CHAPTER 2

1525 Words
Falisha menyeka keringat yang berada di pelipisnya. Napasnya terdengar tidak teratur karena kelelahan. "Astaghfirullah, nggak kira-kira nih hukumannya." Glorine mengembuskan napas. Setelah membereskan perpustakaan, kini mereka sudah berada di lapangan untuk membersihkannya. "Kalo dipikir-pikir, salah kita apa, ya?" Seharusnya pertanyaan bodoh itu tidak dilontarkan. Lagi pula, semua orang pun tahu kalau mereka memang layak untuk mendapatkan hukuman ini atas segala perbuatan dan pelanggaran yang mereka buat. Dari sana terlihat Nathaya yang berjalan kembali setelah menyapu sisi kanan lapangan. Gadis itu terlihat begitu kelelahan, wajahnya sudah dibasahi oleh keringat. "Gue butuh istirahat!" kata Nathaya dengan lemah. Cathrine yang melihatnya jadi iba, padahal Nathaya adalah anak pemilik sekolah mereka, tapi gadis itu tetap mau menjalani hukuman tanpa adanya protes. Glorine melihat sekeliling, kemudian matanya tertuju pada salah satu kursi panjang koridor yang jaraknya lumayan dekat dengan lapangan. "Ayo, istirahat dulu aja di sana." Mereka mengikuti arah pandang Glorine. Melihat kalau tempat yang dimaksud Glorine adalah tempat yang terlihat adem membuat mereka buru-buru ingin ke sana. Mereka mulai berjalan bersamaan menuju tempat itu. Tidak ada lagi yang mereka inginkan selain rehat dan berteduh dari teriknya panas matahari. "SINI KAMU. JANGAN LARI KAMU, VEREL!" Falisha hafal betul suara itu, siapa lagi kalau bukan Pak Tono, yang sebelas dua belas keganasannya dengan Bu Dewi. "AWAS KAMU, YA!" Falisha tak berniat menoleh, matanya masih fokus pada kursi panjang koridor untuknya istirahat itu. Bahkan bisikan setan pun tidak dia hiraukan. Tolonglah, dia sudah sangat lelah dan sangat butuh untuk duduk. Karena demi apa pun, membersihkan perpustakaan dan lapangan yang luas ini sangatlah melelahkan. Brug Falisha membeku, dia merasakan rasa sakit yang begitu sangat familier. Mata Falisha langsung berkaca-kaca membayangkan bagaimana nanti bentuk bokongnya, apa akan bengkok, nonggeng, atau bahkan tidak simetris. Falisha sudah tidak dapat berteriak, bahkan untuk mengeluarkan sepatah kata pun dia tak bisa. Rasa sakit ini dua kali lipat lebih sakit daripada saat tadi pagi dia jatuh di lantai kamar. Kali ini, selain bokongnya yang sakit, sakit itu pun menjalar hingga ke kaki. "Gue nggak lumpuh, 'kan?" batin Falisha panik. Dia takut kalau saja jatuhnya kali ini akan tepat mengenai dan mencederai tulang ekornya. Laki-laki yang tadi tidak sengaja menabraknya langsung berjongkok di depan Falisha. Terlihat raut panik dari laki-laki itu ketika melihat kalau gadis di depannya hanya terdiam di tempat. "Hei, lo bisa lihat gue, 'kan?" tanya laki-laki itu dengan panik. Dia adalah Verel, pemilik nama yang baru saja dipanggil-panggil oleh Pak Tono tadi. "Lo dengar suara gue, 'kan? Lo masih bisa ngomong, 'kan?" tanya Verel lagi, dia benar-benar ingin memastikan. Dengan mata merah berkaca-kacanya, Falisha menoleh sinis menatap laki-laki itu. "Gue nggak buta, gue nggak tuli, dan gue juga nggak bisu!" Mendengar gadis itu bisa berbicara membuat Verel dengan refleks mengembuskan napas lega. Dia kira efek dari tabrakan tadi bisa membuat gadis itu jadi kehilangan penglihatan, pendengaran, bahkan kemampuannya untuk berbicara. Syukurnya hal itu tidak terjadi. "Sakit, ya?" Mata Falisha langsung melotot. Apa kata laki-laki itu? Bagaimana bisa dia masih bertanya sedangkan sekarang dirinya sedang menahan rasa sakit? Dasar laki-laki gila. Mungkin jika ini jatuh pertamanya di hari ini, rasanya akan biasa saja, tapi masalahnya, ini adalah jatuh keduanya di hari yang sama. Saat jatuh dari kasur saja b****g dan pinggang Falisha masih sedikit nyeri, dan sekarang, ditambah lagi dia harus jatuh untuk kedua kalinya di aspal yang tidak ada empuk-empuknya sama sekali. "Lo nggak bisa lihat kalo gue kesakitan?!" tanya Falisha terbawa emosi. Dia benar-benar sudah tidak bisa sabar lagi, suasana hatinya sudah memburuk. Laki-laki itu sedikit berjingit mendengar jawaban ngegas Falisha. Walaupun Verel juga memaklumi kenapa gadis itu jadi sangat sensitif. Verel berpikir sejenak, mencari solusi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dia memandangi gadis itu yang masih komat-kamit menggerutu. "Mau gue gendong ke UKS?" Itulah solusi yang dia pilih untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mata Falisha melotot tajam, dia menunjuk laki-laki itu dengan kesal. "Lo nggak usah modus-modus, ya, anj—" Verel membelalak, dia langsung memotong ucapan kasar gadis itu, "Sstt, perempuan nggak boleh kasar-kasar. Gue nawarin, nggak modus, nggak mau ya udah," ucapnya sambil menekuk pelan jari gadis yang menunjuknya. Falisha hanya mencibir, dia menepis tangan Verel. Setelahnya, dia mulai berusaha untuk menggerakkan kakinya yang jadi kaku setelah jatuh. Falisha meringis saat memegang bokongnya yang sakit. Merasa diperhatikan, Falisha menatap laki-laki itu lagi dengan tatapan sinis. "Ngapain lihat-lihat?! Hadap sana!" Verel berjingit lagi, dia buru-buru memalingkan wajahnya mengikuti perintah. Rasa bersalahnya sedikit berkurang ketika tahu kalau ternyata gadis itu masih ada energi untuk marah-marah begini. Falisha ngedumel dalam hati. Kenapa juga Dewi Fortuna tidak berpihak padanya hari ini? Bagaimana jika dia lumpuh? Bagaimana jika karena lumpuh, dia tidak bisa sekolah? Bagaimana dengan masa depannya? Falisha geleng-geleng membayangkan hal suram itu, dia kembali melirik laki-laki yang menabraknya. Verel mulai menoleh ke arah gadis itu lagi dengan perlahan. "Gue pijitin, mau?" "Nggak usah!" "Di sini ternyata!" seru suara berat pria dari belakang. Verel dan gadis itu dengan kompak menoleh, ternyata ada Pak Tono yang sedang berjalan menghampiri mereka. Pak Tono langsung menjewer telinga Verel tanpa ampun, membuatnya meringis kesakitan. "Mau ke mana lagi kamu sekarang?!” Verel meringis, jeweran Pak Tono sungguh tidak main-main. "Nggak ke mana-mana Pak, udah lepasin!" Falisha paham situasinya sekarang. Jadi, laki-laki itu sedang dihukum, terus kabur dan Pak Tono mengejarnya, di tengah pelarian, laki-laki itu menabrak dirinya yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah mereka. Wah, memang kejam sekali dunia ini. Jeweran Pak Tono mengendur ketika dia melihat seorang gadis yang sedang duduk itu sedikit meringis. "Kamu kenapa di sini, Cha?" Verel membuka suara untuk menjawab pertanyaan Pak Tono. "Nggak sengaja saya tabrak, Pak." Pak Tono mengembuskan napas, anak muridnya satu ini memang banyak sekali membuat ulah. "Tangung jawab dong!" "Udah ditawarin, tapi malah saya disuudzonin," sahut Verel mengadu. Pak Tono melepas jeweran di telinga Verel, membuat Verel merasa sedikit lega. "Ya udah, tolongin dulu!" Verel kembali berjongkok untuk menyamakan posisinya dengan gadis itu, bisa dilihat kalau gadis itu bersusah payah menolak untuk ditolong dari tatapannya. Tapi Verel tak peduli, Verel tetap menggendong gadis itu, seperti kata Pak Tono, dia harus bertanggung jawab. Sedangkan Falisha menggeleng sambil melotot memperingati dengan harapan laki-laki itu tidak perlu menggendongnya, tapi ternyata harapannya tidak sesuai dengan kenyataan. Kini dia sudah berada di gendongan laki-laki itu. Laki-laki itu menggendong Falisha ke UKS ala bridal style. Falisha memejamkan matanya, dia tak berani membuka mata, dia juga masih belum siap jika harus melihat seseorang dengan jarak yang cukup dekat begini. Beberapa murid yang melihat adegan ini dengan susah payah menggigit bibir mereka agar tidak berteriak saking envy-nya melihat kejadian uwu di depan mata mereka ini. Bahkan, Glorine yang sedari tadi melihat adegan ini tanpa skip kini menahan napasnya. Hatinya tidak cukup kuat untuk melihat adegan uwu secara live. "Tolongin gue, Cath. Gue nggak mimpi, 'kan? Itu Cacha beneran digendong sama cogan, 'kan?!" tanyanya sambil menarik-narik seragam Cathrine dengan heboh. Plak "Argh, sakit!" kesal Glorine sambil mengelus lengannya yang perih karena dipukul cukup kuat oleh Cathrine. "Itu tandanya nggak mimpi, bodoh!" Falisha mengintip sedikit untuk melihat wajah laki-laki itu. Sebelum makin kepergok, Falisha buru-buru menutup matanya kembali. Yang Falisha lihat hanya rahang laki-laki itu yang begitu tegas, alisnya tebal, hidungnya mancung juga ada anting hitam yang bertengger di telinganya. Merasa kalau gadis itu sempat melihatnya membuat Verel tersenyum tipis, apalagi setelah mengetahui kalau gadis itu sedang berusaha mengintip. Mereka masuk ke dalam ruangan putih, baru masuk saja aroma obat sudah menyeruak masuk ke indra penciuman mereka. Verel menidurkan Falisha di atas bangsal. Falisha sendiri sudah mengembuskan napas lega setelah beberapa waktu tadi dia harus bolak-balik menahan napasnya karena gugup. "Maaf, gue nggak sengaja," ucap Verel lagi, dia benar-benar jadi tak enak kalau begini. "Hm." Verel mengembuskan napas. "Ya udah, gue pergi." "Iya, pergi aja." Verel beranjak pergi keluar ruangan. Setelah menutup pintu, dia berpas-pasan dengan beberapa gadis yang dia kenal, sepertinya mereka teman dari gadis yang dia tabrak tadi. Verel tersenyum ramah pada gadis-gadis itu yang dibalas ramah juga. Setelah melihat Verel menjauh, buru-buru mereka langsung masuk ke dalam UKS untuk menemui Falisha di dalam. "Assalamu'alaikum, Ukhti," salam Glorine yang kepalanya menyembul dari pintu putih ruang UKS. Falisha yang sedang menyandar di kepala bangsal menoleh menatap siapa yang memberi salam, dia mengembuskan napas ketika melihat temannya. "Gimana? b****g lo lebih baik, 'kan?" tanya Cathrine iba melihat kondisi Falisha. Falisha mencibir. Bagaimana bisa bokongnya terasa lebih baik kalau saja dia kembali jatuh untuk kedua kalinya. "Makanya, lihat kanan-kiri dong kalo mau jalan!" peringat Nathaya. "Ck, orang dia yang tiba-tiba nabrak!" sahut Falisha yang tak terima disalahkan. Lagian, di sini itu dia adalah korban, mana bokongnya harus sakit begini, untung saja tidak ada masalah yang serius. "Tadi itu Verel yang temannya kembaran lo 'kan, Rein?" tanya Glorine pada Reina. "Iya, kemarin mereka baru main ke rumah." "Satnight kali ini kita ke mana nih?" tanya Cathrine tiba-tiba. Dia kembali mengisi pembicaraan setelah datangnya keheningan. Nathaya mengernyit. "Loh, emang nanti malam udah satnight, ya?" "Iya, ayolah kita pergi." "Atur aja, pokoknya gue ikut." "Gue juga." "Rine, lo atur, ya?" Glorine mencibir, tapi sudah biasa baginya untuk memilihkan tempat jika mereka ingin pergi bersama. Glorine lebih up to date daripada yang lain, dia juga yang paling aktif dalam berselancar di sosial media, makanya mereka selalu mengandalkan Glorine, karena pasti Glorine lebih tahu tempat bagus dan yang sedang kekinian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD