Danau Dalam Gua

1111 Words
Benar saja setelah berjalan dintepian sungai, mereka menemukan fakta bahwa air jernih itu seakan ditelan dinding lembah. Mereka saling pandang dan tersenyum puas, kini tinggal pikirkan saja cara bagaimana menembus dinding agar bisa masuk ke dalam. Entah itu dengan mencari calah, atau menyelam dan membiarkan tubuh dibawa oleh aliran air. "No, kalo berenang gue gak setuju. Kita gak tahu di bawah situ ada apa. Buaya, anaconda atau mungin kita bisa terjebak dan tidak bisa bernapas." Chandra menolak permintaan Wira ketika lelaki itu mengusulkan untuk masuk ke dalam air lalu ikuti arusnya. "Tetep harus ada yang masuk dan mencari jalan. Mungkin celah celah itu bisa kita lalui." Alvian memperkirakan. Lantas dia mengambil ranting kering yang cukup panjang dan mengukur kedalaman air sungai. "Lumayan, dalam. Sepinggang. Siapa yang mau menyelam lihat situasi?" pinta Alvian. Bergeming tidak ada satu pun yang maju. Dia tahu, artinya dia sebagai pemimpin yang harus maju. Dibukanya sepatu, outer dan juga celana panjangnya. Menyisakan kaus tipis celana pendek. Perlahan dia mencelupkan kakinya. Hal yang paling Andraga takuti di dunia ini adalah kehilangan sang Kakak, untuk itu begitu kaki Alvian menyentuk air sungai, pria itu buru buru menghampiri dan mencegahnya. "Kak!" Alvian menoleh, "Lo pengen pulang, kan, Dek? Lo kangen masakan mami, kan?" tanya Alvian. Andraga mengangguk. Dan mengatakan "Ya" tanpa suara. "Ya udah, biar urusan kita di sini cepat selesai, biar apa yang mereka mau cepat ketemu, dan kita bisa sampe rumah dengan cepat. Lo gak usah khawatir, gue jago nyelam." Alvian menepuk bahu Andraga dua kali lalu tanpa aba aba menceburkan diri ke sungai. Alvian tersenyum ketika air menelan kaki hingga pinggangnya. Keram dan sakit pada kaki akibat kebanyakan jalan seketika sirna, dinginnya air laksana obat yang menjadikan tubuhnya semakin bugar. Chanda, Wira dan Andraga menatap pemimpinnya dengan cemas. Rasa ingin ikut begitu menggebu, tetapi mengingat mereka berada di lembah ular, rasa takutlah yang mendominasi. Alvian perlahan bergerak, kakinya menyentuh dasar sungai yang berbatu. Sesekali dia merasakan lembutnya pasir sungai memijat kakinya. Ketika berada nyaris di ujung dia meraup sebanyak-banyak udara. Lalu menenggelamkan diri di sungai itu, dia berenang mencari jalan agar bisa masuk ke dalam gua. Tidak ada yang perlu ditakutkan ketika berada di bawah air. Tidak ada buaya atau anaconda seperti yang ditakutkan oleh Chandra. Dia terus menyelam dan menemukan jalan, ke mana air itu bermuara. Sebuah lubang besar menelan air sungai menuju tempat yang entah di mana ujungnya. Dia mendekat ke dinding sungai, mencari apakah lubangnya bisa dilalui tanpa harus menyelam? Sementara itu ketiga orang yang menunggu di daratan begitu cemas karena lama sekali Alvian tidak keluar dari dasar sungai. Andraga yang paling gelisah. Dia membuka kancing outer, lalu membuka sepatu satu per satu. Jika Alvian tak jua keluar dari dalam sungai dirinya akan menyusul untuk menyelam. Ketika Andraga baru saja membuka ikat pinggang, kepala Alviaan menyembul keluar, jauh di ujung sana. Dekat dengan dinding gua yang tertutup tumbuhan hijau sejenis pakis. "Sini Bro, bawain barang-barang gue," teriak Alvian. Andraga memakai kembali sepatu sebisanya, pakai outer dan juga membawa barang Alvian sebagian, sisanya Wira dan Chandra yang bawa. Kelegaan tidak dapat disembunyikan kala Alvian muncul. Kini alvian keluar dari Air. Memakai sepatu dan celananya. Meski pakaian dalamnya basah dia tetap paksakan pakai cenala luar. "Basah, nanti masuk angin," protes Andraga. "Dinding dan pintu masuk gua agak runcing, biarlah nanti di dalam kalau bisa bikin api, keringkan dengan api." Lantas Alvian berjalan mendekati ujung dinding lembah, ujung tempat air itu lenyap seperti menghilang tanpa bekas. Dengan pisau lipatnya Alvian menyingkirkan semak semak tumbuhan paku yang menutup jalan masuk. Batu sebesar gymball dia geserkan sendirian dan berat. "Bantu gue, elah malah pada bengong." Barulh Wira dan Chandra bergerak. Andraga melihat ke belakang, semak dekat situ bergerak. Seperti sosok orang yang bersembunyi di sana. Andraga mengendap, dia ingin memastikan makhluk apa yang terus mengikuti sejak mereka mulai mendaki dan sekarang sampai di lembah ini. Jika makhluk berbahaya mungkin keempat pemuda itu sudah mati sejak awal. Untuk itulah dia berani mendekat karena dengan jelas baru saja dia mendengar suara ranting kering yang terinjak. Juga gerakan semak yang tak wajar. "Elah, Bro! lo mau ke mana?" teriak Wira. Andraga berhenti lalu menatap ke arah saudara dan kedua temannya. Tiga orang itu tampak kewalahan. Andraga jadi kasihan. Akhirnya Andraga memutuskan untuk membantu. Namun, sebelumnya dia memutuskan untuk melihat dulu apa yang ada di balik semak itu. Hanya seekor kelinci hutan. Kelinci itu diam tak bergerak, hanya gerakan napasnya saja yang bisa Andraga lihat. "Bro, lo lagi apa, sih?" "Bentar bentar, gue ke sana sekarang." Andraga berpaling kembali dan kelinci hutan itu sudah hilang dari pandangan. Sebelum meninggalkan tempat itu, sekali lagi dia memastikan, dan memang tidak ada apa pun di sana. Andraga lantas menghampiri Alvian yang berusaha menggeserkan batu besar itu, tenaga empat laki laki dewasa hanya mampu menggeser sedikit demi sedikit batu. Selain ukurannya yang sangat besar, batu itu licin karena berlumut. Berbagai cara mereka lakukan sampai akhirnya batuan itu berhasil digeser, tanpa aba aba batuan di atasnya lepas dari dinding, mereka mundur karena takut tertimbun. Batu batu yang bentuknya bulat sempurna itu menggelinding masuk ke dalam sungai. Akhirnya apa yang mereka cari ada di depan mata. Batu batu bulat itu disusun seperti mwmang disengaja menutup pintu masuk gua. "Yeaaah!" Keempatnya bersorak. Andraga berpelukan dengan sang Kakak. "Buruan masuk, kek teletubies aja peluk-pelukan." Wira berkomentar. "Ye, sirik, pwluk tuh si Chandra." "Najong banget ge peluk dia," tolak Wira. "Siapa juga yang mau dipeluk lo?" jawab Chandra. Perdebatan yang selalu mengundang tawa. Mereka lantas mengucap syukur karena ternyata bertemu dengan gua. Menurut peta danau itu ada di sini, di dalam gua. Masuk akal mengingat air-air sungai mengalir ke arah sini. Beruntung tubuh mereka ramping, karena celah yang terbuka itu cukup sempit, bahkan mereka tidak bisa menggendong carrier di punggungnya. Untuk bisa melewati pintu masuk gua tanpa meninggalkan barang bawaan yang teramat penting, mereka mengikatkan tali pada tas tas besar itu. lantas berjalan menyamping di antara dua dinding gua dengan menyeret carrier di bawah kakinya. Semakin masuk ke dalam celah sempit itu terasa semakin melebar sehingga mereka tidak begitu kesulitan dan bisa mencapai ujung pintu masuk dengan selamat. Pemandangan pertama yang mereka lihat adalah danau yang indah. Dengan rakus mereka mendekat ke danau dan meminum air jernih itu langsung dari sana. Mencuci muka, membiarkan air dingin itu membelai lembut kulit mereka. Meski udara di dalam gua ini terasa lembab. Gua ini tidak gelap, ada lubang lubang kecil di atas dan matahari langsung menyorot ke arahnya memantulkan cahayanya di atas permukaan danau. Memberikan penerangan yang cukup untuk bekal mereka mencari pintu selanjutnya. Kebahagiaan yang mereka raih selama melakukan perjalanan ini akhirnya harus sirna, kala dengan gagah mahluk menyeramkan menggeram dan bangkit dari tidur panjangnya karena terusik oleh suara dan sorakan anak anak itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD