H2 - 1

2161 Words
Sudah lebih dari satu bulan Tif tidak pernah bertemu lagi dengan pria itu sejak insiden di apartemennya dulu bersama Gilang. Pria itu tiba - tiba memutuskan untuk fokus mengelola perusahaan cabangnya yang berada di Malaysia, paling tidak itu membantu Tif untuk melanjutkan aksi balas dendamnya kepada Gilang. Tanpa adanya kehadiran Regan di perusahaan ini akan membuat Tif lebih leluasa mendekati Gilang. Kehamilan Tif tidak menjadi penghalang niat gadis itu, badannya pun masih terlihat normal dan perutnya masih rata sehingga ia masih bisa menyembunyikannya dengan baik. Masih ada beberapa bulan lagi agar ia dapat melakukan misi ini hingga selesai. Setelah semuanya terbalaskan, baru ia akan memutuskan apa yang akan ia lakukan mengenai bayinya, atau lebih tepatnya, mengenai hidupnya. Hidupnya yang ia pertaruhkan demi membalaskan dendam kakaknya. Hidupnya yang tanpa ia sadari hancur dalam hitungan seketika demi memenuhi keegoisan dan kepuasan dirinya. “Sayang, hari ini kita makan siang di luar ya.” Seorang laki - laki mengagetkan Tif dari belakang dan membuyarkan lamunannya. “Oh, di mana?” Tanya Tif sambil memandang pria itu. Pria itu menyusuri mejanya, mengambil sebuah figura yang berisi selembar foto dari atas mejanya. “Foto ini bagus.” Komentarnya, sebelum ia menjawab pertanyaan Tif. “Kita makan siang di Overbites, kamu inget kan pemiliknya temen aku?” Lalu pria itu menyimpan kembali figura itu dan menunggu respon jawaban  dari Tif. Tif ikut memandangi foto itu, itu foto mereka berdua saat berlibur singkat ke Bogor dua minggu lalu. “Aku lupa temen kamu yang mana, tapi kalo kamu mau makan di sana aku ikut aja.” Tif tersenyum pada pria itu. “Yes! Aku udah minta temenku buat reserve satu meja.” “Pak Gilang, maaf, ini ada dokumen yang harus di tanda tangani.” Anton menginterupsi pembicaraan mereka dengan menyerahkan beberapa lembar kertas untuk Gilang setujui. “Maaf ya pak saya minta di sini, ini dokumennya harus udah jalan sekarang juga.” Gilang mengambil kertas itu dan mengulurkan tangan pada Tif untuk meminta pena yang sedang ia pegang. Setelah selesai menandatanganinya ia menyerahkan kembali lembaran kertas itu pada lelaki gemulai yang sedang menunggu di sampingnya. “Kamu mau ketemu klien ini sekarang?” Tanya Gilang pada Anton. “Iya pak, hari ini sekalian makan siang.” “Oke. Jangan lupa langsung report hasilnya setelah meeting, ya.” “Siap pak bos.” Ujar Anton pura-pura tegas layaknya pria sejati. Lalu ia mengedipkan sebelah mata temannya yang sedari tadi menonton percakapan kedua pria itu. “Bye, sist.” Tif hanya mendengus melihat temannya yang kecentilan itu pergi berlalu dari mejanya. “Jalan sekarang?” Tanya Gilang saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Masih jam setengah sebelas.” Jawab tif yang juga ikut-ikutan melihat jam di komputernya. “Ga apa-apa, ayo.” Tif melihat sekeliling, habis ini ia pasti akan di gosipkan oleh teman-teman sekantornya. Namun, kegiatan sosialnya belakangan ini bukan menjadi hal yang ia pedulikan, bukan? Tif bangkit dari mejanya dan mengambil beberapa barang yang ia perlukan, sebuah pouch kecil yang dapat menampung ponsel dan juga card holdernya. *** Berbagai hidangan yang mereka pesan sudah tersaji dengan lengkap di atas mejanya. Tiba-tiba saja Tif ingin memakan sesuatu yang creamy dan gurih, jadi siang itu ia memesan spinach carbonara. Menu khusus yang dijadikan menu andalan oleh resto itu. “Kamu cuma mau makan itu aja?” Tif mengangguk. “Aku lagi ga mau makan banyak hari ini, tapi salad aja kayaknya ga kenyang. Jadi aku pesan pasta seharusnya cukup sih.” Gilang mengangguk saja mendengar jawaban wanita itu, lalu ia pun mulai mengiris steak yang terhidang di depannya. “Lang..” Panggil Tif tiba-tiba, “Kamu udah bicara sama Clara?” Laki-laki itu berhenti mengiris,tangannya masih memegang pisau namun tidak bergerak sedikitpun. Gilang mengalihkan perhatiannya pada wanita itu. “Belum ya?” “Dia masih sibuk syuting hingga hari ini. Aku belum bisa ketemu dia sampe sekarang.” Tif memutar-mutar pastanya dengan garpu dengan malas. “Aku ga tau aku masih bisa jalanin ini atau engga kalo kamu masih belum bisa ambil keputusan.” “Tif, bukan gitu.” Gilang menaruh pisaunya kembali dan meraih tangan Tif yang berada di atas meja. “Aku udah ambil keputusan sejak dulu. Aku pilih kamu, cuma aku belum ada waktu yang tepat untuk ngomongin ini sama Clara.” “Semua orang di kantor udah ngomongin aku, kalo kamu ga sadar.” Tif menarik tangannya dari genggaman Gilang dan memundurkan wajahnya agar ia bisa bersandar pada kursi. “Kalo kamu ga secepatnya bilang sama Clara, aku mau kita udahan aja.” Gilang menelan ludah mendengar kalimat yang terucap dari gadis di depannya. Ia menggeleng dengan tegas. “Ngga. Aku ga mau.” Tif melengkungkan alisnya dan melipat kedua tangannya tanpa merespon apapun. “Aku akan paksa Clara untuk ketemu malam ini. Malam ini juga aku akan putusin dia.” Wanita itu tersenyum lalu balas mengenggam tangan Gilang. “Hari ini kesempatan terakhir kamu, aku ga pernah kasih orang lain kesempatan kedua.” Tif menanamkan kata-kata itu ke dalam benak Gilang. Meyakinkan pria itu untuk segera mengakhiri hubungannya dengan Clara atau Tif yang pergi darinya. “Aku janji, malam ini semua yang berhubungan dengan Clara akan berakhir.” Tif tersenyum puas. Wanita itu kembali menyentuh makanannya dengan anggun. Dalam hati ia bersorak, ia memang akan memenangkan permainan ini. Sudah banyak yang ia korbankan. Kehidupannya, masa depan, teman-teman, dan juga pria itu.. Regan. Ia mengorbankan banyak hal, maka ia harus memenangkan pertarungan dengan telak. Selama berminggu-minggu Tif harus tahan berduaan dengan lelaki itu. ia tahu Gilang mempunyai hubungan dengan wanita lain. Selama ini ia berpura-pura tidak tahu dan setelah Gilang jatuh pada pesonanya ia memaksa lelaki itu untuk memilih antara dirinya atau wanita lain. Setelah keduanya selesai makan, mereka memutuskan kembali ke kantor lebih cepat untuk menghindari macet. “Kamu yakin ga mau pesan sesuatu untuk di kantor?” Gilang menunjuk pada deretan kue yang berjajar di dalam etalase restoran itu. bagi Tif semuanya tampak menggoda, lalu ia tiba-tiba berhenti dan memandangi semua kue itu. “Mau bungkus?” pria itu bertanya lagi. Tif mengangguk karena tiba-tiba menginginkan lemon cheesecake yang menggugah seleranya. Ia sudah membanyangkan asam dan manis berpadu di lidahnya. “Mau ini.” Tangannya menunjuk kue yang ia inginkan. Gilang memesankan kue itu untuknya dan membayar tagihannya. Tif menunggu di dekat pintu saat pria itu kembali dengan satu kotak kecil yang terbungkus dalam paperbag di tangannya. Lelaki itu tersenyum tulus saat menggoyangkan kantong itu di depan mata Tif. “Thank you sayang.” Ujar wanita itu seraya menggandeng lengan Gilang dan berjalan keluar dari restoran itu seolah-olah mereka berdua adalah pasangan serasi yang dimabuk cinta. Namun, hanya Tif yang mengetahui kebenarannya. =-= Perkiraan Gilang ternyata salah, mereka tetap saja terjebak macet dan telat kembali ke kantor selama sepuluh menit. Tif sempat panik tetapi Gilang menenangkannya karena wanita itu pergi bersama atasannya sendiri jadi itu bukan masalah, katanya. Sekembalinya mereka berdua ke kantor, Tif dikejutkan oleh Fani yang lari terbirit-b***t saat Tif dan Gilang melewati lobby kantornya. “Kenapa lo Fan?” “Eh, ehm anu, itu katanya ada rapat Tif.” Gilang akhirnya ikut bertanya. “Rapat apa hingga saya tidak di ikut sertakan?” “Saya juga ga tau pak, tiba-tiba di grup ada pengumuman rapat setelah makan siang ini.” Tif mengecek ponselnya dan melihat pesan belum terbaca. Resepsionis mereka meminta rapat dadakan siang ini setelah makan siang, pukul satu tepat. Fani pamit pada Gilang lalu berlari dengan cepat menuju ruang rapat. Sedangkan Tif di tahan oleh pria di sampingnya. “Ga usah ikut-ikutan lari.” “Rapatnya udah di mulai sepuluh menit yang lalu, Lang.” “Ga apa-apa. Paling Reihan yang adain meeting dadakan gini.” Tetap saja Tif merasa tidak tenang, jadi wanita itu mempercepat langkahnya walaupun sudah di tahan pria itu. Setibanya ia di kantor, ia langsung berlari menuju pantry untuk menyimpan lemon cheesecakenya ke dalam kulkas sebelum ia memasuki ruang meeting. Saat Tif masuk ke dalam ruangan ia bisa melihat seluruh karyawan tidak ada di mejanya masing-masing jadi ia memutuskan langsung pergi ke ruangan meeting untuk bergabung. Gilang yang juga penasaran siapa yang memulai meeting tersebut, ikut-ikutan menyusul wanita itu ke ruang meeting. Saat Tif hendak mengetuk pintu, Gilang mendahuluinya dengan membuka pintu itu secara langsung. Alangkah terkejutnya pria itu saat melihat siapa yang sedang memimpin rapat. “Ah, wakil direktur kita sudah datang.” Tif membeku di belakang punggung Gilang saat mendengar suara itu. “Silakan duduk pak Gilang.” Gilang mengerutkan dahi melihat pria yang sedang duduk di ujung meja. Tanpa pilihan, ia masuk dan duduk di kursi kosong yang tersedia sehingga semua peserta rapat bisa melihat Tif yang sedari tadi berada di belakang Gilang. “Oh, ternyata kalian datang bersama. Silakan, miss Tiffany, ambil kursi kosong. Rapat sudah dimulai sejak sepuluh menit yang lalu.” Ujar pria itu dengan tenang sambil melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Tiff tidak berani membuka suara dan mengikuti perintah pria itu untuk duduk di sebelah Fani. Bersebrangan dengan kursi Gilang. Sialan. Apa yang pria itu lakukan di sini sekarang? Batin tif. Setelah menghilang selama sebulan, sekarang laki-laki sialan itu kembali dan mengganggu ketenangan hidup Tif kembali. Ia berusaha mengatur napas dan memusatkan perhatian pada pria itu. Sejak ia datang, Tif lihat pria itu sedang menjelaskan prospek baru bisnisnya yang akan ia kembangkan. Ia juga mempresentasikan keadaan bisnisnya di Malaysia dan menceritakan apa saja pencapaian yang telah ia capai selama ia di sana. Setelah meeting berakir pria itu menyuruh karyawan untuk kembali bekerja. “Kecuali kalian berdua, yang tadi datang terlambat.” Tif menghentikan langkahnya dan menghembuskan napas. Ia lihat Fani juga berhenti dan kembali duduk di kursinya dengan gugup karena ini pertama kalinya ia terlambat dan ketahuan oleh bos besarnya langsung. “Bukan kamu, kamu keluar.” Titah pria itu pada Fani. “Maksud saya Gilang dan Tiffany.” Gilang yang sudah akan keluar ikut-ikutan membalikan badan dan mengangkat alis pada pria itu. “Really, Reg? Lo akan mempermasalahkan kedatangan gue yang cuma telat 10 menit?” tanya pria itu tidak percaya. Regan, pria yang sedari tadi sudah siap memangsa korban tersenyum dengan sinis. Semua karyawan tampaknya takut dan terburu-buru pergi dari lokasi setelah pamit pada atasan mereka. “Oh, sendainya lo lupa, gue masih direktur utama di sini. Menitipkan perusahaan gue buat lo kelola sebentar saja.” Regan berbicara masih dengan posisi yang sama sejak tadi. “Tapi rupanya kekuasaan itu di salah gunakan. Pergi dan datang semau lo dan merayu karyawan sendiri selama gue ngga ada di sini.” Gilang tertawa mendengar tuduhan yang terlontar dari sepupunya itu. “Ada atau tidaknya lo di sini ngga akan menghalangi gue mendekati siapapun. Asal lo tahu aja.” Alis hitam milik Regan terangkat, senyum sinis tersungging di bibirnya. “Memang sulit menahan godaan, heh? Lo terlalu silau dengan rayuan wanita ini sampai melalaikan tugas lo sendiri.” Tif sudah merasakan malu dan amarah bercampur menjadi satu di dalam dirinya. Laki-laki itu memang berniat mempermalukan dirinya sejak tadi. Namun, Tif tahu seberapa berbahayanya Regan, sehingga ia belum berani membuka mulutnya untuk membantah dan melawannya. Terlebih lagi, jika dilihat dari posisinya, wanita itu memang salah dan kalah. Dan saat ini ia sedang berperan sebagai bawahan di perusahaan ini. tidak lucu jika ia menjawab dan membantah atasannya atas kesalahan yang memang ia lakukan. Datang terlambat walaupun hanya sepuluh menit. “Jangan bawa-bawa dia.” Ucap Gilang membentak pria di depannya itu. “Kalo lo ada masalah sama gue selesaikan aja berdua.” Regan tertawa merasa kalimat gilang lucu. “Kenapa lo merasa gue ada masalah sama kalian berdua? Gue cuma bertindak sebagai pemilik perusahaaan yang menangkap basah pegawainya yang tidak melakukan tugas dengan baik.” “Atas dasar apa lo menilai pekerjaan gue tidak baik? Hanya karena gue baru saja datang terlambat ke kantor?” “Oke itu privilege lo sebagai wakil direktur, lo bisa datang terlambat kapanpun lo mau. Tapi, lo membawa salah satu karyawan untuk mengikuti tabiat buruk lo.” “Tiffany kamu keluar, kembali bekerja.” Ucap Gilang pada Tif yang langsung ia patuhi. Tif beranjak dari kursinya. “Gue belum perintahkan siapapun keluar dari sini.” Tegas Regan menatap tajam pada wanita itu. Namun Gilang mendorong Tif pelan ke arah pintu agar wanita itu keluar dari sana secepatnya. “Gue yang bawa dia dan bikin dia terlambat. Jadi lo hanya akan berurusan sama gue.” Regan mengangguk mendengar lawannya berbicara. “Lo udah terpikat sama tipu daya wanita itu ternyata. Udah ngerasain gimana nikmatnya bercinta sama dia, heh, sampe lo bisa hilang akal dan mempertaruhkan jabatan?” “b******n!” Gilang tidak bisa menahan emosinya lagi, ia bangkit dari kursi dan menarik kemeja Regan. Melayangkan satu pukulan hingga gusi pria itu mengeluarkan darah segar. Regan membalas pukulan itu berkali-kali lipat. Ia melampiaskan amarah yang sejak tadi ia pendam. Sejak ia melihat mereka berdua datang bersamaan dan membuat hatinya sakit. Ternyata satu bulan tidaklah cukup untuk meredam perasaannya pada wanita itu. Satu bulan tidak cukup untuk melupakan bagaimana perasaannya terluka saat ia melihat sepupunya sendiri berada di apartemen wanita itu tempo hari.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD