2. Help Me, Please!

1309 Words
Dalam langkah kecilnya menyusuri trotoar di Shanghai Railway Museum, Parveen beberapa kali menghela napas pelan. Setelah keluar dari subway, Parveen mengajak Erina untuk melangkah, karena kebetulan sekali di sekitar rumahnya gerimis mulai mereda. Hanya rintikan yang tak kasat mata. Dengan langkah ringan, Erina menaiki satu per satu tangga. Karena hari ini kebetulan hujan, dan pihak keamanan lingkungan tidak akan menyalakan eskalator, sebab akan membahayakan keselamatan para pejalan kaki. Suasana di Museum nampak sepi. Sepertinya hanya beberapa pengunjung berwajah western yang lancar berbahasa Inggris. Karena negara Cina tidak berbeda jauh dengan Indonesia. Kebanyakan dari warganya yang kebetulan pasif Bahasa Inggris, hanya di Shanghai-lah para turis bisa berbicara dengan leluasa. Sebab, jangan harap ada yang mengerti Bahasa Inggris selain di Shanghai. Di luar Shanghai memang kebanyakan memakai bahasa tubuh. Jadi, sangat diperlukan belajar bahasa tubuh agar orang-orang mengerti maksud dari perkataannya. Namun, akan lebih baik jika bisa berbicara Mandarin atau berbahasa Cina lainnya. “Kak, kita jadi ke toko roti, ‘kan?” tanya Erina mendongak, menatap wajah Parveen yang terlihat mengamati sekitar. Parveen tersenyum sambil menatap adiknya. Sejurus kemudian, ia membungkukkan diri dan mensejajarkan tingginya dengan tinggi Erina yang hanya sebatas pinggulnya saja. “Iya. Tapi, kita jalan-jalan sebentar. Kakak mau beli sesuatu di sekitar sini,” jawab Parveen menangkup wajah mungil Erina. Erina mengangguk ceria, lalu tersenyum lebar menatap kakaknya. Batin Parveen berteriak. Tidak seharusnya ia membawa Erina dalam kesengsaraan ini. Padahal adiknya ini bisa saja mengikuti salah satu tantenya agar hidup lebih terjamin. Tetapi, membujuk seorang gadis kecil bernama Erina Zakiyah bukanlah perkara mudah. Butuh berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan untuk meyakinkannya. Dan Parveen tidak tahan kalau harus menunggu selama itu. karena walau bagaimanapun juga, ia harus bertahan hidup tanpa kedua orang tuanya. Saking asyiknya melamunkan diri tanpa sadar ada seseorang yang menabrak Parveen sedikit keras. Lamunannya buyar seiring sebuah teriakan terdengar begitu jelas. “Oh, my God! There are pickpockets. Please help me!!!” teriak seorang paruh baya itu dengan suara bergetar. Namun, suasana Shanghai Railway Museum yang sepi tidak ada orang. Hanya ada Parveen dan Erina yang kebetulan menyaksikan pencopetan terjadi. Padahal biasanya di sini ada polisi yang berjaga. Parveen yang melihat pencopet itu tepat menabrak dirinya pun dengan sigap menendang punggung laki-laki itu, ia merasa salah satu tulang sedikit bergeser hingga menimbulkan suara nyaring dan erangan dalam waktu bersamaan. Cekalan di lengan Erina pun terlepas, membuat gadis itu memundurkan langkahnya takut. Erina tentu saja terkejut akibat perkelahian Parveen dan sang pencopet itu. Apalagi di pinggung Parveen ada sebuah tas yang berisikan laptop, satu-satunya barang berguna. “Hati-hati, Kak.” Gadis kecil itu meneteskan air matanya. Namun, buru-buru dirinya hapus agar Parveen tidak melihatnya. Sementara Parveen tengah berjuang melawan pencopet itu. Bisa dikatakan kekuatan memang tidak cukup besar melawan sang pencopet, tetapi ia mempunyai keterampilan yang cukup memumpuni di karate, sehingga dapat dengan mudah membanting pencopet itu dengan sekali tarikkan. Napas pencopet itu tak bertaturan seiring dengan tulangnya yang terasa ingin patah. Matanya tak lepas memandangi wajah Parveen yang terlihat sedikit menyeramkan. Tangannya gemetar saat Parveen menghampiri dengan langkah dingin. Bak malaikat pencabut nyawa, Parveen meninju sudut bibir pencopet itu dengan sekali sentakkan, sehingga pencopet itu limbung ke belakang dan terjatuh pingsan. Bagaikan kejatuhan durian runtuh, hati Parveen bersorak senang. Dengan senyum devil, Parveen mengusap bawah hidungnya menggunakan telunjuk tangan kanan. Ekspresinya yang menyebalkan dapat dilihat jelas oleh pencopet itu sebelum benar-benar memejamkan mata. Parveen meraih sebuah dompet berwarna ungu dengan corak hitam flannel. Lalu, membawanya pada seorang wanita paruh baya yang berada di sisi Erina. Namun, matanya mendelik terkejut saat mendapati wajah adiknya yang terlihat sembab. Ia merutuk dalam hati. Erina pasti sangat ketakutan menatap dirinya ketika berkelahi tadi. Buru-buru Parveen menghampiri wanita paruh baya itu dan menyerahkan dompetnya. Wanita paruh baya itu tersenyum senang melihat dompetnya kembali. Hal yang paling penting di dalam hidupnya. “Ini Bibi dompetnya. Lain kali hati-hati. Di sini banyak pencopet. Apalagi saat datangnya musim semi,” ujar Parveen tersenyum kecil. “Terima kasih, Gadis Kecil.” Wanita paruh baya itu mengulurkan beberapa lembar uang dollar yang nominalnya akan sangat besar ketika Parveen tukar dalam mata uang Cina. Sontak Parveen menggeleng pelan. “Tidak perlu, Bibi. Aku hanya membantu tadi.” “Terimalah, Gadis Kecil. Aku akan sangat marah jika kamu tidak menerimanya,” balas wanita paruh baya itu dengan wajah sedikit murung. Melihat perubahan ekspresi yang begitu cepat, Parveen seketika tak enak hati. Sebenarnya ia tidak pernah menerima imbalan seperti ini ketika menolong orang. Jadi, akan sangat memberatkan hatinya saat menerima uang tersebut. Meskipun tabungannya cukup menipis, Parveen tidak akan meminta uang dari orang lain lagi. Erina memeluk kaki Parveen erat. Gadis kecil itu merasa sangat khawatir kepada kakaknya yang terlibat perkelahian serius. Dirinya yakin bahwa ada beberapa titik di tubuh Parveen yang mendapat pukulan. “Xièxiè, Āyí,” ucap Parveen sambil menerima uluran uang tersebut. Wanita paruh baya itu mengangguk pelan, lalu menatap Erina dengan pandangan khas seorang ibu. “Nǐ hǎo, kě'ài de nánhái!” (Halo, anak menggemaskan!) Erina tersenyum manis. “Nǐ hǎo, Āyí!” (Halo, Bibi!) “Nǐ jiào shénme míngzì?” tanya wanita paruh baya itu mengelus surai kecokelatan milik Erina. (Nama kamu siapa?) “Wǒ jiào Erina, Āyí.” Deretan gigi gingsul Erina terlihat jelas. Membuat wanita paruh baya itu mencubit pipinya lembut. (Aku Erina, Bibi) “Nǐ hǎo kě'ài! Míngzì jiào Scarlett yímā,” ucap Bibi Scarlett dengan tersenyum gemas. (Kamu sangat menggemaskan! Namaku Scarlett.) Wajah Erina memang sangat menggemaskan. Sama persis seperti Parveen, walaupun umur keduanya berjarak jauh. Tetapi, wajahnya seakan menipu umurnya. *** Keringat dingin membasahi dahi Fairel. Laki-laki itu baru saja membuka double pintu yang menampilkan wajah Daiyan dengan pandangan tajam. Ia terkejut meski sesaat, karena dirinya buru-buru menetralkan ekspresi agar kakaknya itu tidak memarahinya lagi. Setelah berdebat dengan salah satu perempuan mungil yang ia temui di café, Fairel memutuskan untuk pulang saja. Namun, siapa sangka begitu dirinya pulang wajah Daiyan menyambut tepat di depan matanya. Wajah Daiyan terlihat sangat dingin. Tatapannya tepat menusuk ke dalam kornea mata milik Fairel. Kedua tangannya mengepal kuat dengan urat-urat yang menghiasi seluruh lengannya. Bahkan otot-otot di kepalanya sedikit menegang. Wajah kemarahan kakaknya itu tak pernah luput dari pandangan Fairel. Ia sudah tahu bahwa Daiyan pasti tiba-tiba datang ke kantornya. Tetapi, yang membuat dirinya tidak percaya adalah mengapa harus tiba-tiba seperti ini. Padahal Daiyan selalu mengabari dirinya jika hendak berkunjung. “Jadi, selama ini saya tidak ada di kantor itu anda bersenang-senang?” tanya Daiyan dengan suara yang teramat tenang. Namun, bukannya tenang, Fairel merasa bahwa kakaknya ini sangat marah. Ia menunduk takut menatap kedua sepatu mengkilapnya. Sungguh dirinya sangat menyesal telah menghabiskan selama hujan turun di dalam café. Kalau saja ia tepat kembali ke kantor mungkin tidak akan terjadi seperti ini. Fairel memilih diam dan mendengarkan semua perkataan Daiyan. Karena kalau menyahut saja barang sekata, mungkin nyawanya akan segera melayang. Seorang Daiyan Arsyad Danadya adalah kakak yang paling mengerti akan dirinya, meskipun sedikit cerewet dan sering memarahinya. “Mom sebentar lagi datang. Saya takut kalau kamu bertemu Mommy sebelum di rumah. Karena kamu tahu kan kalau Mommy itu akan sangat marah jika menemukan salah satu anaknya berada di luar lingkungan kantor,” ucap Daiyan lelah. Lelaki itu melangkah menghampiri sofa, lalu terduduk sambil memijat pelipisnya pelan. Pusing menyerang bagaikan angin topan, padahal ia belum selesai berbicara dengan adiknya. Fairel tidak bisa menyembunyikan wajah keterkejutannya mendengar penuturan Daiyan. Dengan wajah yang tidak setakut tadi, ia menghampiri kakaknya yang merebahkan kepala sambil berkali-kali menghela napas penat. “Mom ke sini? Kok aku enggak tahu?” tanya Fairel menuntut. Daiyan membuka matanya, lalu memukul kepala Fairel pelan. “Aku juga baru tahu tadi. Waktu Valeenqa bilang bahwa Mom akan ke sini dan hari ini.” Seketika mata sipit Fairel mendelik tak percaya. “Kenapa Mom harus ke sini?” “Kenapa Mom tidak boleh ke sini?” sahut Scarlett tiba-tiba. Seketika Daiyan serta Fairel menatap Scarlett dengan wajah sangat terkejut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD