Penemuan Chandra

1225 Words
“Kan gue bawa garam banyak, kenapa gak ditabur aja tadi, kan tenda aman dari ular.” Chandra mengeluh karena berkali kali mendapati ular-ular di tenda. dekat carrier. Dekat sleeping bag dan dekat kakinya. Andraga sih senang-senang saja malah asik memotret dan mencatat ular-ular tersebut dalam notenya. “Astaga, lo makanya banyak baca buku jangan bisanya mabar doang, gue jadi sepupu lo jadi malu sendiri.” Andraga dan Alvian tergelak menyaksikan perdebatan Chandra. Malam ini full tidak ada yang tidur karena mereka tiba-tiba seperti dapat serangan dari ratusan ular. Binatang yang menurut Wira menggelikan itu datang seperti ada sosok yang memimpin jalan. Tidak mengganggu memang, bagi Andraga dan Alvian ular-ular itu seakan mengucapkan selamat datang kepada mereka. Berbeda dengan Wira dan Chandra. Mereka menganggap kehadiran ular sungguh sangat mengganggu dan menyeramkan. "Garam bisa menangkal ular itu tidak benar,” ungkap Andraga. “Tuh, denger.” “Pakai apa, dong?” “Kalau misal di rumah sih, kita bisa pakai pembersih lantai, banyak bahan lain dengan bau yang sama menyengatnya bisa membuat ular pergi. Kapur barus, minyak tanah, serta bensin menjadi bahan berbau menyengat yang bisa dimanfaatkan untuk mengusir ular. Kalau di hutan ya bingung juga. Istilahnya ini rumah mereka dan kita tamu.” “Anjir kaos kaki si Wira bisa tuh, kan menyengat,” ejek Chandra. Disusul dengan getokan di kepalanya. “Ketek lu, bangsul! Gak kalah bau.” “Sudah-sudah, kalian gak mau merem? Perjalanan kita masih panjang,” lerai Alvian. “Ogaaah, kalau pas merem didatengin cewek bohay, sih, gue mau-mau aja.” “Huss! Kita di hutan, didatengin cewek beneran tau rasa!” “Ya bener, paling nanti pas gue tidur yang dateng ya, ular, berapa kali coba kita kecolongan ular masuk tenda?” Chandra terus mengeluh sambil menuangkan air hangat yang mereka masak di atas perapian, rasa airnya bau asap, tetapi kehangatannya menjadi penolong saat udara dingin begini. Momen saling ejek ini adalah momen terindah malam ini, sebelum mereka menyadari ada bahaya yang mengitai di depan sana. *** Pagi-pagi sekali, kabut masih mengambang tipis di udara. Chandra tidur dengan posisi berjongkok di depan perapian. Punggungnya di sandarkan pada batang pohon, sedangkan Wira yang sudah tidak tahan dengan rasa lelah memilih mengalah dan tidur di dalam tenda dengan balutan sleping bag. Sementara Andraga dan Alvian semalaman mereka bergiliran, saat Andraga tidur sang Kakak menjaganya begitu pula sebaliknya. Namanya juga lembah ular, keempat anak itu yang menjadi tamu di rumah ular-ular tersebut sehingga tidak sedikit ular yang mendekat. Pagi hari seperti sekarang ini, udara segar menggelitik hidung mereka. Memaksa untuk bangun dan melawan dingin yang menggigiti sendi-sendi. Jika masih di rumah mana ada mereka bangun pagi seperti ini. “Dua malam jatah kita di sini sudah habis, lewat dari ini mereka pasti nyariin kita, bisa bisa kita dinyatakan hilang. Makanya buruan, sebisanya kita temukan gua itu sekarang juga. Hari ini selesaikan dan kita pulang.” Alvian merapikan sisa semalam. Sampah plastik mie instan dia kemas dengan menggunakan tas sampah yang dia bawa dari rumah. Sisa perapian dan tenda tak luput dari kerja kerasnya. Bentuk lembah yang menyerupai mangkuk membuat matahari yang baru saja terbit belum sampai menghangatkan mereka. Beruntung kabut tipis sudah berangsur hilang. “Ini masih jauh gak, Bro?” tanya Wira. Pertanyaan macam apa itu? Di sini siapa yang punya acara sebenarnya? Kenapa seperti Andraga dan Alvian yang memaksa Wira untuk mengikuti mereka. “Ujung lembah ular ini ada pintu masuk gua, kita cari.” “Kalau di lembah ini saja ularnya banyak, bagaimana dengan gua nanti?” tanya Chandra, dia mencuci muka dengan menggunakan sisa air di botol. Dia tidak punya nyali untuk ke sungai sekadar mencuci muka dan menuntaskan panggilan alam. Banyak ular yang sedang bermain di sana. Yang dia bayangkan saat mendekatkan wajahnya ke sungai, muncullah anaconda yang langsung melahap tubuhnya persis seperti adegan yang pernah dia tonton di film-film. “Di gua nanti bakal ada emaknya ular. Mirip naga, kepalanya banyak dan nerkam lo.” “Diem bangsul, gue gak nanya sama lo.” “Habisnya, lo jangan ngadi-ngadi, jalan yan jalan aja. Nyesel gue ajakin lo.” Wira terus mengeluh, sepasang sepupu itu terus berdebat di sepanjang jalan. Alvian tetap memimpin, dan Andraga tetap di belakang. Kadang mereka bertukar posisi karena sejujurnya Alvian tidak pernah tega membiarkan sang adik berada tepat di belakang. Sudah mereka arungi lembah itu hingga kembali ke titik di mana mereka memulai perjalanan. Tidak ada satu pun tanda-tanda ada gua di lembah itu. Apalagi danau. Andraga sampai memukul-mukul dinding lembah itu. Berharap ada pintu rahasia yang tersembunyi di sana. Seperti dalam film Tomb Raider. “Gue laper,” keluh Andraga. Kali pertama dalam pendakian dan petualangan ini lelaki itu mengeluh. Perutnya terasa melilit, sepanjang perjalanan mereka hanya makan mie instan dan beberapa umbi yang mereka temukan selama perjalanan. Salah sendiri karena dia tidak menyukai ikan, apalagi dibakar dengan bumbu yang benar-benar seadanya. “Gue rindu masakan mami, anjir nyesel kemarin mami masak sayur lodeh gue gak mau makan karena takut gendut.” Andraga melempar-lempar daun kering di permukaan sungai. Daun itu jauh mengalir mengikuti arus yang cukup deras. Dari tempatnya duduk, Andraga bisa melihat ular phyton sedang melingkar di batu persis sebrang sungai. Corak batiknya begitu indah, hasratnya untuk mengelus permukaan sisik ular tersebut begitu besar. Tetapi dia tidak mau gegabah. Ini hutan bukan penangkaran, ular puluhan kali lebih ganas daripada di penangkaran. Bisa saja ular besar itu melilit tubuhnya, meremukkan tulang demi tulang kemudian melahapnya bulat. “Gue juga rindu masakan nyokap. Terakhir kali gue makan masakannya tiga tahun lalu sebelum nyokap pergi.” Wira ikut-ikutan mengambil daun kering, membuat dedaunan itu mengambang seperti perahu dan menjauh dari mereka. “Nyokap lo udah gak ada?” tanya Alvian. “Bagi gue dia gak ada, pergi sama berondong. Tapi setelah gue melewati berbagai hal-hal yang bikin gue nyaris mati di sini, gue ingat nyokap. Gue harap bisa pulang biar bisa saling memaafkan.” Chandra berdiri sekaligus, wajahnya seperti anak kecil yang menemukan penjual eskrim di pinggiran jalan. “Bro, air, Bro!” ucap Chandra. Siapa sangka diam-diam lelaki itu memikirkan sesuatu. Jadinya sesi curhat Andraga, dan juga Wira harus berakhir. “Lo haus?” tanya Wira. Dia sodorkan botol minum kepada sang sepupu yang buru-buru ditepisnya. “Lo sadar gak, kita di sini seperti berada di cekungan batu kapur. Seperti dalam lobang besar, tapi ada sungai yang mengalir. Lo gak pernah kepikiran ini air sungai larinya ke mana?” Alvian tersenyum, dia mendekat dan tiba-tiba memeluk sekilas Chandra hingga lelaki itu mengernyit jijik. “Lo jenius!” puji Alvian. “Lanjutkan perjalanan dan ikuti sungainya.” Andraga dan Wira menatap heran, barulah dua lelaki itu mengerti setelah sekali lagi Alvian mengatakan kalau sungai ini menuju ke suatu tempat di sana, entah itu keluar lembah atau justru masuk ke dalam gua. Bukankah dalam gua tersebut terdapat sebuah danau tempat menyimpan sesuatu? Rasa penasaran dan perasaan senang bersatu padu menjadi kesatuan utuh. Wira dan Chandra bahkan tidak menyadari sedari tadi dekat dengan ular pohon yang warnanya hijau cantik. Andraga menjamin, jika dua lelaki itu sadar mungkin mereka sudah menjerit karena ketakutan. Kali ini dalam perjalanan di hari ke tiga, Alvian merasa Chandra akhirnya ada gunanya juga, mengingat sepanjang perjalanan ini, lelaki itu adalah yang paling malas di antara mereka. Ditemani kicau burung dan gemericik aliran air sungai, mereka melanjutkan perjalanan, mencari gua. Mencari makhluk yang digadang-gadang mampu membuat mereka menjadi kaya dan menguasai dunia.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD