menahan tangannya untuk tidak menyentuh hidung itu. Jarinya menyusuri tulang hidung pria itu hingga turun menuju bibirnya. Ia mungkin tidak menyadarinya selama ini tetapi ternyata ia sangat merindukan pria ini. Ayah dari anak yang sekarang sedang ia kandung di dalam rahimnya. Pria yang tidak mengetahui bahwa dirinya akan menjadi ayah sebentar lagi. Namun, tentu saja ia tidak akan tahu karena Tif selamanya tidak akan memberitahu pria itu. Tangannya berhenti ketika sepasang mata berwarna cokelat gelap itu terbuka dan menatapnya. Ia lantas menarik kembali tangannya dengan tubuh yang masih terduduk disana. Ia tidak tahu harus berbuat apa setelah pria itu terbangun. Tiba-tiba saja ia berpikir bahwa ini adalah ide buruk, seharusnya ia tidak pernah menemui pria itu lagi. Tif mengutuki dirinya sendiri karena terlalu emosional saat pria itu meneleponnya beberapa saat yang lalu. Padahal ia tahu, pria ini membencinya setengah mati. Pria itu pun hanya memandanginya, awalnya terkejut namun perlahan-lahan sorot matanya berubah tajam dan dingin. Tif menelan ludah lalu berkata, “I’m sorry, seharusnya aku tidak datang ke sini.” Gadis itu bangkit dari duduknya dan berniat untuk pergi dari sana. Namun sebelum ia menuju pintu, pintu itu tiba-tiba terdorong dan menutup. Membuat Tif menghentikan langkahnya dengan seketika saat ia melihat sebuah lengan terjulur untuk menahan pintu itu di sana. Tif berbalik dan menemukan Regan sudah berada di belakangnya. “Sekarang apa, setelah kamu muncul dengan tiba-tiba di hadapanku kamu hanya akan pergi begitu saja?” Tanya pria itu dengan suara rendahnya. Tif mendongak agar ia dapat melihat mata pria itu yang sedang menatapnya tajam. “Aku hanya ingin melihat keadaanmu. Aku akan pergi sekarang.” Tangan tif meraih pegangan pintu dan berusaha membukanya tetapi tentu saja pintu itu tidak bergerak sedikit pun karena Regan masih menahan tangannya di sana. “Untuk memastikan aku sekarat agar kamu bisa tertawa bergembira atas kekalahanku.” Regan tertawa getir. “Reg, aku tidak pernah ada niat untuk mengalahkanmu atau apa pun itu seperti yang kamu bayangkan selama ini.” “Oh ya? Kalau begitu jelaskan padaku apa tujuanmu selama ini,heh?” Pria itu semakin mendesak tubuhnya membuat Tif terjepit antara pintu dan pria itu. Bau alkohol menyengat indera penciuman Tif. Tangan pria itu naik ke wajah Tif dan memegang dagunya, mengangkat wajah Tif agar lebih dekat. “Lihat, kamu bahkan tidak bisa menjawabnya.” “Regan, kamu sedang mabuk. Lepaskan.” Tif berusaha melepaskan wajahnya dari cengkraman pria itu tetapi nihil. Pria itu menahan tubuh dan wajahnya dengan erat. Sepertinya mabuk tidak terlalu berpengaruh terhadap stamina pria itu, pikir Tif. “Apa yang dia berikan padamu hingga kamu berani mengkhianati aku?” Pria itu bertanya dengan terluka. “Seandainya kamu meminta padaku, aku akan memberikan semuanya. Semuanya, Tif! Apa pun yang kamu inginkan.” “Kamu tidak punya apa yang aku inginkan.” Jawab Tif sambil menatap matanya berharap Regan akan berhenti memberondongnya dengan pertanyaan lain. “Apa? Beritahu aku apa!” Laki-laki itu berteriak di depan wajahnya. Matanya merah dan rahangnya mengeras. Ia sangat ingin membocorkan pada pria itu rencananya selama ini tetapi itu akan menghancurkan segalanya. Tif meletakan tangannya di d**a Regan untuk mendorong pria itu berkali-kali agar ia dapat keluar dari sana. Namun usahanya hanya membuat pria itu semakin murka. “Wanita b******k. Kamu sama brengseknya dengan dia.” Regan mendorong kembali wanita itu dengan tubuhnya dan mendekatkan bibirnya pada bibir wanita itu. Mengambil banyak-banyak apa yang ia butuhkan selama  ini. Apa yang ia rindukan selama ini. Tif tidak bisa menolak ciumannya karena tangan pria itu menahan wajahnya agar tidak bergerak. Tif hampir kehabisan napas karena pria itu tidak berhenti menciumnya akhirnya ia menggigit bibir bawah pria itu untuk menghentikannya. “Regan hentikan, kamu mabuk.” Ucap wanita itu dengan terengah-engah di sela-sela ciuman yang regan paksakan. “Kamu memperlakukanku seperti sampah dulu, mengapa kamu bertindak seolah-olah kamu yang tersakiti!” wanita itu berteriak karena sudah tidak tahan lagi. Regan berhenti dan memandang Tif dengan seringai di wajahnya sambil mengusap bibirnya yang terluka dengan ibu jari. “Sekarang kamu puas sudah mendekatiku agar dapat mengencani pria b******n itu? Selamat, karena telah berhasil.” Tif terbelalak mendengar pria itu berbicara. Dari mana Regan tahu mengenai rencananya selama ini, batin Tif bertanya-tanya tetapi ia tidak menemukan jawabannya. “Dari mana kamu tahu?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD