Batas Tak Kasat Mata

2687 Words
Jegrek! Satrio masuk ke pantry setelah Fian yang berjalan di depannya membuka pintu. Satrio yang kebagian menutup pintu. Kalau Fian berjalan ke kabinet yang menyimpan mangkuk, maka Satrio beralih ke depan kompor dan menjerang air. Fian menuang buburnya ke dalam mangkuk. "Sarapan, Mas," ujar Fian basa-basi. Dia mengaduk-aduk buburnya. “Iya. Enakin aja, Fi.” Satrio menuang kopi saset ke cangkirnya. Dia dan Fian memang sudah tak seakrab dulu semenjak Ninda resign dari kantor. Namun, bukan Satrio namanya kalau terdiam cukup lama begini. Apalagi kalau orang yang menemaninya adalah Fian, orang yang memang sudah Satrio kenal cukup lama. “Gimana sama Aldi? Udah jadian?” Satrio akhirnya menemukan topik yang bisa diangkat. Ia tidak tahu apa reaksi Fian, karena Satrio sendiri membelakangi Fian. Terdengar gumaman tidak jelas dari Fian saat Satrio menuang air ke cangkirnya. Ia duduk di depan Fian sambil mengaduk cangkirnya. Kompor sudah Satrio matikan. “Hm?” Satrio menanti jawaban dari Fian. Pipi Fian tersipu, berubah semakin merah. Satrio gemas sendiri melihatnya. Digunakannya ujung sendok untuk menoel pipi Fian. “Kalo Aldi tahu dia bisa marah nih sama gua.” Sementara itu, Gian yang baru saja membuka pintu pantry mematung melihat pemandangan di hadapannya. Satrio sedang mencolek pipi tembam gadis manis di hadapannya yang Gian tahu sedang dekat dengan Aldi. Mereka...? Melihat kedatangan Gian, Satrio menurunkan tangannya. Ditaruhnya sendok dengan asal di meja. “Duh, kurang gula,” ujar Satrio mengaburkan salah tingkahnya karena ke-gap oleh Gian. “Makan, Mbak Gian,” ujar Fian sama salah tingkahnya. Satrio duduk lagi setelah menambah gula yang tidak seberapa karena kopinya pun sudah manis. Gian menarik kursi di sebelah Fian. Setelahnya, ia membuka kotak bekal berwarna ungu. Aroma oseng orak-arik langsung menyapa hidung Satrio. Nampaknya, Gian ini memang anak rumahan sekali. Kalau diperhatikan, dia sering sekali membawa bekal ke kantor dengan menu rumahan.  “Oh iya, Fi. Tadi aku lihat Aldi nyariin kamu tuh,” ujar Gian. Sungguh dia tak mau ikut campur dengan apa yang terjadi antara Satrio-Fian-Aldi. Tapi tadi Aldi sempat titip pesan padanya untuk menyampaikan salamnya jika bertemu Fian. “Oh iya—” belum sempat Fian menyelesaikan ucapannya, Aldi muncul dari pintu. “Di sini ternyata, dicariin dari tadi padahal,” katanya. Fian menyengir sambil mendorong mangkuk bekasnya ke arah Satrio, meminta tolong pada Satrio untuk menaruhnya di tempat cuci piring di belakang Satrio. “Kurang ajar banget jadi bocah,” umpat Satrio meski tak ayal tetap memundurkan kursinya dan menaruh mangkuk di tempat cuci piring dengan pelan. Fian tak menghiraukan u*****n Satrio. Dia beralih pada Aldi yang berdiri di ujung meja. “Mas, tadi Mas Satrio nakal, dia colek-colek pipiku pakai sendok,” adu Fian. Aldi mengernyit begitu juga dengan Satrio. “Suara lo kok jadi manja-manja gitu sih, Fi?” komentar Satrio. “Biarin, wlek.” Fian menjulurkan lidahnya kepada Satrio. “Gue kan manjanya ke Mas Aldi bukan ke elo.” “Jangan manja ke dia, Fi, nanti kamu dipaksa pergi ke Melbourne lagi,” tambah Aldi. Mengejek Satrio sudah jadi hobinya sejak Satrio ditinggal dua pacarnya. Ah maksudnya, pacar dan selingkuhannya dalam waktu bersamaan. Satrio mencebik sebal. Ditenggaknya kopi dengan rakus sampai terdengar bunyi glek ... glek ... glek. Fian berdiri dan menghampiri Aldi. Sebelum pergi, dia sempat berceletuk. Wajahnya serius memandang Satrio. “Just info, Mas, Ninda masih di sini kok. Dia baru berangkat akhir bulan ini.” Mendengar informasi dari Fian, membuat Satrio mematung. Ia sampai tidak sadar kalau Fian dan Aldi sudah meninggalkannya berdua bersama Gian di pantry. Berdua dengan Gian yang sedari tadi membungkam bibirnya. Setelah sadar dari keterpekurannya, mata Satrio bersirobok dengan Gian yang juga tengah meliriknya. Dilihatnya Gian gelagapan dan segera memasukkan sesuap nasi dengen tergesa. Hening mendera, setelah menelan makanannya Gian membuka suara. “Maaf ya, Sat,” ucapnya. Satrio mengangkat alisnya. Wajahnya terlihat muram. “Kenapa?” “Mungkin ada beberapa hal yang nggak seharusnya gue denger tadi. Gue bisa pergi sekarang kok kalau lo terganggu.” Gian bahkan sudah bersiap menutup kotak makannya. Satrio menahan tangan Gian segera, “Di sini aja nggak apa-apa. Biar gue yang pergi.” Satrio bangkit dan menaruh cangkirnya ke tempat cuci piring. Ia tinggalkan Gian dengan segala perasaan yang berkecamuk dalam hati perempuan itu. Perasaan Satrio juga sama berkecamuknya. Dia mengira kalau Ninda sudah pergi jauh, nyatanya masih ada di kota yang sama dengannya. Bahkan, kalau Satrio mau, dia bisa mendatangi rumah Ninda sekarang juga. Tapi untuk apa? Benar. Untuk apa juga dia berusaha menjalin komunikasi lagi dengan Ninda. Sadar, Sat, Ninda itu cuma masa lalu elo. Jangan tenggelam ke lubang yang sama. Satrio masuk ke dalam ruangannya. Dia ada meeting dengan tim penjualan juga beberapa orang sales pagi ini. Memikirkan Ninda bukanlah pilihan yang tepat. Hingga pukul 10.05 pagi, Satrio keluar dari ruang meeting sendirian. Tim penjualan kembali ke tempat kerja mereka di bawah, sedangkan para salesman langsung menjalankan tugas mereka di lapangan. Satrio berjalan dengan santai menuju ke ruangan divisi marketing and sales. Namun, belum sempat Satrio masuk, dilihatnya Gian yang bersandar di tembok depan toilet sambil berbicara di telepon. Wajahnya terlihat pucat dan ketakutan. Dengan ragu Satrio mendekati Gian dengan langkah pelan. Makin dekat, Satrio bisa melihat tangan Gian yang bergetar entah karena apa. “Gian?” sapa Satrio pelan. Namun, mau sepelan apa pun suara Satrio, gadis itu tetap terlonjak kaget. Sampai-sampai ponsel dalam genggamannya jatuh ke lantai. Beruntung Gian menggunakan soft case. Jadi jatuh pun, bagian-bagian ponsel tidak sampai mental ke mana-mana. Masih sama gemetarnya, Gian berjongkok dan memungut ponselnya. Satrio masih tetap berdiri di depan Gian. “Lo kenapa, Yan?” “Ng ... nggak, g-gue nggak kenapa-kenapa. Lo ... santai a-aja.” Nyatanya suara Gian tak memperlihatkan seperti apa yang keluar dari mulut Gian. Gian berjalan melewatinya, Satrio menahan lengan Gian. Gemetar masih tersisa di sana. “Lo pucet, Yan, tangan lo gemetar. Lo yakin nggak sakit?” Satrio yakin, bukan sakit yang menjadi alasan Gian seperti ini. Pasti semua ada hubungannya dengan telepon tadi. “Kita ke pantry dulu,” putus Satrio sambil menggeret lengan Gian pelan. Sampai tiba di pantry, Gian masih diam sampai Satrio mengulurkan gelas berisi air putih ke hadapannya. Tangan Gian masih bergetar, dia tak meraih gelas uluran Satrio karena takut akan menjatuhkan gelas itu. Dengan impulsif Satrio meraih gelas itu dan mendekatkan ke mulut Gian. Satrio membimbing Gian minum dengan pelan dan telaten. Entah kapan terakhir kali dia seperhatian ini dengan perempuan. Setelah memastikan Gian sudah meneguk air sampai habis, Satrio kembali menaruh gelas ke atas meja. Sadar sedang ada di mana dia. Demi menghindari segala berita-berita buruk lainnya besok. Satrio bangkit dari duduknya dan meraih lagi laptopnya. “Habisin ya, minumnya. Gue balik dulu.” Ucapannya tidak dibalas oleh Gian. Tapi, Satrio memang harus pergi sekarang. Heran juga dia, padahal pagi tadi Gian terlihat baik-baik saja. Namun, sekarang perempuan itu terlihat begitu ketakutan. Satrio baru meraih gagang pintu saat dia mendengar isakan tangis. Ia tolehkan kepala pada Gian. Sekarang Gian sekarang menelungkupkan kepalanya sambil menangis. Bahunya bergetar, naik dan turun. Satrio hanya bisa mematung. Dia hanya rekan kerja Gian, teman yang baru kenal dan tidak terlalu akrab. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada Gian sampai  perempuan itu bisa begitu sedih. Satrio ragu untuk melanjutkan langkahnya, tapi dering telepon dari Bu Siska memaksa Satrio untuk kembali bekerja. Akhirnya dia keluar dari pantry dan menutup pintu dengan pelan. Mencoba memberikan ruang sendiri untuk Gian. Mungkin sampai tangis Gian mereda dan ketakutannya menghilang.   ***   “Brand punya lo gimana jadinya? Bikin iklan baru apa gimana?” Mbak Maria mengobrol dengan Satrio di sela-sela kegiatannya membereskan barang. Jam sudah menunjukkan pukul 18.18 malam. Mbak Maria sudah siap-siap pulang. Berbeda dengan Satrio yang masih bersantai di kursinya begitu pula dengan Mas Bari. Mobil Satrio ini berplat ganjil. Sekarang tanggal enam, artinya Satrio harus menunggu sampai jam delapan malam nanti baru mobilnya bisa lewat. “Bikin iklan gitu jadinya. Tapi yang budget kecil aja. Itu pun gue debat dulu sama Bu Siska sama orang finance tadi.” “Gara-gara brand baru gue ya?” tanya Mbak Maria. “Iya,” jawab Mas Bari. “Gue juga stuck mau bikin event tapi keganjel budget. Heran gue. Duit perusahaan setipis itu apa sampai bikin event aja dimintain duit susahnya minta ampun.” Mas Bari malah mengomel sendiri. Satrio terkikik. Kemudian matanya tak sengaja melihat di luar ruangannya. Pintu ruangan yang terbuat dari kaca memudahkan Satrio untuk melihat Gian yang sedang dipapah menuju kubikelnya.   ***   “Itu seriusan nggak kenapa-kenapa, Yan?” Adrian memastikan keadaan tangan Gian. Bagian di atas siku lengan kanannya berwarna biru. “Kenapa nih?” Satrio datang menghampiri kubikel Gian yang dikerumuni banyak orang. “Tadi Gian keserempet motor. Nggak sampai jatuh sih. Tapi tangannya kena nggak tahu spionnya atau apanya sampai biru gini,” jawab Nurma sambil menunjuk bagian lengan yang ditutup-tutupi oleh Gian. Tangan Satrio terulur untuk menyingkirkan tangan Gian, hendak melihat bagian yang dimaksud Nurma. Dan memang benar, lengan atas Gian sedikit memar. Satrio tak sengaja menekannya terlalu kencang membuat Gian berseru kesakitan. “Eh, sorry,” ucap Satrio refleks karena mendengar aduhan Gian. Adrian ikutan meringis. “Ke rumah sakit aja deh, Yan, mendingan. Checkup.” “Nggak usah nggak papa, di rumah ada salep kok.” “Gian, ke rumah sakit nggak mau tahu. Kalo ada yang retak gimana. Jangan dianggep sepele lho. Itu luka dalem soalnya. Lebih bahaya dari sekadar robek doang.” Nurma kembali memperingatkan. “Anterin ke rumah sakit sana, Yan,” ujar Satrio memecah perdebatan antara Nurma dan Gian. “Waduh, nggak bisa nih, Sat. Gue lagi siapin presentasi buat meeting besok pagi. Masih setengahnya. Kenapa nggak elo aja sih. Lo masih ada kerjaan?” “Enggak sih, tapi plat gue kan ganjil. Lo aja deh, Ma, sana anter.” Bukan mengiyakan, Nurma malah meringis. “Sorry juga ya, gue ada janji sama orang jam tujuh.” Satrio mendengus keras. Aldi, Fian, dan Audrey sudah pulang. “Serius nggak papa. Gue naik taksi aja langsung pulang,” ucap Gian merasa tak enak karena gara-gara dia Adrian, Satrio, dan Nurma jadi berdebat. Satrio berdecak kesal, dia akhirnya berbalik dan meninggalkan meja Gian dalam diam. Beberapa saat kemudian, dia datang lagi sudah lengkap memakai hodie hitamnya dengan tas ransel di punggung. “Sini kunci mobil lo.” Satrio menyodorkan kunci mobilnya pada Adrian. Adrian hanya menurut saja. Mengambil kunci mobil di mejanya kemudian menyerahkan kepada Satrio. “Hari ini lo pake mobil gue dulu. Kita tukeran,” pungkas Satrio. Dia beralih pada Gian, “gue anter ke rumah sakit ya.” “Nggak us—” “Bantuin beres-beres, Ma.” Sampai beberapa menit berikutnya, Gian sudah berdiri di samping Satrio di dalam lift bersama Rockey juga di sana. Satrio melempar senyum ala bro code pada Rockey. Mau gimana pun juga, meski Rockey tak lagi ada di grup mereka lagi, Rockey tetaplah temannya. Satrio beralih pada Gian yang sesekali meringis. “Yakin cuma situ aja yang sakit, Yan?” “Cuma sini kok, Sat. Ngarep banget lo ya gue sakitnya di mana-mana,” canda Gian memecah awkward moment yang sedari tadi dia rasakan. Dia akan berani mengobrol ringan dengan Satrio kalau tak ada sorot kelabu dari mata Satrio. Satrio tertawa renyah. Lift berheti di basement. Satrio memimpin langkah Gian ke mobil Honda City Car hitam milik Adrian. Tidak ada skinship antara mereka. Satrio berjalan setengah langkah di depan Gian. Di belakangnya Gian mengikuti Satrio pelan. Baru ketika sampai di mobilnya, Satrio membukakan pintu sebelah kiri untuk Gian. Gian masuk ke dalamnya dan memasang seat belt dengan kesusahan saat Satrio sudah menyusulnya masuk ke dalam mobil. “Bisa nggak?” “Bisa kok.” Setelah memastikan Gian siap dengan seat belt, begitu pun juga dirinya sendiri, Satrio mengemudikan sedan itu keluar dari parkiran basement. “Tadi kok bisa gimana sih?” Satrio memecah keheningan saat mobil sudah berada di jalan raya depan gedung kantornya. “Gue kan mau cari makan malem sama Nurma di belakang kantor. Ya di sekitaran Rumah Makan Padang aja sih. Nggak tahu motornya yang terlalu minggir atau guenya yang terlalu ke tengah. Tiba-tiba lengen gue disenggol gitu aja dari belakang. Motornya tuh kenceng banget, makanya bisa sampe memar gini.” “Lo nggak denger klakson atau apa gitu, Yan?” “Samar sih, Sat. Tapi lo tahu lah jam-jam segitu jalanan gimana. Yang bukan jalan besar aja rame banget. Mana gue ngeh kalo klaksonnya itu buat gue.” Satrio meringis. Iya sih, jalanan di belakang kantornya itu cuma jalan pintas saja sebenarnya. Jalan yang mungkin cuma bisa buat lewat dua mobil seukuran Avanza jejeran lewat. Tapi, kalau lagi peak hours sih, ramenya karena sering dipakai untuk jalan pintas. “Tapi, Sat, seriusan lho. Nggak usah repot-repot ke rumah sakit segala. Turunin gue di halte aja nggak apa lho, Sat.” “Enggak lah, Yan, santai aja. Gue nggak lagi sibuk juga kok. Lagian memar lo emang perlu dicek, siapa tahu ada retak apa gimana. Lo tahu nggak sih kalau tanda-tanda tulang retak itu warnanya jadi biru gitu?” “Ish. Lo beneran doain tulang gue retak ya?” Satrio terbahak lagi. Satrio rasa, Gian sudah sedikit lunak dengannya. Berbeda seperti tadi pagi atau sebelum-sebelumnya. Gian terlihat seperti agak sungkan kepadanya. Satrio merasa Gian cukup worth it untuk dia jadikan teman. Toh, nggak ada salahnya juga kan Satrio kembali membuka dirinya? “Em ... Sat?” “Ya.” “Gue minta maaf ya.” “Kenapa?” Satrio menoleh sekilas pada Gian. “Kayaknya terlalu banyak hal-hal pribadi elo yang nggak sengaja gue denger. Gue ngerasa gue nggak ada hak untuk tahu itu semua. Gue minta maaf kalo gue lancang.” Satrio terpaku. Lagi-lagi hal itu. Iya, dia juga sadar. Gian melihatnya saat dia dan Siwi berada di pelataran gedung kantor, saat Siwi memeluk pria lain di depannya. Gian juga ada di sana saat Siwi datang ke lantai lima dan menemui Rockey, Gian juga ada di sana saat teman-temannya meledak Satrio tentang Ninda. Gian selalu ada di sana. Namun, menyalahkan Gian juga tidak ada gunanya. Toh Gian juga tak berniat untuk mengetahuinya kan. “Nggak usah ngerasa bersalah, Yan. Emang mulutnya mereka aja yang nggak ada saringannya,” respons Satrio akhirnya. “Anyway, Yan, lo tadi kenapa nangis?” Satrio bertanya hati-hati. Diliriknya Gian yang mukanya langsung mengeruh, bahkan ada sedikit gurat ketakutan di sana. Entah apa juga, Satrio merasa dia salah menanyakan hal ini sekarang. Gian saja meminta maaf karena tak sengaja mencampuri urusan pribadi Satrio. Lalu dengan lancang Satrio menanyakan privasi Gian tanpa tahu apakah Gian akan merasa keberatan atau tidak. Terdengar helaan napas kasar dari Gian. “Biasalah, cewek. Dikit-dikit nangis.” Ekspresi Gian menunjukkan kalau dia memperingatkan Satrio agar tak lagi melanjutkan perbincangan itu. Satrio menurut. Mungkin Gian sedang ada masalah dengan pacarnya. Zaman sekarang memangnya ada perempuan seumuran Gian yang masih menjomblo. Apalagi kalau dilihat-lihat, Gian ini cukup manis juga. Nurma saja yang galaknya seperti itu sudah punya pacar baru. Bahkan Siwi yang belum lama putus darinya saja sudah main peluk-peluk pria lain di depan Satrio. Sudah tidak ada lagi wanita single di sekeliling Satrio. Tinggal dirinya saja yang masih sendiri. Saat sampai di rumah sakit, Satrio memutuskan untuk mencari tempat parkir lebih dulu. Dia sempat menawarkan Gian untuk dia drop di lobi, tapi Gian menolak. Akhirnya Satrio dan Gian mencari tempat parkir lebih dulu. Selesai dengan acara parkirnya, Satrio mendahului Gian keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Gian. “Kenapa sih, Sat, harus dibukain segala?” “Tangan lo kan sakit.” “Kan yang kanan doang, yang kiri enggak. Cuma buka pintu mobil aja bisa kali.” Gian tergelak. Satrio berniat untuk merespons Gian lagi, saat matanya tak sengaja menangkap seorang perempuan bersama perempuan paruh baya lainnya yang berjalan bersisisan baru saja masuk ke kawasan parkir. Jarak mereka masih cukup jauh. Namun, mata Satrio masih normal untuk tahu siapa perempuan yang sedang memapah ibunya yang terlihat lemah itu. Ternyata benar kata Fian, gadis itu masih ada di Jakarta. Ninda masih ada di Jakarta. Di sana, berpuluh-puluh meter di depan Satrio. Sayang, dalam jarak sedekat itu pun kaki Satrio tak mampu untuk menghampiri dan memeluk Nindanya. Sekujur tubuhnya kaku, lidahnya pun kelu.   ***    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD