Sebuah Tebakan

2502 Words
“Ya ampun, Gian!” “Kenapa?” Gian menjawab pertanyaan Nurma tanpa memandangnya. Matanya tetap menatap layar komputer sedangkan tangannya menari-nari di atas keyboard. “Seriusan, Yan, Frozen banget action figure yang lo beli! Harganya berapa lagi ini?” Gian menoleh pada Nurma yang duduk di sebelahnya kemudian tersenyum polos. “Gue suka soalnya, Ma. Ya lumayan mahal juga sih. Tapi tenang, nggak sampai sejuta kok.” Nurma menggelengkan kepalanya tak paham dengan kelakuan perempuan di sampingnya ini. “Umur udah mau 26 tapi masih hobi banget sama Frozen.” “Sebenarnya gue lebih suka sama Alice-nya Alice in Wonderland sih. Tapi di olshop cuma ada itu sama Princess Ariel. Jadi ya gue beli yang Frozen aja.” “Bukannya mending Ariel ya. Lebih klasik gitu.” Karena Salsa lebih suka Frozen daripada Ariel, Ma. “Kan gue lebih suka Frozen.” “Terserah lo, deh, ke bawah yuk. J.Co,” ajak Nurma sambil menaruh kotak action figure ke tempat semula. “Yuk.” Gian berdiri dan mengepak dompet serta ponsel di tangannya. Dia dan Nurma harus lembur hari ini. Gian sih maklum. Dia masih baru di sini, jadi wajar kalau semua pekerjaan ditumpuk untuknya. Apalagi market analyst yang lain sedang cuti melahirkan. Jadilah hanya tinggal satu market analyst saja. Itu pun Gian yang notabene masih karyawan baru. Dan kalau dibandingkan dengan berapa brand yang perusahaannya punya, rasa-rasanya tak mungkin Gian harus menanganinya sendiri. Makanya, selama rekan kerjanya cuti, Nurma yang sedikit-sedikit membantu Gian. Di sofa tamu kantor, Nurma dan Gian bertemu dengan Satrio yang sedang duduk sambil menyadarkan kepala di sandaran sofa. Posisinya setengah berbaring dengan lengan yang menutupi matanya. Jam memang sudah menunjukkan pukul 18.43 petang. Wajar kalau dia bebas berbaring di sofa kantor begitu. Memang siapa yang mau bertamu ke kantornya di malam hari begini? “Kenapa, Sat?” Nurma duduk menjejeri Satrio. Sedangkan Gian berdiri canggung di samping Nurma. Meski sore tadi ia terlibat obrolan seru dengan Satrio, tapi saat melihat wajah Satrio yang begitu keruh, Gian jadi sedikit takut. Apa ini ada hubungannya dengan apa yang dia lihat tadi siang? Wajah Nurma mendekati Satrio sambil mengendus-endus. Duh, Nurma ini cewek model apa sih sebenarnya? Dia spontan, galak, tapi juga setia kawan. Itu saja yang bisa Gian tebak. Tiba-tiba Nurma berseru agak keras. “Ih, Satriooo! Lo ngerokok ya?!” Satrio mengalihkan matanya ke arah lain sambil mendorong pipi Nurma agar wajah Nurma menjauh dari badannya. Lagi-lagi Gian merasa canggung kala Satrio malah mengalihkan pandangan padanya. “Sat, jawab ih! Lo ngerokok ya?” “Emang kenapa sih, Ma. Gue bukan anak di bawah umur, ya bebas kan mau ngerokok.” “Tapi kan, lo nggak pernah ngerokok lagi, Sat, sejak ... sejak....” Nurma terlihat ragu melanjutkan perkataannya. “Sejak apa? Sejak gue sama Siwi? Udahlah, toh gue udah nggak sama Siwi.” It’s out from Gian’s league. Dia benar-benar merasa jadi stranger. Namun, saat Gian hendak pamit melanjutkan pekerjaannya saja, lift yang tak jauh dari sofa tersebut terbuka. Seorang perempuan keluar dari lift tersebut. “Ma, ada....” Perempuan itu menghampiri Nurma, tapi kala melihat Satrio tiba-tiba dia membungkam mulutnya. “Kenapa, Wi?” tanya Nurma sama-sama kikuk. Satrio mematung di tempatnya duduk. Melihat wajah Siwi mengingatkan Satrio dengan pelukan erat yang Siwi berikan untuk laki-laki lain siang tadi. Gian sendiri masih berdiri di tempatnya semula sambil menoleh ke arah Siwi. Tak ada sapaan berarti yang diberikan padanya untuk Siwi begitu sebaliknya. Hanya senyuman sopan yang Gian sunggingkan saat Siwi menatapnya. “Emh, ada—” “Siwi!” Mereka berempat sontak menoleh ke dalam. Rockey muncul dengan paper bag kecil. “Nah itu, orangnya. Makasih ya, Ma.” Siwi berjalan menjauh dan menghampiri Rockey. Satrio memperhatikan dalam diam. Siwi menerima sodoran paper bag yang entah berisi apa dari Rockey. Kemudian mengobrol seru sambil dengan Rockey. Dalam hati Satrio berucap perih, kalau Rockey aja bisa, kenapa aku enggak, Wi? Saat Siwi berbalik, Rockey juga berbalik masuk ke kantor. Sampai di depan lift, Siwi berujar. “Makasih ya, gue duluan, Ma.” Siwi beralih menatap Gian sambil tersenyum sopan dan menganggukkan kepala. “Mbak.” Dia beralih lagi pada Satrio. Dengan ragu dia berucap, “Duluan, Sat....” Setelahnya, tubuh mungil itu menghilang di dalam lift. Gian cukup pandai untuk tahu apa yang baru saja terjadi. Gian ingat siapa perempuan itu, dia perempaun yang tadi siang dilihatnya di pelataran kantor bersama Satrio. Lalu, Nurma dan Satrio juga sempat menyinggung-nyinggung soal Siwi. Jadi dia yang namanya Siwi. Dia mantan pacarnya Satrio? “Jangan sedih dong, Sat, menye banget sih. Ikut gue sama Gian ke bawah yuk.” Nurma memaksa Satrio dengan menarik lengan Satrio kemudian membimbingnya berjalan bersamanya dan Gian. Jadilah malam itu berakhir dengan mereka duduk bertiga di kedai. “Aldi sama Fian makin deket aja ya,” komentar Nurma kala melihat Aldi dan Fian yang melintas di lobi kantor dari dalam kedai. Nurma dan Gian ikut menoleh pada apa yang Nurma perhatikan. Memang kalau Gian perhatikan sejak dia ada di kantor ini, dua orang itu memang lengket sekali. Memang sih di kantornya itu tidak ada larangan mempunyai hubungan sesama rekan kerja. Tapi ya kalau sudah nikah, tetap saja harus ada salah satu yang resign. “Biarinlah, nggak ngerugiin kita juga.” Satrio membalas. “Berabe, Sat, kalo akhirnya sama kayak elo. Nanti yang cewek minggat ke luar negeri lagi.” Nurma tergelak di akhir. Lagi, Gian tak paham dengan maksud Nurma. Bukannya mantannya Satrio yang tadi? Terus siapa lagi yang kabur ke luar negeri. Satrio mendengus keras. Dia abaikan ledekan Nurma dengan mengunyah donatnya kasar. Sebenarnya hiburan juga buat Gian melihat wajah sebalnya Satrio. Tapi mau tertawa pada Satrio rasanya kurang sopan untuk ukuran karyawan baru yang masih belum akrab dengan Satrio seperti Gian. “Tapi kan, Sat, kata Fian sebenarnya Ninda itu masih di Jakarta tahu, Sat. Dia belum berangkat ke Melbourne.” “Emang urusan gue?” tanya Satrio sarkas. “Terus lo pernah bayangin nggak, kalo lo ketemu sama Ninda lagi. Misalnya Ninda ke sini karena mau makan siang sama Fian gitu.” “Gue balik nih ya, Ma.” “Eh, oke-oke. Baper banget sih, Sat.” Nurma terkikik puas. “Diem-diem aja, Yan. Keselek donat apa gimana?” Nurma beralih pada Gian dan Satrio kembali duduk. Gian meringis. Ke-gap juga kalau sedari tadi Gian hanya menjadi sider. “Ya habisnya gue nggak paham kalian ngomongin apa,” jawab Gian jujur. “Tuh kan, Gian nggak paham. Jangan ngobrolin itu-itu lagi, Ma. Swipe up deh, ganti topik lain.” “Apa ya?” Nurma berpikir. Gian tergelak melihat dua temannya yang terlihat berpikir keras demi mengganti topik pembicaraan. “Aneh. Justru kalo dipikirin gitu malah nggak nemu topik yang asik kali.” “Wah, iya, Sat, b**o banget sih kita.” “Ya elo, yang b**o. Gue sih enggak ya.” Gian tersenyum. Satrio begitu cepat mengubah raut mukanya. Dari yang keruh, kemudian sebal, dan sekarang konyol banget. “Ngomongin world cup aja gimana, Yan,” ucap Satrio sambil menaik-turunkan alisnya pada Gian. “Nggak, nggak. Ogah ya ngomongin bola. Ngebosenin tahu enggak.” Nurma lebih dulu menyanggah. “Tapi kan buat gue sama Gian nggak ngebosenin, Ma.” “Kan gue yang ngajak lo ke sini. Bukan Gian. Lagian, Yan, emang lo paham ngomongin bola?” Gian mengangguk antusias. Melihat anggukan Gian, Nurma menepuk keningnya gemas. “Lo itu aneh banget sih. Suka mainan anak kecil, sekarang suka sama bola yang--sumpah, Yan, kenapa harus bola gitu?” “Emang kenapa? Asik kok ngomongin bola, Ma,” respons Gian. “Tapi—ah, gue nggak tahu mau ngomong apa sama lo, Yan. Lo terlalu extraordinary.” “Hahaha. Enggaklah, lebay banget sih lo.”   ***   Gian yang baru saja datang duduk di kursinya. Nurma di sampingnya tengah memoles alis. Perempuan itu memang selalu tampil ‘gundul’ setiap datang ke kantor. Dia baru make up saat tiba di kantor. Nggak tahu apa kesibukannya di rumah sampai nggak sempat memoles wajahnya sendiri di rumah. Pernah sekali Gian tanya, mungkin saja Nurma punya balita di rumah, yang menyebabkan dia jadi nggak sempat mengurusi dirinya sendiri. Namun, bukan jawaban yang Gian dapat, malah jawaban dengan nada sinis dan galak dari Nurma. Dan dari Aldi juga, Gian tahu kalau Nurma adalah seorang janda. Satu kenyataan yang sangat menohok dirinya sendiri. “Cake, Ma.” Gian menaruh tupperware di antara mejanya dengan meja Nurma. Nurma melirik sekilas lalu berdeham mengiyakan. Gian beralih meraih ponselnya dan mengirimi pesan pada Mbok Imah, dan menanyakan kabar Salsa. “Tumbenan lo pake celana?” “Hah?” Gian menyimpan ponselnya segera dan menoleh pada Nurma yang sedang mencomot cake yang dia bawa. “Itu lo tumbenan pake celana, biasanya rok. Oh ya, bikin apa beli nih cake nya?” “Oh, tadi malem beres-beres lemari terus nemu celana kerja, jadi pengen pake. Buat itu gue, orang rumah kepengin.” Nurma mengangguk. Kemudian mengambil potongan keduanya. Gian ikut-ikutan mengambil kue dan melapisi dengan tisu. Biar minyaknya nggak menempel di tangan. “Aneh ya, Ma, gue pake celana?” Sudah lebih dari seminggu dia di sini, Gian memang selalu datang ke kantor dengan rok span. “Coba diri.” Gian menuruti Nurma. Memundurkan kursinya dan berdiri. Mata Nurma memindai Gian dari atas ke bawah lalu dari bawah ke atas lagi. “Cakep kok. Makin kelihatan jenjang lo. Soalnya celananya slim fit kan. Mana sepatunya 7 senti gitu.” Gian menyengir. Kemudian duduk di tempatnya lagi. “Lo udah punya suami ya, Yan?” Uhuk! Astagfirullah, Nurma. “Kenapa lo ngomong gitu?” Gian mengucap dengan perih di tenggorokan karena tersedak kunyahannya sendiri. “Orang rumah minta bikinin kue. Apalagi dong.” Gian tersenyum kecut. “Orang rumah nggak cuma suami ya, Ma. Pembantu juga orang rumah. Enggak, gue nggak bersuami kok.” “Belum,” ralat Nurma. “Udah pernah kok,” celetuk Gian. Maka kali ini giliran Nurma yang terbatuk. “Maksud lo apaan sih?!” “Udahlah lupain. Gue mau ke pantry dulu bikin teh. Ikut nggak?” Tak mendapat respons dari Nurma, Gian akhirnya berlalu sendirian ke pantry. Sampai di pantry hanya ada dia sendiri. Dia bersandar pada meja sambil menunggu air yang dia panaskan mendidih. Kemudian Gian menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Mengembuskan napas kasar sesaat setelahnya. “Sabar, Giandra, sabar,” ujarnya menyemangati dirinya sendiri.   ***   “Lo kenapa gelisah begitu? Kayak nunggu pengumuman SBMPTN aja lo.” Gian mengurut keningnya. Sore ini dia memang gelisah, sangat gelisah. Bagaimana tidak, barusan Mbok Imah mengabarinya kalau Salsa tiba-tiba muntah sejak pulang sekolah dan badannya panas. Bagaimana Gian tudak shock. Dan kenapa juga Mbok Imah baru mengabarinya sekarang? Padahal Mbok Imah bisa memberitahu Gian sejak siang tadi. Mana kerjaannya lagi banyak banget dan nggak bisa ditinggalin. “Gue ... tuh—nggak tahulah, Ma.” Tanpa sadar Gian membanting mouse-nya pelan. Dia meraih ponsel di laci mejanya. Kemudian mengirimkan pesan pada Mbok Imah.   Giandra : Tanyain Salsa, mbok, dia mau dibeliin apa. Nnt biar aku sekalian beliin pas pulang kantor.   Beberapa menit kemudian, balasan dari Mbok Imah muncul.   Mbok Imah : Katanya pengin ayam goreng KFC, Mbak.   Gian merutuk pelan. Anak itu bisa-bisanya. Sudah tahu sakit malah minta beliin junk food. Baru saja Gian mau menelepon, tapi Aldi sudah menghampiri kubikelnya. Mau tak mau, Gian batal menelepon orang rumah. “Kenapa, Di?” “Ikut gue ke tempatnya Satrio yuk.” “Kenapa emang?” “Ada penurunan penjualan sama brand yang dipegang satrio. Lo kan market analyst. Satrio minta kita bahas ini. Gue marketing-nya, lo analyst-nya. Yuk ke sana udah tungguin soalnya.” Tuhkan! Satrio malah menambahi lagi pekerjaannya. Padahal Gian ini sudah homesick banget. Nggak sabar untuk lihat keadaan rumah yang sebenernya. Tapi Gian bisa apa. Dia ini cuma cungpret yang baru gabung di sini. Menolak itu nggak ada di SOP-nya. Sampai di ruangan Brand Manager, ada Satrio yang tengah sibuk dengan laptopnya. Ada dua orang lain juga di sana. Mereka tersenyum pada Gian dan Aldi yang baru masuk ruangan. “Duduk, Yan, duduk, Di.” Satrio mempersilakan Aldi dan Gian duduk di kursi di hadapan mejanya. Kemudian dia juga menarik kursi dari rekan kerjanya yang lain. “Mau ke ruang meeting kan, Mas? Kursinya gue pinjem ya?” Mas Bari mengangguk. “Kenapa nggak di sofa aja sih, Sat?” tanya Mas Bari sambil membereskan laptop dan berkas-berkasnya. Nampaknya para Brand Manager memang lagi sibuk banget. “Udah di booking sama Mbak Maria.” “Booking? Lo mau anuan di situ, Mar?” tanya Mas Bari jahil pada wanita lain yang ada di ruangan itu. “Anjir.” Maria melempar Bari dengan botol minumnya yang masih tersisa setengah yang tepat mengenai lengan atas Bari. Sambil tertawa keras, Bari pergi ke ruang meeting. Padahal jam hampir menunjukkan pukul 5 sore. Dan Mas Bari masih ada meeting dengan timnya. Lalu apa bedanya dengan Gian, dia juga sama saja. “Sorry ya, gara-gara gue jadi bikin lembur.” “Halah kayak sama siapa aja lo.” Aldi menjawab pernyataan tak enak dari Satrio. “Gue nggak ngomong ke elo. Gue ngomongnya ke Gian ya.” Gian terkikik melihat interaksi kedua sahabat itu. Lucu memperhatikannya. “Jadi gini, brand yang gue pegang itu ada penurunan penjualan selama tiga bulan belakangan ini.” Kemudian Satrio memelankan suaranya. “Katanya sih ini yang bikin Mas Iyo dipindah ke produksi. Katanya dia sering bikin kasus kayak gini. Terus gue sebagai penggantinya malah yang suruh tanggung jawab.” Satrio menegakkan lagi badannya dan kembali bersuara dengan normal. “Padahal gue ada rencana mau naikin ke pasar yang lebih premium, tapi malah ada penurunan penjualan. Menurut data lo, ada masalah di pasar apa gimana, Yan? Terus, Di, marketing-nya gimana? Apa kita perlu bikin event atau iklan lagi biar ningkatin awarness costumer sama produk kita?” Gian beralih dari layar laptopnya kepada Satrio. “Nggak ada yang salah kok. Dari risetnya Mbak Indah juga. Pasarnya masih begitu-begitu aja tuh.” “Ada saingan sama brand lain gitu?” Gian menggeleng. “Nothing. Lagian produk lo ini kan first brand. Banyak produk baru juga nggak ngaruh-ngaruh banyak juga sih. Mungkin promosinya.” “Enggak kok, marketing-nya nggak masalah, Bu Siska juga fine-fine aja. Sales lo kali, Sat, yang bermasalah. Kalau bikin event gue masih belum berani. Soalnya budget lagi kekuras buat produk barunya Mbak Maria kan. Iya nggak, Mbak?” Maria yang sedang meeting juga dengan timnya mengangguk samar. “Kalau iklan gimana? Kita nggak usah pake budget gede. Kan cuma nambah awarness aja. Takut-takut nih, kalau turun terus ini produk jadi second brand lagi. Kan bonus buat gue juga berkurang.” “Dasar!” Aldi mengetuk ubun-ubun Satrio dengan bolpoin. Satrio tertawa renyah karena hal itu. Entah kenapa, mata Gian terpaku melihat tawa Satrio. Wajah yang biasa dirundung mendung kini tertawa renyah. Ah, Gian mikiran apa sih. Kayaknya dia memang beneran lagi kesambet nih. Duh, Yan, kerja jangan ngaco. Inget Salsa sakit di rumah. Dia nunggu lo pulang.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD