It's About My Ex

2962 Words
2018 Satrio menaruh lagi laptop ke atas meja. Dia baru saja kembali dari ruangan Bu Siska setelah Bu Siska menyelesaikan meeting internal dengan Satrio. Satrio berpindah posisi menjadi Brand Manager. Ruangannya beda, mejanya pun berbeda. Satrio kini berbagi ruang dengan dua Brand Manager lainnya. Yang tentunya lebih senior daripada dia. Setelah itu, Satrio keluar dari ruangannya dan langsung menghampiri meja Adrian. “Aldi mana?” tanyanya pada Adrian ketika melihat meja Aldi kosong. Padahal jam masih menunjukkan pukul 11.43 siang. Sangat nggak mungkin kalo Aldi sudah turun duluan. “Ke pantry tadi,” jawab Adrian kemudian menyusul Satrio berdiri. “Yuk.” Dia menepuk pundak Satrio. Keduanya kemudian berjalan beriringan menuju pintu keluar ruangan Marketing and Sales. “Nah itu anaknya,” ujar Adrian saat melihat Aldi masuk bersama dengan seorang perempuan berambut pendek lurus sebahu. “Turun sekarang?” tanya Aldi ketika menyejajari Adrian dan Satrio. “Iye, nyusul aja, Di. Gue sama Adrian duluan,” jawab Satrio. Matanya tak sengaja berpapasan dengan perempuan yang bersama Aldi, kalau tidak salah namanya Gian. Satrio baru sekali mengobrol beberapa hari lalu ketika berada di mesin fotokopi. Adrian dan Satrio kembali melanjutkan langkah mereka. Mengobrolkan soal piala dunia yang memang lagi hype banget sekarang. Apalagi kalahnya Jerman dari Korea Selatan semalam. Satu hal yang bikin Satrio rada lemes hari ini. Jagoannya, si juara bertahan, akhirnya kejegal juga sama yang katanya ‘Kutukan Juara Bertahan’. Duh rasanya Satrio nggak mau berangkat kerja. Untung sumbunya nggak sependek fansnya Messi yang sampai bunuh diri karena lihat jagoannya kalah 3-0 dari Kroasia. Alhamdulillah, Satrio masih punya iman yang kuat. “Gimana sih, Sat, jagoan lo kok melempem sih.” Pada akhirnya Adrian membuka juga topik itu, topik yang mati-matian Satrio hindari karena patah hati. “Neuer harusnya nggak usah jadi kiper dia, jadi penyerang aja. g****k banget sih. Anjir!” “Jangan gitu. Lo kalo jadi dia paling juga udah kebobolan sepuluh kali. Mulut kalo nyablak mikir-mikir juga, Coy, lo bisa nggak melebihi orang yang lo ejek itu. Mulut jangan kayak jari netizen, Coy,” respons Satrio yang gemas dengan komentar Adrian. “Anjirlah.” Adrian tertawa keras. Obrolan itu masih berlanjut sampai ketika mereka masuk ke dalam lift bersama beberapa orang lainnya. “Nggak mau belok dukung Inggris aja, Bro? 6-1 loh laga terakhirnya.” Satrio mendengus. Terus saja Adrian menggodanya. “Gue mau dukung Mesir aja. Ada Mohamed Salahnya.” Adrian makin tergelak. “Udah out, Bro, anjir?” Beberapa bapak-bapak yang ada di lift yang sama juga ikut tergelak. “Lagian lo demen sama Ramos kok dukung Salah. g****k jan dipiara, Sat. Jomblo boleh, g****k jangan.” “Jomblo boleh. Yang penting Real Madrid juara Liga Champion,” balas Satrio tak mau kalah dengan Adrian. Kemudian Mas Adit ikutan berkomentar. “Kalah ya, Sat, ha ha. Jalan juga kutukannya ke Jerman.” “Iya, Mas. Bikin senewen jadinya.” Ah, sudahlah. Satrio pengin banget menyudahi pembicaraan ini. Dia masih patah hati. Membahas hal ini nggak baik untuk keberlangsungan semangat Satrio dalam bekerja. Masih banyak banget rencana project yang harus dia tangani demi larisnya brand yang dia pegang. Stop, Yan, please!! “Udah ditinggal mantan-mantannya, sekarang jagoannya kalah. Merana banget sih idup lo, Sat.” Mendengar ucapan Adrian, Satrio meradang. Maka ketika lift berhenti di lobi, Satrio sengaja menjegal Adrian. Membuat Adrian mengumpat keras karena hampir terjungkal. Untungnya bahu Mas Adit di depannya cukup kuat buat dijadikan tumpuan. Satrio menyengir puas ketika melihat wajah sebal dan memerah milik Adrian. Singgung-singgung mantan di depannya Satrio, ya Satrio baleslah sama yang lebih kejam. Kemudian mereka menunggu turunnya Aldi. Sejak kejadian ‘itu’, Rockey memang tak lagi merapat pada mereka. Rockey lebih memilih untuk merapat ke kubu sebelah, kubunya Mas Adit dan para sesepuh lainnya. Kalau ngomongin soal kubu cewek, Nurma, Audrey, dan Fian kini juga dapat personil baru. Perempuan manis yang namanya Gian tadi. Beberapa menit kemudian, Aldi turun dengan para cewek-cewek. Mereka pun menghampiri Satrio dan Adrian. Kesemuanya segera berjalan menuju belakang kantor. Adrian dan Satrio memimpin di depan. Sedangkan di belakangnya ada Aldi dan Fian yang memang sedang dalam masa pendekatan. Pada akhirnya Aldi kejegal juga sama pesona rekan kerjanya. “Makan di mana nih kita?” tanya Nurma di barisan belakang. “Padang?” sahut Aldi. “Nggak,” tolak Satrio langsung “Kenapa lo, biasanya juga Padang?” “Nggak boleh sama Siwi. Kolesterol.” Sorakan langsung menggaung di antara mereka. “Deuuu! Udah mantan, Mas, inget lu,” komentar Nurma kompor. “Masih inget aja pesan sang mantan,” tambah Adrian. Orang yang satu ini memang rada berengsek. “Kemarin ketemu di depan Padang. Terus dia bilang jangan banyak-banyak makan padang. Kolesterol. Lo pada mau kena kolesterol?” Tak memedulikan jawaban pembelaan dari Satrio, mulut Nurma kembali mengompori. “Akankah cinta lama bersemi kembali, Mas Gagah?” “Gagah perkasa kali, Ma.” Aldi tak mau kalah. Mulut mereka merepet bak knalpot motor kampanye. Hanya Gian, Fian, dan Audrey yang belum berkomentar. “Kan namanya Satrio Gagah Pratama. Gimana sih lo, Di.” “Kalo yang di sini aja diinget, gimana sama yang di Melbourne, Mas?” Duaaar!!! Audrey sekalinya berkomentar memang langsung dying inside banget. Satrio kelu. Kalau tadi dia masih bisa biasa saja meski kesal. Kali ini otaknya memaksa untuk mengingat kembali kenangannya bersama Ninda. Kurang ajar memang Audrey. “Deep, Drey. It hurt me,” seru Adrian sambil memegangi d**a kirinya seolah tertusuk panah Katniss Everdeen di The Hunger Game. Satrio tak mendengarkan ocehan tak penting teman-temannya. Otaknya memproyeksikan kilasan-kilasan bersama Ninda. Bagaimana mereka dulu harus menghabiskan waktu kencan sampai ke Tangerang hanya untuk menghindar dari kemungkinan bertemu dengan orang-orang kantor. Namun sekarang lihatlah, semua akses sosial medianya diblokir oleh Ninda. Satrio tidak tahu apakah Ninda benar-benar masih berada di sini atau memang sudah berada di Melbourne. Sudahlah, tak ada gunanya juga menyesali masa lalu. Mereka akhirnya memutuskan untuk makan ayam geprek di sebelah warung padang. Sambil menunggu gepreknya di antarkan, Adrian dan Aldi kembali beraksi. “Di, kutukannya terbukti tokcer loh.” Adrian memulai. “Wah, iya nih, Yan. Harusnya ganti kiper aja ya. Mabok Neuer, setahun cidera, langsung dapet pildun,” sahut Aldi. “Mana kalahnya dari Korea lagi ya. Untung gue favoritnya Inggris, Di.” Nurma, Audrey dan Fian terkikik melihat wajah sebal dan memerah Satrio. Semua tahu kalau Satrio menjagokan Jerman di Piala Dunia. “Jagoan gue juga kalah duluan, Njir.” “Siapa emang?” “Peru!” “Bacot lo pada.” Satrio memukul meja pelan dan berdiri. Menyusul Gian yang sedang mengisi minum di gelas besar. Warung geprek di deket kantor mereka memang bebas mengambil minum sendiri. Satrio mengambil gelas besar dan berdiri di samping Gian yang sedang mengisi minum juga. Satrio mengisi minum dari dispenser satunya. Tak ada pembicaraan antara mereka. Satrio sudah malas duluan karena ulah kedua temannya yang seperti petasan betawi mulutnya. Harusnya mereka menghibur Satrio yang sedang desperate. Bukan malah makin menambah beban moral Satrio. Gian kembali lebih dulu. Kemudian orang berganti dengan Aldi. Satrio baru akan meninggalkan Aldi, ketika Aldi mengajaknya bicara serius. “Kaku banget sih sama Gian.” “Kaku gimana?” Satrio menghentikan langkahnya. Aldi mengisi minumnya. “Ya gue lihat seminggu ini kalian nggak pernah ngobrol. Treatment-nya beda sama Ninda dulu. Trauma ya?” Awalnya Satrio kira Aldi mengajaknya bercanda. Tapi melirik dari raut Aldi, rasa-rasanya Aldi tidak sedang bercanda. “Jangan kaku-kaku amat lah, Sat. Lo sekarang rada beda kalo lagi sama kita-kita. Gue sampe takut kalo lo kesambet tahu enggak.” Apa memang seperti itu? Apa benar Satrio berubah? Dirinya sendiri saja tidak tahu kalau dia berubah. Namun, kejadian sebulan lalu, mau tak mau memang memaksa Satrio untuk terus merasa bersalah pada Ninda dan Siwi. Apalagi kalau Satrio sedang sendirian, rasa-rasanya otaknya langsung terprogram untuk memutar keberengsekan Satrio di masa lalu. Satrio beranjak ketika Adrian juga datang hendak mengisi minum. Dia kembali ke meja ketika Nurma dan Gian sedang mengobrol seru. “Gue nggak tahu, Ma. Nggak pernah ke bioskop.” “Kenapa?” tanya Nurma. Satrio diam-diam mendengarkan sambil memainkan ponsel. Bukan mau nguping tapi memang obrolan mereka sendiri yang tertangkap oleh Satrio. “Nggak sempet. Di rumah gue emang sibuk banget.” “Kenapa? Ada usaha di rumah?” Satrio mengangkat kepalanya ketika Gian tak kunjung menjawab. Gian malah tersenyum sungkan pada Nurma sebagai jawaban. Paham kalau Gian enggan menjawab, Nurma akhirnya mengajak Audrey mengambil minum. Kemudian Aldi datang dengan dua gelas minumnya. Ternyata dia juga mengambilkan segelas untuk Fian. Melihat mereka, Satrio jadi merindukan saat saat maksibarnya bersama Siwi. Momen yang rasanya tak mungkin lagi terjadi. Siwi saja baru mau bicara lagi dengannya kemarin setelah sebulan membungkam mulut dari Satrio. Itu pun cuma sekilas saja. “Jangan sering-sering makan padang, nanti kolesterol.”   ***   Selepas melaksanakan salat jum'at bersama teman-temannya di masjid Energy Building, Satrio berjalan beriringan dengan Adrian dan Aldi kembali menuju gedung kantor. “Laper nih gue,” ucap Adrian sambil menepuk-nepuk perutnya. “Gado-gado, Yan?” sahut Aldi sambil menarik-turunkan alisnya. Adrian membalasnya dengan mengangguk semangat. “Lo mau makan apa, Sat?” Adrian bertanya pada Satrio yang dari tadi diam sambil memandangi kakinya. “Gue mau seblak aja.” “Wah, Satrio mau cari cewek nih. Nongkrongnya di warung seblak sekarang.” Gerobak seblak di depan kantornya yang berjejer dengan gado-gado memang ramai dengan pembeli-pembeli yang memakai rok span dan ber-high heels. “Siap turun ke pasaran, Sat?” “Apaan sih.” Satrio mendahului Adrian dan Aldi ke depan gedung kantornya. Jam sudah menunjukkan pukul 12.35 siang, makanya gerobak terlihat sepi. “Satu porsi, Mbak, yang komplit.” “Antri dua porsi bentar ya, Mas.” Satrio mengangguk, kemudian sambil menunggu dia memainkan ponselnya. Membaca-baca artikel soal piala dunia. Sejak putus dari Ninda dan Siwi, sama sekali tak ada perempuan yang dekat dengannya. Lagi pula kejadian itu juga baru berlalu sekitar satu bulan yang lalu. Kalau tak ada kejadian yang lalu, mungkin akan sangat mudah buat Satrio untuk mendapatkan perempuan baru. Namun, setelah apa yang terjadi pada Siwi juga kepergian Ninda ke luar negeri, Satrio jadi trauma. Ah, bukan trauma untuk mendekati perempuan atau trauma patah hati. Namun, trauma akan menyakiti perempuan lagi. Satrio takut dia kembali menjadi laki-laki berengsek lagi. “Udah jadi belum, Mbak, yang dua tadi?” Satrio mengangkat kepalanya saat mendengar suara tersebut. Suara Siwi. Satrio memandang punggung Siwi. Siwi yang hari itu memakai kemeja putih lengan pendek yang dimasukkan ke rok span warna abu-abu dengan stiletto tinggi. Siwi yang dulu selalu memelototi Satrio kala Satrio menggandeng tangan Siwi sembarangan di kantor. Atau saat Siwi keseleo dan meminta tolong pada Satrio untuk mencarikannya sepatu. Pada akhirnya, sepatu yang dicarikan Satrio tak dipakainya juga. Siwinya, tapi itu dulu. Sekarang tak lagi. Siwi tetap Siwi dan Satrio juga tetap Satrio. “Nah, kebetulan punya Masnya juga udah selesai ini.” Satrio tersadar ketika sebuah plastik bening muncul di depan mukanya. Dia tersadar kemudian mengalihkan pandangan dari penjual seblak dan pelan-pelan beralih ke Siwi. Siwi juga tengah menatapnya. Lalu, saat mata mereka bertemu Siwi segera mengalihkan netranya. Sadar Siwi masih menghindarinya, Satrio pun berdiri dan menerima seblaknya. “Berapa, Mbak?” tanya Satrio. “Lima belas, Mas.” Saat Satrio mengambil uang dari dompetnya, penjual seblak kembali beralih pada Siwi. Ternyata sedari tadi Siwi menunggui kembalian dari penjual. Sadar Siwi sudah mulai beranjak, Satrio menarik asal uang 20 ribuan. “Kembaliannya buat Mbak aja.” “Seriusan, Mas?” “Iya.” “Waduh. Ma—” Malas berbasa-basi, Satrio meninggalkan gerobak penjual seblak. Dia mengejar Siwi yang sudah mencapai halaman kantor. “Siwi,” panggil Satrio sambil meraih pergelangan tangan Siwi. Siwi memang berbalik menatapnya, tapi gadis itu juga menarik tangannya dari genggaman Satrio. “Kenapa?” tanyanya dingin. Satrio menggaruk belakang kepalanya gugup. Sebenarnya dia juga bingung kenapa menahan langkah Siwi, dia hanya ... ingin berbicara dengan Siwi ... lagi. “Sat?” “Ak-aku—” “Siwi!” “Mas Handi!” Satrio mengikuti gerakan Siwi kala Siwi dengan semangat mengalihkan tatapan darinya ke seorang laki-laki yang memanggil Siwi di belakang Satrio. d**a Satrio serasa dihimpit dua tembok kala melihat Siwi menghampiri laki-laki itu kemudian memeluk laki-laki itu erat setelah bercipika-cipiki. Semuanya sudah berbalik, Siwi tak memilihnya lagi. Siwi sudah lelah memaafkan Satrio. Maka, atas dasar sadar akan kenyataan itu, Satrio menoleh ke depan, menghindari pemandangan yang membuatnya sakit mata. Sejak kapan Siwi mau pelukan di depan umum? pikirnya. Kala dia menoleh ke depan lagi, dilihatnya Gian yang tengah menatap Satrio juga. Satrio salah tingkah, Gian juga. Dia mengalihkan pandangan dari Gian, dari perempuan yang mungkin sedang menebak-nebak apa yang sedang terjadi dengan Satrio. Dia menoleh ke sebelah kanan, ada Adrian dan Aldi yang menatapnya dengan wajah prihatin. Satrio merutuk dalam hati. Jadi tontonan lagi.   ***   Gian baru saja tiba dari lobi saat mendapat kabar bahwa, paket pesanan action figure disney princess miliknya telah sampai. Gian memang memberi alamat kantornya, karena dia tahu paketnya akan sampai di siang hari, sedang di siang hari begini, rumahnya pasti masih kosong. Mbok Imah dan Salsa pasti sedang jalan-jalan. Gian menunggu Pak Kurir di depan lobi. Namun, sampai lobi, Gian malah mendapat pemandangan yang seharusnya tak dia lihat, dia melihat Satrio menahan tangan seorang perempuan cantik. Kemudian si perempuan berbalik menatap Satrio, lalu ada laki-laki lain yang muncul. Si perempuan kemudian beralih dari Satrio dan memeluk laki-laki yang baru saja datang dengan erat. Sampai-sampai perempuan itu harus berjinjit dan laki-laki dalam pelukannya harus sedikit menunduk. Gian dapat melihat raut tak keruan dari Satrio. Mukanya berubah mengeruh. Menatap Satrio terlalu lama, Gian sampai tidak sadar kalau Satrio tengah menatapnya juga. Duh, ke-gap lagi! Saat Satrio mengalihkan pandangan darinya, Gian juga mengalihkan pandangan. Merasa tak enak karena telah menonton kejadian itu. Pukul empat sore, Gian beralih dari mejanya menuju ke pantry. Matanya sedikit mengantuk karena mengurusi hasil riset pasar dari anak magang. Ada beberapa bagian yang kurang pas dengan hasil risetnya sendiri. Dia pergi ke pantry, menyeduh kopi kemudian duduk di meja pantry. Sejenak Gian ingin rehat dari banyaknya kerjaan dulu. Kemudian Gian mengeluarkan ponselnya. Tadi malam dia tidak sempat menonton piala dunia karena baru sampai rumah pukul 21.35 malam. Tubuhnya tidak cukup kuat untuk begadang sampai jam tiga pagi. Gian sampai tidak sadar kalau ada orang lain yang masuk ke pantry saking seriusnya dengan ponselnya sendiri. Dia mencebikkan bibirnya melihat result pertandingan antara Belgia dan Inggris semalam. “Ya ampun, Inggris kalah,” gumamnya cukup bisa didengar dengan suasana pantry yang hanya diisi dengan suara dari air yang sedang dipanaskan. “Suka bola juga?!” Satrio hampir memekik saat mendengar ocehan pelan Gian tentang hasil piala dunia semalam yang tak sesuai ekspektasinya. Gian menolehkan kepala karena merasa ada yang mengajaknya bicara. Di pantry ini hanya ada dia dan pria yang baru masuk yang Gian ketahui menjabat sebagai Brand Manager baru. Dia Satrio, laki-laki yang baru saja tak sengaja Gian campuri urusannya. Jadi dari tadi Satrio memperhatikannya ngedumal? Duh malu-maluin sekali. Gian menampilkan senyum canggungnya. Karena setelah Satrio berpindah ruangan, baru kali ini mereka berbicara lagi. “He he ... iya.” “Sampe begadang juga nonton laga semalem?” Kini Satrio duduk di samping Gian yang kemudian menaruh ponselnya dalam keadaan layar mati. “Piala dunia, who doesn’t? Tapi tadi malem lagi nggak nonton aja, biasanya nonton.” Gian mengangkat bahunya. Iya, memang siapa sih yang nggak nonton ajang sepak bola terbesar itu? “Favoritin siapa nih?” Satrio mencari bahan lain untuk mengajak Gian mengobrol. Dia merasa semangat begitu tahu kalau ada cewek di kantornya yang juga suka sama bola. Dulu Siwi nggak pernah suka kalau Satrio curhat soal resume tanding Real Madrid. “Argentina. Lo suka juga kan pasti?” “Ya cowok mana sih yang nggak suka bola? Tapi gue jagoin Jerman sih.” “Juara bertahan, huh?” Satrio mengedikkan bahunya. “Ya meskipun melempem juga, nggak masuk 16 besar, tapi kesetiaan gue ke Jerman nggak bisa dibeli.” Gian tertawa kecil mendengar penuturan Satrio. Satrio memperhatikan tawa Gian. Gian ini perempuan yang cukup bersemangat ternyata kalau sedang berbicara begini. Mengingatkan Satrio dengan Ninda yang dulu selalu membuatnya larut dalam keceriaannya. Ah, Ninda. Dia sudah bahagia di Austrlia sana. Harusnya Satrio tidak memikirkan Ninda lagi. Nggak boleh. Demi mengalihakn otaknya dari Ninda, Satrio kembali mengajak Gian mengobrol. “Pemain favoritnya siapa nih?” “La Pulga[1]!” jawab Gian semangat. Satrio mendengus. Cewek mana yang yang suka sama Messi. “Lo sendiri?” tanya Gian balik. Dia memandang Satrio yang meneguk kopi paginya. “Jangan bilang CR7[2]!” Satrio terbatuk. “Enggak. Gue demen sama Toni Kroos. Sergio Ramos juga boleh sih. Gue dua itu demennya.” “Hih, Ramos kan dihujat pas zaman final Liga Champion yang dia bikin Mohamed Salah cidera itu.” “Ya lo pikir Messi juga nggak dihujat pas nggak bisa golin pinalti ke Islandia.” Gian mendengus, benar juga. Tapi dia nggak terima idolanya dibegitukan. Kemudian Gian mengangguk. Sekarang dia bingung mau merespons apa lagi. Dia memang nggak cukup akrab dengan Satrio. Pertama, karena kini dia memang beda ruangan dengan pria itu. Dan tiap terjebak berduaan seperti ini, Satrio cenderung diam. Berbeda kalau sedang berkumpul dengan teman-temannya. Mulutnya bisa mendadak nyablak. Makanya Gian juga agak canggung. Sampai akhirnya Satrio kembali yang membuka tanya. “Kalo klub, Yan?” Gian menyengir. Harusnya Satrio tahu kalau Gian tadi sudah mention Argentina dan Messi sebelumnya, harusnya Satrio bisa menyimpulkan. “Barca?” tanya Satrio memastikan. Saat melihat cengiran Gian makin lebar, Satrio tahu kalau Gian benar-benar menyukai Lionel Messi. Sampai-sampai semua kesebelasan yang ada Messinya selalu difavoritkan oleh Gian. “Dasar. Penggila La Pulga.” Entah kenala Gian merasa senang mengobrol dengan Satrio. Dia tidak tahu kalau Satrio terkesan nggak peduli dengannya di saat Gian ikut berkumpul dengan teman-temannya, bisa seseru ini diajak mengobrol.   ***   1.       Lionel Messi 2.       Cristiano Ronaldo
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD