Lembah Ular

1345 Words
Wira tidak pernah mengira, setelah melewati prasasti kuno bertuliskan lembah ular tersebut mereka kembali harus menyusuri jalan setapak yang sama dengan jalanan sebelumnya. Dia sempat protes, tetapi barulah tahu kalau lembah itu ada di bawah. Dari atas, lembah itu terlihat seperti lubang yang besar, dinding kiri kanannya tampak seperti batuan kapur yang ditumbuhi oleh lumut serta tanaman pakis. “Pasti ada jalan untuk turun ke bawah sana, menurut keterangan peta ada jalan gak jauh dari sini. Ingat, waktu kita tidak banyak. Sebelum gelap kita harus segera menemukan gua yang dimaksud, karena kita berada di lembah ular, di mana mereka aktif pada malam hari, ular-ular itu akan keluar dari persembunyian dan dapat ditemukan di sekitar jalan yang kita lalui atau tepi jalan di sekitar rumput di bawah dedaunan kering, mereka biasanya sedang mencari mangsa. ” “Oke gue ngerti,” sahut Chandra. “Masalahnya menuruni tebing ini bagaimana caranya?” "Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk turun. Dek, lo bawa webbing kan?" tanya Alvian. Andraga mengangguk. Pelan-pelan keempat orang itu menyusuri jalan dan bertemu dengan stu celah yang mereka anggap adalah jalan menuju ke bawah. Satu per satu dari mereka turun dengan berpegangan pada tali. Dinding tebing yang berselimut lumut cukup licin untuk dipijak. Setelah kaki menjejak dasar lembah barulah mereka menyadari ada gemericik air yang terdengar begitu merdu dan seketika bayangan kesegaran mereka rasakan. Lama berjalan di bawah terik matahari membuat Andraga dan ketiga temannya begitu bahagia kala merasakan betapa mereka begitu dekat dengan sumber air. Alvian membiarkan yang lain berjalan terlebih dahulu. Sesekali langkahnya terhenti. Sejak kemarin dia selalu merasa langkah mereka tengah diikuti. Dan perasaan aneh ini bukan hanya dirinya yang merasakan, Wira pun merasa begitu. "Jangan panik jika nanti kalian bertemu dengan ular. Di sini ada lebih dari 450 jenis spesies ular," ucap Andraga. Setelah seharian tadi berjalan di pijakan tanah merah yang lengket dengan sepatu, kemudian jalan setapak yang licin. Kini mereka menapaki tanah yang sesekali terdapat batuan batuan berlumut. Persis seperti tonjolan yang diselimuti kain hijau. Ular kecil melintas di depan mereka. Chandra menahan napasnya, seiring kepergian makhluk kecil itu, dia mengembuskan napas. Seperti menemukan harta karun, setelah beberapa langkah masuk ke dalam lembah tersebut, akhirnya mereka menemukan sungai kecil dengan air jernih membelah lembah. Airnya jernih, hanya saja siapa pun tidak berani mendekat. Ular-ular seakan sedang berpesta di tepian sungai. Ular yang besar berjemur di bawah terik matahari tepat di atas batu yang membelah aliran sungai. Dekat sebuah pohon besar Alvian menyimpan carriernya. Semua berhenti kala pemimpin mereka berhenti. "Ada apa?" tanya Wira. "Kita diikuti," jawab Alvian. Andraga melihat ke arah belakang, tidak ada siapa pun selain seekor ular weling yang melintas dan menghilang dibalik belukar. Keinginan mereka untuk keluar dari lembah sebelum matahari terbenam rupanya hanya keinginan belaka. Matahari seakan ditelan oleh rimbunnya pepohonan yang menjulang di atas lembah. Jika saja itu bukan lembah ular, sempurna sudah untuk dijadikan tempat berkemah. Tanahnya yang datar dan licin begitu sempurna untuk tenda berpijak. Sumber air jernih tak jauh dari sana, dan di sini di bawah lembah ini rasa dingin seakan sirna. Tidak seperti di atas seperti pertama kali mereka tiba di pegunungan ini. "Di sini harus ekstra waspada, Bro. Kita tahu persis bahaya yang sedang mengintai di depan," tutur Alvian. Sementara Andraga dan Wira mendirikan dua buah tenda, Alvian dan Chandra mengumpulkan ranting dan mulai membuat api unggun. Bersyukur hari tidak hujan seperti kemarin. Sehingga banyak sekali ranting kering yang bisa digunakan untuk menyalakan api. Chandra berteriak, seekor ular tanah yang terusik hampir saja menggigitnya. Andraga mendekat, dengan menggunakan safety tools yang selalu dia bawa, bocah lelaki itu kemudian menyingkirkan ular berbahaya yang bisa menyebabkan kematian itu. "Itu ular tanah. Orang kampung biasa sebut ular gibug. Cukup berbahaya." Wira mengangguk, lantas menunjuk seekor lagi di ujung lahan dekat dengan perapian. Andraga kembali menyingkirkannya. Dia merasa berdosa karena telah mengganggu habita para ular dengan datang dan mendirikan tenda. "Lo lihat titik merah di ujung sana? Seperti api," bisik Alvian kepada adiknya. Tidak jauh dari sana memang seperti ada kehidupan, tempat ini menjelma selayaknya bumi perkemahan dengan tenda yang berdiri dan perapian yang gagah menyala di depan tenda. Sayangnya, mereka terlalu lelah untuk memeriksa. Terlalu lapar karena seharian ini fokus mereka adalah untuk segera keluar dari lembah ular sebelum malam. Api unggun yang mereka gunakan untuk menghangatkan badan disisipi beberapa batang singkong dan ubi jalar. Setelah matang, dengan rakus lelaki- lelaki muda yang kelelahan dan kelaparan itu memakannya bersama ditemani dengan kopi panas yang masih mengepul dari pinggir gelas, menjadikan malam itu terasa sangat hangat dan akrab. Pun dengan mie instan yang direbus Alvian, keterbatasan wadah membuat mereka harus rela menunggu giliran untuk memakannya. Dengan terbatasnya padangan mata dalam gelap malam, indra pendengaran dan penciuman mereka otomatis bakal mengambil peran yang cukup besar. Hal ini tentu menjadi pengalaman baru yang sangat berharga bagi Wira dan Chandra. Pendakian pertama mereka dilakukan dengan penuh risiko dan waktu yang sempit. Perjalanan ini juga meningkatkan kepekaan Andraga terhadap situasi dan kondisi yang berkembang di alam sekitar. Sudah lama dia mendengar tentang lembah ular, sudah lama sekali ingin menginjakkan kaki dan bermain main dengan binatang yang dia anggap cantik. Rupanya dengan melalui ajakan Wira dan Chandra, Andraga bisa merasakan dan bisa langsung menjejak tanah yang biasanya dia dengar dari cerita orang di komunitasnya saja. "Whoaaaa!!" teriak Wira. Dia yang hendak istirahat di tenda buru buru melompat keluar, headlamp yang dia gunakam bahkan sampai terjatuh. "Ular anjir dalam tenda." "Gue bilang juga apa garemin dulu biar gak ada ular masuk." Chandra misuh-misuh, dia mengomel karena sejujurnya lelaki itu pun takut dengan ular. Tadi sempat mengintip sebentar, warnanya sangat cantik dan ukurannya tidak besar, sedang melingkar di tengah tenda seperti tuan rumah yang sedang menunggu datangnya tamu. Vegetasi yang lebat dan udara yang cukup lembab di lembah ini memang jadi tempat yang pas untuk habitat para ular. Iklim seperti ini adalah iklim yang pas untuk banyak jenis-jenis ular berbisa. Ular ini gampang banget dikenali oleh Andraga yang memang dia sudah menyukai dan mempelajari soal ular dari kecil. Dari pola kulitnya yang belang-belang berwarna hitam dan merah. Ukurannya lumayan kecil, dia perkirakan panjang maksimal hanya sekitar 50 cm meski bagitu Andraga memperingatkan Wira dan Chandra untuk hati-hati dan jeli. Bentuk kepalanya datar dan ekornya berwarna kuning keoranyean, Ular ini diberi nama ular cabe atau coral snake. Meski dikenal pemalu dan nggak suka menggigit, kalau sudah kesal, bisanya bisa berpengaruh terhadap kerusakan saraf manusia. "Lihat ular ini, meski dia cantik begini, jangan sekali-kali lo pegang dengan tangan kosong. Kalau gak tau caranya mending gak usah, deh. Kalau jalan juga Lo bisa hindari ranting-ranting pohon kecil yang menjuntai mendekati kepala lo ya. Karena ular cabe ini bisa jadi tengah menggantungkan badannya di ranting kecil dipepohonan tersebut. Bukan nakut nakutin tapi ular ini racunnya yang bisa melumpuhkan saraf." "Siapa juga yang mau pegang?" "Ya gue cuma ngingetin, pokoknya secantik apa pun ular yang nanti kalian temui di sini jangan disentuh kalau bisa menjauh." Mereka mengangguk patuh, di sela menangani ular yang datang tanpa permisi ke tenda Wira, Andraga melirik sekilas memerhatikan sang Kakak yang pergi menjauh seperti sedang berburu sesuatu. "Anjir ular lagi," pekik Chandra. Tidak jauh dari tempatnya berdiri seekor ular lainnya melata menuju arah mereka tanpa rasa takut. "Namanya juga lembah ular, ya pastilah isinya ular. Kalau lembah hantu baru isi hantu," seloroh Andraga. Wira dan Chandra saling tatap, ada sesal mereka berjalan sejauh ini demi menemukan sesuatu yang sudah diciptakan sang Kakek. Kalau saja tahu kesulitannya akan sepertu ini lebih baik mereka diam di rumah saja. Menjadikan naskah kuno itu hanya sekadar dongeng belaka. "Gue kangen kasur dan mabar," isak Chandra begitu melihat satu per satu ular muncul dari persembunyiannya. "Kalau begini, kapan kita bisa tidur?" tanya Wira. "Tidur aja, gue jagain." Andraga menjawab. Alvian datang membawa sekerat ikan sungai. Rupanya dia menjauh dari tenda untuk mengisi air dan menangkap ikan yang berenang di tepian sungai. Malam itu jadi malam yang sangat panjang bagi Wira dan Chandra. Dan malam yang seperti surga bagi Andraga yang merupakan pecinta ular. Menggunakan kamera yang belum kehabisan daya, dia memotret setiap ular yang ditemui lalu mencatat dalam note kecil yang selalu dia bawa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD