Prolog

763 Words
 Patah tumbuh, hilang berganti. Sepertinya hal itu nggak berlaku untuk cowok macam Satrio Gagah Pratama. Patah ya patah, Siwinya sudah patah dan tak mau Satrio patahkan lagi. Hilang ya hilang, Ninda sudah hilang dan Satrio tak tahu dia di mana. Tak ada yang tumbuh, tak ada yang berganti. Dua bulan berlalu semenjak kepergian Ninda dari kantor ini, membuat Satrio hidup terombang ambing di atas aliran air. Hanya tenggelam dalam pekerjaannya tak mau memikirkan hal lain. Meski sesekali masih sering keluar bersama teman-temannya seperti Aldi ataupun Adrian. Beruntungnya sejak kejadian hari itu, Rockey sama sekali tak merasa tersinggung akan tuduhan Satrio. Meski mereka sempat-sempatnya baku hantam lebih dulu. Satrio keluar dari toilet pria setelah menyelesaikan hajatnya. Dia baru saja kembali dari kunjungannya di kantor Cibinong bersama Bu Siska. Iya, akhirnya sekarang Satrio sudah punya jabatan baru yang lebih tinggi dari jabatan lamanya. Satrio kembali ke kubikel, kemudian menghidupkan komputernya. Satrio memang belum sempat pindah ke ruangan yang sudah disiapkan. Mungkin besok pagi. Adrian tengah meeting internal juga dengan timnya. Saat menunggu komputernya booting, Satrio menangkap flashdisk miliknya yang terbengkalai begitu saja. Ah, dia lupa, ada beberapa berkas yang harus segera dia print. Satrio pun beranjak dari duduknya. Sebelum sampai di meja printer yang terletak di sebelah mesin fotokopi di ujung ruangan, Satrio sempat mampir di kubikel Nurma. Mencomot biskuit cokelat milik perempuan itu. “Enak, Ma,” ucapnya di sela kunyahan. Sedang asyik mencomot lagi, tiba-tiba pintu divisinya terbuka. “Permisi.” Satrio meluruhkan pundaknya saat tahu siapa yang datang. “Kenapa, Wi?” Satrio mendengar suara Adit merespons Siwi. Sedangkan yang Satrio lakukan hanyalah tetap terdiam meski Nurma memandangnya jahil. “Ape?” desisnya pada Nurma. Sungguh, Satrio masih malu kalau harus berhadapan dengan Siwi. “Dapet kabar dari IT. Aplikasi buat apply lemburannya lagi eror. Jadi gue nganterin form fisik aja buat kalian yang mau apply lemburan. Nanti anter aja ke HR. Atau nanti ada anak magang yang bakal ambil ke sini.” Beberapa saat kemudian, Siwi meninggalkan divisinya. Riuh langsung melingkupi suasana ruangan. Apalagi celetukan Aldi yang kian membuat Satrio kesal, “Sat, disamperin mantan lho, Sat.” Satrio menutup toples milik Nurma. “Bacot lo, Di!” seru Satrio. Kini Satrio tahu semua yang ada di sana tengah menertawakannya. Merasa sebal dengan tingkah berengsek dari kawan-kawannya, Satrio pun beranjak ke meja printer. Ada seorang perempuan yang sedang menekuri mesin fotokopi. Satrio tak memedulikan hal itu, dia kira perempuan itu adalah Fian atau bisa juga Catlin. Satrio tak peduli dan tetap fokus pada mesin printer-nya. “Ih, kenapa sih nggak bisa?” Satrio menoleh kepada perempuan itu saat mendengar keluhannya sambil menepuk-nepuk badan mesin besar itu. “Kenapa?” tanya Satrio menghampiri. Satrio sedikit kaget saat melihat wajah perempuan itu. Dugaannya salah, dia bukan Fian ataupun Catlin, tapi perempuan lain yang tak Satrio kenal. “Eh ini, nggak tahu, nggak jalan masa,” jawab perempuan itu. Satrio akhirnya mengecek tombol-tombol di sana. “Misi ya,” ucapnya meminta ruang pada perempuan itu. Satrio menunduk dan membuka mesin fotokopi itu. Mengecek lagi penyimpanan-penyimpanan kertas di bawah. “Kok nggak pernah lihat ya,” ucap Satrio memecah keheningan. “Apa?” tanya perempuan itu. “Elo, kok gue nggak pernah lihat.” Satrio menjelaskan. Kalau dibilang anak magang, sepertinya bukan. Wajahnya too mature menurut Satrio. “Iya, hari ini masuk pertama kali di sini. Baru pagi tadi diputer sama HRD.” Ah, sekarang Satrio tahu siapa dia. Sejak dua bulan lalu posisi milik Ninda kosong. Hingga akhir-akhir ini ada desas desus yang mengatakan kalau pengganti Ninda akan segera terisi. Ternyata ini orangnya. “Masnya marketing juga?” tanya perempuan tadi. “Iya, lo anak baru yang di timnya Adrian bukan?” jawab Satrio sambil menarik kertas yang menyumbat di sana. Setelah bersih, Satrio menutup mesin fotokopi, berdiri dan mencoba mesin tersebut. Bisa!! “Bukan, saya market analyst.” Oh, bukan. “Udah nih.” Satrio menyingkir memberi perempuan tadi ruang. “Makasih ya. Oh iya, kenalin, saya Gian.” Perempuan tadi mengulurkan tangannya. Satrio pun membalasnya. “Satrio.” Melirik pada mesin printer-nya, Satrio melihat print out-nya sudah selesai. Satrio pun mencabut flashdisk miliknya dan memungut berkas print out. Berjalan keluar dari area itu. Sempat bercakap-cakap sebentar dengan Mbak Tita yang berada tak jauh dari situ. “Harus lapor GA sih, Mbak. Fotokopinya lodek mulu dari tadi.” Satrio merasakan pundaknya ditepuk. “Misi, Sat. Boleh saya lewat.” “Oh silakan.” Satrio pun menyingkir, memberi Gian jalan. Sepeninggalan Gian, Satrio menatap punggung gadis itu yang terus menjauh lalu duduk di kubikel miliknya.   ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD