Teman Baru

2477 Words
Nana tidak menyangka jika seorang gadis seperti gadis yang ada di hadapannya tidak melempar tubuhnya kepadanya. Dia tersenyum tipis dan duduk di samping Maria yang menggeser posisi duduknya. "Siapa namamu?" tanya Nana. "Hmm." Maria masih fokus membaca bukunya. "Aku Nana," ucap Nana lagi masih mencoba bertanya dan melihat buku yang di baca Maria. "Na ...!" teriakan seorang pria memanggil Nana. Nana tersenyum dia melihat bet nama yang tertulis di baju Maria. "Maria ... Nama yang cantik. Tapi orang nya dingin," ucap Nana tersenyum. "Sudah?" tanya Maria. "Belum," senyum Nana menunjukan kedua lesung pipi di wajah tampannya. "Kalau begitu aku yang akan pergi." "Eeh, tidak perlu. Kau lanjutkan membacanya, kisah seorang wanita mengejar cinta pangeran memang seru, tapi ketika pangeran yang mengejar wanita akan jauh lebih menyenangkan," sela Nana tersenyum dan berdiri dari duduknya pergi meninggalkan Maria yang terdiam. Nana berjalan sembari membawa bola di tangannya, dia tidak mengira Jika masih ada seorang gadis seperti Maria yang tidak tertarik akan pesonanya. Berjalan kembali ke lapangan bola voli di mana permainan yang begitu panas. Bahkan begitu banyak juga para wanita yang berseru meneriaki namanya, namun Nana tidak tahu jika ada seorang gadis yang masih tidak tertarik kepadanya. Dia terdiam dan memberikan bolanya tanpa melanjutkan permainan, Nana memilih untuk berjalan pergi dari lapangan itu hingga dia masuk ke kelasnya mengganti pakaian olahraga nya. "Wow bertemu pria tampan di sekolah!" seru Nina. "Hmm, mana?" tanya Atika. Mereka berdua menghampiri Maria dan duduk di sampingnya. "Kalian membicarakan apa?" tanya Nina. "Tidak ada," jawab Maria. "Masa? Dia duduk lama disini!" seru Nina. "Dia siapa?" tanya Maria. "Astaga, pria tampan tadi Nana. Kamu tidak tahu jika dia pangeran di sekolah ini?" jelas Nina tidak percaya jika sahabatnya tidak memandang Nana sama sekali, padahal dia begitu ingin dapat bersama Nana, tapi Maria bahkan tidak tau tentang Nana. "Maria aja tampilan pria, mana mungkin dia melihat pria lagi," ucap Atika. "Waah, kau memang sahabatku yang baik," balas Maria mendengar ejekan Atika. "Ya, tidak mungkinkah kamu tidak tertarik pada Nana!" seru Nina. "Untuk apa? Dia bukan Jakson Wong yang tampan tiada tara itu kan?" tanya Maria. "Sudahlah Maria, di bandingkan artis Korea, Nana lebih tampan!" seru Nina. "Dia penggila Korea!" balas Atika. "Ya, mereka memang tampan, tapi Wong sangat tampan!" seru Maria, membuat kedua sahabatnya mendelik malas akan kegilaan Maria pada artis koreanya. Mereka bercanda ria di halaman sekolah, namun tidak dengan hati dan apa yang di pikirkan Nina. Rasa cinta dan sukanya pada Nana menutup hati dan kekesalannya pada Maria yang lebih beruntung darinya dapat berhadapan dengan Nana sekaligus berbincang dengannya. "Dia munafik!" batin Nina. Nina berdiri dan pergi begitu saja tanpa berpamitan pada Maria dan Atika. "Kenapa dia?" tanya Maria. "PmS kali," balas Atika. Maria dan Atika kini melanjutkan membaca mereka di taman sekolah menghiraukan temannya yang pergi begitu saja dalam keadaan kesal di hatinya. Tujuan Maria saat ini adalah agar dia dapat melanjutkan sekolah seperti apa yang saat ini tengah ditekuni oleh kakaknya sekolah lanjut hingga menjadi seorang yang dewasa membuat Maria semakin mengagumi kakaknya yang kali ini semakin pintar di sekolahnya. "Nanti kau coba berbicara lagi saja kepada ibumu, agar Kau bisa melanjutkan sekolah," ucap Atikah, mereka kini sudah berjalan untuk pulang dari sekolah setelah jam pelajaran berakhir. Dibalas anggukan oleh Maria, Atika menarik tangan Maria agar berjalan lebih cepat dan sampai di rumah. Seorang ibu Ani berusia 42 tahun Ibu Maria yang dengan wajah acuh nya setiap kali bertemu dengan putrinya itu. Setelah dia menitipkan anaknya kepada Maria yang sudah datang dari sekolahnya, dia berjalan menghampiri sebuah toko dimana begitu banyak ibu-ibu warga di sana juga tengah berbelanja. "Zaman sekarang jika anak-anak kita tidak melanjutkan sekolah itu benar-benar sangat memalukan! Jangan samakan waktu dulu dengan zaman sekarang, di mana kita berlomba-lomba untuk menyekolahkan anak kita agar menjadi lebih pintar dan menjadi kebanggaan keluarga," ucap seorang ibu yang berbicara kepada temannya. "Ya, meski kekurangan uang pun aku akan tetap berusaha untuk menyekolahkan anak-anakku. Rasanya seperti orang tua yang tidak berguna jika tidak bisa menyekolahkan anaknya," balas salah satu temannya. Ibu Ani yang sedang memilih beberapa sayuran mendengarkan hal itu membuatnya tampak kesal, namun dia tidak berani untuk menjawab dan ikut berbicara dengan ibu-ibu itu. Dia memilih untuk mempercepat aktivitasnya dan pergi tanpa menghiraukan mereka yang mengajaknya untuk berbincang terlebih dahulu. Sesampai di rumah, Ibu Ani tampak terpikirkan tentang ucapan para ibu-ibu saat di pasar tadi. Di tengah dia sedang memasak Maria yang kini sedang keluar masuk dapur membuat Ibu Ani tampak kesal hingga meneriakinya. Maria yang tidak memahami apa yang saat ini tengah dirasakan oleh ibunya, dia hanya bisa terdiam menerima teriakan dan makian ibunya itu. Meski dia tidak tahu apa yang terjadi kepada ibunya suasananya menjadi berubah setelah Ibu kembali dari pasar setelah makan malam selesai Ibu Ani tiba-tiba saja duduk di samping suaminya ada Maria dan kakaknya yang tengah belajar di ruang tamu. "Besok kau daftar sendiri saja ke sekolah atas! Aku akan memberikan biaya pendaftarannya!" seru Ibu Ani tanpa melihat ke arah Maria yang terkejut dan tidak percaya apa yang dia dengar. "Maksud ibu apa? Aku boleh melanjutkan daftar sekolah?" tanya Maria, dia ingin memperjelas ucapan ibunya. "Ya, tapi tidak mengurangi tugasmu dirumah dan juga adik-adikmu!" balas Ibu Ani dengan acuh. Maria tampak bahagia mendengar ucapan dari ibunya bahkan ayah dan kakaknya ikut bahagia ketika melihat Maria tampak bersemangat kali ini. Ketika adiknya tidak memahami apa yang saat ini tengah di rasakan oleh Maria, dia yang begitu bersemangat bahkan berterima kasih kepada ibunya. Hingga semalaman gadis itu tidak bisa tidur ketika dia begitu bahagia mendengar penuturan ibunya yang membolehkan dirinya untuk melanjutkan sekolah. "Aku tidak pernah membayangkan hal ini benar-benar terjadi. Terima kasih Tuhan, Kau telah menjawab permintaan hatiku yang benar-benar dalam lubuk hati yang sangat aku inginkan," gumam Maria dia tertidur dalam senyum dan kebahagiaan tampak bersemangat berharap pagi Segera tiba. Pagi sekali Ibu Ani memberikan uang pendaftaran sekolah untuk Maria, dimana gadis itu benar-benar melakukan tugas rumahnya dengan sangat dini membuatnya begitu bersemangat untuk pergi ke sekolah dan menemui wali kelasnya agar dapat mendaftarkannya ke sekolah lanjut atas. Bukan hanya Maria saja yang bahagia melainkan sahabatnya dan Kakaknya juga ikut bahagia mendengar kabar Maria yang bisa melanjutkan sekolah lagi. Gadis itu dengan wajahnya yang berseri-seri dia berlari ke sekolah tanpa menghiraukan seseorang yang berdiri di gerbang pintu sekolah yang di mana seorang mana menghalangi jalannya hingga membuat Maria melakukan hal yang tidak pernah di bayangkan oleh Nana. "Aarrgh! Kenapa kau menginjak kakiku!" ringis Nana, setelah dia mendapat Maria menginjak kakinya dengan sangat kencang. "Siapa yang memperbolehkan mu menghalangi jalanku, kamu bahkan membuatku kesal!" balas Maria dengan acuh. Masih merasakan panas di kakinya yang di mana Maria menginjaknya dengan sangat kencang. Nana hanya tersenyum mendengar dan melihat wajah acuh Maria. Jam istirahat, Maria duduk di belakang sekolah, dengan bekal di tangannya. Dia tidak pernah pergi ke kantin hanya untuk sekedar jajan. Dia selalu membawa bekal dari rumah untik makan siangnya. "Kenapa disini sendiri?" tanya Nana. Nana menghampiri Maria yang sedang duduk, dengan bekal di tanganya. "Haah? Kamu sedang apa disini?" balas Maria acuh dan tidak memperhatikan Nana yang masih berdiri. Namun Maria berdiri dan menatap Nana. "Duduklah, aku temani kamu makan," ucap Nana menepuk sebelah tangannya di samping duduknya. "Tapi ...." Ucapan Maria terhenti saat Nana mengambil bekal Maria dan membukanya. Maria mengerutkan dahinya melihat Nana yang seperti itu. "Waah ... ini pasti enak nasi goreng dengan telur mata sapi!" ucap Nana tersenyum dan membuka bekal nasi milik Maria. Nana memakanya tanpa menghiraukan Maria yang melihatnya, Maria mengerutkan dahinya dengan wajah kesal ia merebut bekalnya dan memakanya juga. Ia sangat lapar, karena tadi pagi ia tidak sarapan. "Itu berarti kita sudah ciuman," ucap Nana. Maria yang mendengar itu, ia terbatuk dan tersedak. Nana yang khawatir melihat Maria tersedak, ia memberikan botol minumanya, tanpa pikir panjang Maria meminumnya. Maria menatap tajam Nana yang ada di hadapannya. "Kamu jangan bercanda hal itu, bagaimana kalau nanti aku mati tersedak," bentak Maria kesal akan ucapan Nana yang menggodanya. "Hahaha, kamu galak juga ya," tawa Nana menggoda Maria dengan senyum manisnya. "Kamu bahkan mengataiku galak, dasar si muka pucat!" teriak Maria. Nana yang berkulit putih bersih dengan ketampanan dan lesung pipinya, saat tersenyum menyiratkan ketampanannya. Kini Maria memukul tubuh Nana ringan, tanpa di sadari mereka malah bercanda hingga saling mengejar, pada akhirnya mereka berhenti merasa lelah juga. "Kamu kuat juga ya? Aku sampai lelah karenamu," ucap Nana terengah-engah. "Kamu yang mulai duluan," bantah Maria. "Aku bicara apa adanya," teriak Nana meyakinkan Maria yang mengerutkan dahinya melihat Nana. "Apanya yang apa adanya," tanya Maria. "Kita berciuman," jawab Nana tersenyum memandang Maria dengan pandangan yang sulit di artikan. "Jangan kira aku akan bisa di bodohi oleh playboy sepertimu ya," teriak Maria. "Hehe, iya iya ... kamu makan sendok bekasku, juga minum minuman bekasku apalagi kalau bukan berciuman," jelas Nana. "Kamu gila!" teriak Maria. Nana tersenyum melihat reaksi Maria yang di luar dugaanya, Maria tidak mencoba mendekati Nana dengan kemunafikan setiap wanita yang mendekatinya, Maria justru berani meneriaki Nana dengan menyebutnya gila. "Huh, nafsu makanku hilang karenamu, aku pergi!" gerutu Maria meninggalkan Nana. "Hehe, dia bahkan berani meninggalkan aku seorang tanpa meninggalkan kesan baik," gumam Nana. Di kejauhan ada dua mata yang menyorot melihat Maria dan Nana dari kejauhan. Menatap kesal melihat dimana Maria dan Nana berada, ia pergi dengan kesal. "Munafik," ucapnya kesal. Semua siswa keluar dari kelasnya, setelah jam sekolah berakhir. Dia melihat Nana yang berdiri di depan kelasnya, dan tersenyum melihat Maria yang berjalan. "Tidak perlu, sebar senyuman padaku aku tidak akan tergoda," cetus Maria. "Hahaha, ternyata aku yang tergoda olehmu," ucap Nana tertawa dengan gemasnya. Bagi siapapun yang melihat Nana yang tersenyum manisnya, itu akan menarik perhatian oara gadis. Apalagi ia tersenyum hingga tertawa. Tapi lain dengan Maria, yang dengan acuhnya mengangguk dan tidak memperhatikan Nana sama sekali. "Sedang apa kamu disini?" tanya Maria. "Sedang menunggu teman," jawab Nana dengan senyum manisnya. "Owh," ucap Maria malas. Ia berjalan meninggalkan Nana yang memperhatikannya. Nana yang di lewati oleh Maria, ia berlari mengejar Maria, hingga tepat di gerbang sekolah. Nana menarik Maria, dengan sedikit keras dan berjalan menuntunnya. Kini Maria dan Nana kini berada di gerbang sekolah. Sekolah sudah tidak ada murid lain. Hanya tinggal beberapa saja yang masih berada di sekolah. "Iiiih ... ada apa kenapa menariku?" teriak Maria, dengan di pegang Nana. "Besok ke belakang lagi ya! Aku bawa makanan untukmu," pinta Nana tersenyum menekan Maria. "Untuk apa aku harus kesana?" tanya Maria mencoba melepas pegangan Nana. "Untuk pertemanan kita," ucap Nana tersenyum. "Teman? Emang sejak kapan kamu jadi temanku?" tanya Maria mengerutkan dahinya. "Sejak kita berciuman," jawab Nana tersenyum. "Dasar gila, kita tidak ciuman ya! Awas kamu kalau bicara begitu lagi," ancam Maria menunjukan kepalan tanganya. "Aku tidak akan mengatakanya, kalau kita berteman bahkan bersahabat juga boleh," ucap Nana. "Hmmm baiklah, " ucap Maria malas. "Baiklah, apa?" tanya Nana. "Kita berteman!" jawab Maria tegas. "Teman," ucap Nana mengulurkan tanganya dengan senyum manisnya yang selalu ia lakukan setiap kali bertemu Maria. Padahal ia pemuda yang sangat irit dengan senyumannya. Tapi untuk kali ini, ia bahkan tidak bisa tidak tersenyum setiap kali bertemu Maria. "Hmmm," jawab Maria menyalami tangan Nana. Nana tersenyum, lain dengan Maria ia harus terburu-buru pulang ke rumah, menfingat banyaknya pekerjaan rumah yang belum ia kerjakan tadi pagi. Maria yang sadar bahwa ia di ikuti Nana, dia berbalik dan menberbalik dan menatap Nana yang berjalan di belakangnya. "Kenapa kamu mengikutiku?" tanya Maria mengerutkan dahinya. "Aku mau pulang," jawab Nana salah tingkah. "Heh bodoh! Arah rumahmu kesana bukan kesini," teriak Maria dengan tampang malasnya. "Hehe iya yah," ucap Nana berlaga bodoh menggaruk kepala tak gatal. "Huh dasar, by aku duluan yaaa," teriak Maria ia berlari pergi. Nana yang melihat Maria berlari meninggalkanya, Nana tersenyum sepanjang perjalananya ia seperti mendapatkan hadiah besar atas pertemanan barunya ini. "Heh, aku bahkan mengharapkan ia jadi temanku, padahal semua cewek ingin dekat denganku, tapi dia malah mengataiku kalau aku bodoh," gumam Nana. Nana tersenyum sepanjang perjalanan pulanngnya, ia tampak bahagia hingga bersiul sepanjang jalan. ******** Maria sampai di rumahnya dan di teras depan sudah ada keluarganya berkumpul ada ayah dan ibunya. Juga ketiga tantenya dan anak-anknya sedang berbincang. "Nah ini dia, anak sialan baru ingat pulang hah? Sudahlah gak usah sekolah lagi, lebih baik kamu ke luar negeri saja, ni ada tantemu yang akan menjadi sponsormu," ucap ibu Maria. Maria hanya terdiam bahkan ucapan salamnya tidak di balasnya. Ia masih berdiri dengan seragam sekolahnya mendengarkan pembicaraan ibu dan tantenya yang kini sedang membicarakan tentang dirinya. "Daripada ngerepotin mulu hidupmu, pake acara mau sekolah lagi, mending cari duit udah sebelum pergi dapat duit gajihnya gede juga,kamu gak usah sekolah lagi ya," teriak ibu Maria. Maria tetap diam dan tidak mengangguk ataupun menggelengkan kepalanya, Maria mengikuti intruksi tantenya, menanyakan nama lengkap beserta usia, bahkan Maria akan di buatkan ktp yang di tambah usianya. "Semua sudah beres, apa kamu sudah siap?" tanya Tante Maria. Maria tidak menjawab, ia tetap terdiam. Tante yang melihat Maria, yang tanpa ekspresi menolak ataupun menerima. Ia berbalik ke arah ibu Maria yang tersenyum bahagia, karena anaknya akan sama seperti gadis lain yang bekerja di luar negeri. "Maaf Mbak, kita tidak menerima pegawai yang tidak siap hatinya," ucap Tante Maria bernama Aya. "Apanya yang tidak siap hati? Dia siap kok, ya Maria?" ucap ibu Maria mengguncang tubuh Maria keras. Maria tetap terdiam, ia bahkan tidak melihat wajah ibunya, jika ia melihat wajah ibunya. Ia pasti akan luluh karna setiap ucapanya tidak pernah mau Maria bantah.Tapi untuk kali ini, Maria tidak berani menatap ibunya, apalagi ini menentang kehidupan dan masa depanya. "Huh, dasar anak sialan! Tidak berguna di suruh cari duit malah ngebego-begoin diri pake acara gak siap hati," gerutu ibu Maria. Maria hanya terdiam mendengar teriakan ibunya yang kesal pada dirinya, Maria tidak menuruti ke inginan ibunya untuk pertama kalinya. "Emang kamu gak guna, mau sampai kapan kamu berguna bagi keluarga, gak lihat ya kamu anak gadis orang lain pada berani kerja di negeri orang! Hah," teriak ibu Maria. Semua orang yang ada disana tidak ada yang berani bicara apalagi Maria. Maria sudah tahu dan terbiasa dengan teriakan ibunya yang seperti itu, makanya Maria hanya berdiam saja. "Kamu mau jadi apa? Hah," teriak ibu Maria. "Kalau Maria sekolah, Maria akan gunakan ijazahnya untuk mencari kerja disini Bu, tidak perlu ke negeri orang," ucap Maria memberanikan diri untuk menjawab. "Huh, kaya anak pintar aja kamu," cetus ibu Maria, ia pergi kedalam rumah karna kecewa. Maria yang melihat ibunya pergi menghampiri tantenya. "Maaf ya Tante! Maria mengecewakan tante," ucap Maria. "Hmm," jawab Tante Aya, ia mendengus dan pergi. Kini di teras depan hanya tersisa Maria dengan ke empat adik-adiknya, yang sedang bermain. Maria terduduk dengan adik bungsunya yang menghampirinya dan di gendong Maria. "Sedang apa kamu cepetan nyuci! Juga kamu belum beres-beres rumah. Itu juga kamu masak yang banyak malam ini. Jangan hanya masak satu menu saja," teriak ibu Maria keluar dan mengambil adiknya yang paling kecil. Maria berdiri dan mengangguk menyerahkan adik bungsunya, ia bergegas masuk untuk mengganti pakaianya dari usianya yang baru berusia 16 tahun itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD