3. Problem

1157 Words
Langit cerah menyelimuti sepanjang Shanghai Railway Museum. Kali ini lebih banyak pengunjung berwajah western yang menghiasi trotoar. Kebanyakan dari mereka menggunakan fasilitas umum seperti bus, subway, dan taksi yang berjejer rapi di sepanjang jalan. Sinar mentari begitu terang benderan, seakan ia ingin menunjukkan sinarnya pada seisi bumi. Setelah kemarin telah dihabiskan oleh musim hujan. Tirai-tirai jendela terbuka lebar, menyesap setiap sinar yang melesat masuk. Parveen menatap layar laptopnya yang menampilkan sederet lowongan kerja. Begitu banyak lowongan hingga membuat dirinya sedikit kebingungan. Apalagi selama ini, dirinya hanya bekerja di salah satu instansi negara, dan belum pernah menjajalkan diri di sebuah perusahaan besar. Kacamata yang bertengger di hidung mungilnya pun berkali-kali merosot. Seakan mewakilkan perasaannya yang sedikit tak menentu. Parveen tahu, dirinya harus mencoba. Tetapi, hidup di Cina bukanlah perkara mudah. Hingga sebuah iklan terpampang di depan layar laptopnya. Mata Parveen terpaku saat tak sengaja membaca deretan kata-kata yang menarik perhatiannya. “Dicari pengawal sekaligus asisten pribadi dengan merangkap satu pekerjaan. Boleh fresh graduate atau memang sudah berpengalaman dalam bidang perkantoran. Sangat diperhatikan untuk yang mampu bela diri?” gumam Parveen sambil mengerutkan keningnya bingung. Batinnya bertanya-tanya pada lowongan aneh ini. Di sana tidak terdapat nomor ponsel atau nama perusahaannya. Hanya ada sebuah klub yang Parveen rasa tidak asing bagi dirinya. Terbesit sebuah rasa penasaran dalam dirinya. “Gue coba kali, ya? Enggak buruk juga jadi pengawal,” tandas Parveen sembari membereskan pelaratannya. Hari ini ia sengaja tidak mengajak Erina, karena dirinya harus pergi ke suatu tempat. Biarlah Erina berdiam diri di rumah, karena akan sangat membantu jika adiknya itu menurut saja. Namun, Parveen tetaplah Parveen yang tak sampai hati meninggalkan Erina di rumah sendiri sehingga terbesit sebuah ide untuk menitipkan Erina di toko roti milik Nenek Sun, mungkin akan sangat membantu dengan keberadaan Erina kecil di sana. Dengan langkah mantap dan sebuah tekad yang tinggi, Parveen mengajak Erina untuk pergi ke toko roti sesuai dengan rencananya tadi. Dan ternyata Erina pun sangat senang, bahkan gadis kecil itu membawakan beberapa potong roti berisi daging dan keju mozzarella untuk Nenek Sun. Toko roti yang akan menjadi tempat persinggahan Erina terlihat sepi, sepertinya Nenek Sun belum membukanya. Parveen pun mengajak Erina untuk memasuki toko melalui pintu samping yang kebetulan terbuka kecil. Kedua perempuan itu kompak menatap Nenenk Sun yang asyik dengan adonannya. Tubuh senja itu seakan tidak habis dimakan waktu. Dengan sekuat jiwa dan raga Nenek Sun membanting berkali-kali adonan yang hampir kalis. Tanpa sadar Erina telah menghampiri Nenek Sun. tangan kecilnya menarik sebuah celemek putih membuat Nenek Sun menoleh dan sedikit terkejut. Lalu, membalikkan tubuhnya menatap Parveen dengan wajah sumringah. “Oh ... Parveen. Kau datang, Anakku?” tanya Nenek Sun melepas ikatan celemeknya dan meletakkan di salah satu gantungan dekat dengan lemari pendingin. Parveen menghampiri Nenek Sun diiringi lengkungan indah. Ia senang sekali bisa bertemu orang baik seperti Nenek Sun. “Aku datang, Nek.” “Ayo kita sarapan dulu. Kebetulan aku membuat sup krim yang sedap sekali,” ajak Nenek Sun menggenggam tangan kecil Erina dan menuntunnya pada meja makan kecil yang terletak di pojok ruangan dekat dengan cerobong asap. “Baiklah. Terima kasih, Nenek.” Parveen mengikuti langkah Nenek Sun dengan mata yang terus memandangi tubuh senja itu. Ketiganya nampak asyik sarapan. Dengan tingkah polos Erina yang mengundang gelak tawa serta keceriaan pagi ini. Tanpa sadar air mata Nenek Sun menetes perlahan. Wanita tua itu terharu melihat kedatangan Parveen dan adiknya. Padahal selama ini tidak ada yang pernah memperdulikannya, bahkan anaknya sendiri pun acuh tak acuh. Tawa Parveen seketika terhenti saat matanya menangkap perbedaan raut wajah dari Nenek Sun. “Kenapa, Nek?” tanyanya dengan raut wajah bingung. Nenek Sun buru-buru menghapus air matanya dan menggeleng singkat. Namun, Parveen tak percaya begitu saja. Mata kecilnya terus memandangi setiap gerak-gerik Nenek Sun yang lebih kaku daripada tadi. Seperti ada sebuah masalah yang disembunyikan. *** Di kediaman dua orang anak dari Danadyaksa terlihat sedikit lenggang, tidak seperti biasanya yang selalu ramai akibat tingkah Daiyan dan Fairel. Rumah bercat putih serta memiliki beberapa patung di sudut taman itu bertransformasi menjadi sebuah rumah tahanan kekaisaran Cina. Scarlett memandangi satu per satu anaknya yang terlihat sangat gagah. Ia mengingat kala mengandung kedua anak laki-lakinya itu penuh susah payah akibat suaminya, Danadyaksa meninggal dunia dalam penyakit leukemia yang telah dideritanya beberapa tahun lalu. Penuh perjuangan dan derai air mata yang selalu menemani hidupnya sampai Fairel lahir. Kala itu perusahaan dalam kondisi buruk dan dirinya harus bertindak tegas, apalagi Daiyan masih sangat kecil untuk mengurusi perusahaan raksasa milik suaminya. Hingga sebuah kepercayaan dirinya jatuh pada salah satu kaki tangan suaminya yang ternyata malah menghancurkan perusahaan Danadyaksa. Karyawan mulai mengundurkan diri, kantor-kantor cabang pun mulai merosot parah hingga membuat dirinya harus bersusah payah membangunnya kembali. Tanpa sadar usia Daiyan menginjak tujuh belas tahun, dan masih ada perjalanan panjang yang harus ia tempuh untuk menghidupi kedua anak-anaknya agar bisa menikmati hidup dengan layak. Namun, kegigihan Danadyaksa seakan memberi kekuatan pada Daiyan agar laki-laki itu mau membantu dirinya. Dengan kecerdasan yang luar biasa, Daiyan mampu menghabiskan masa kuliahnya dengan membantu perusahaan bangkit kembali. Jatuh bangun telah laki-laki itu rasakan kala dirinya diremehkan oleh beberapa direktur pendiri perusahaan. Bahkan ada beberapa investor yang ingin membali perusahaan ayahnya. Tetapi, tidak semudah itu bagi Daiyan melepaskan semua ciri payah yang telah ayahnya lakukan selama ini. Dengan kepiawaiannya dalam berbalas mulut, Daiyan selalu memenangkan tender serta keputusan rapat yang selalu memuaskan. Bahkan ada beberapa direktur yang merekrutnya untuk menjadi salah satu pemegang saham. Namun, semua itu Daiyan tolak, ia tidak ingin membuat perusahaan ayahnya terbengkalai. Alhasil, inilah yang Daiyan rasakan selama ini telah jatuh-bangun membangkitkan perusahaan kembali. Semuanya terekam jelas oleh ingatan yang selalu abadi di dalam dirinya. Ibu dan anak itu seakan saling terhubung satu sama lain. Mereka berdua kompak menoleh dan tersenyum tipis, membuat Fairel mengerutkan dahinya bingung. “Ada apa, Rel?” celetuk Daiyan membuat Fairel meringis malu. “Tidak ada,” jawab Fairel yang kembali menyuapkan satu per satu makanannya ke dalam mulut. Sementara Scarlett hanya tersenyum geli melihat begitu lahapnya Fairel memakan sarapan yang ia sengaja buat sendiri pagi ini. “Mom nanti ke perusahaan atau tidak?” tanya Daiyan membuka percakapan. “Sepertinya tidak. Mommy mau memanjakan diri di rumah daripada harus berkutat di gedung seperti itu lagi,” jawab Scarlett dengan wajah sedikit kesal. Daiyan tertawa kecil melihat sifat ibunya yang selalu seperti anak-anak. Meskipun ia tahu bahwa Scarlett tidak benar-benar pada ucapannya. Karena ibunya ini sudah pasti merencakan sesuatu ketika kembali ke Cina. Pasalnya, ia pernah menganggap remeh ibunya ini dan berakhir dengan hukuman yang menyebalkan. “Tidak mungkin. Mommy pasti ke perusahaan untuk mengacaukan kita, Kak,” sahut Fairel tanpa memperdulikan tatapan Scarlett yang menajam. “Sudahlah, Mom. Apa yang dikatakan Fairel memang benar,” bela Daiyan tersenyum geli melihat wajah ibunya yang semakin kesal. “Padahal Mom ingin membuat kejutan sama kalian, tetapi betapa piciknya otak Fairel, Mom rasa tidak perlu. Lagi pula kalian berdua harus menemani Mommy belanja besok!” putus Scarlett membuat wajah kedua anak-anaknya kompak mendelik tak percaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD