Alana

1155 Words
Kini perempuan itu tersiksa karena menjadi penyebab hilangnya Alvian ditelan lubang panjang yang ada di gua ini. Bersama makhluk menyeramkan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Bahu gadis itu berguncang hebat, tidak ada satu orang pun yang peduli. Yang mereka khawatirkan saat ini adalah keselamatan Alvian. Andraga mengacak-ngacak rambutnya apa pun yang terjadi pokoknya sang kakak harus kembali. Wira pun tidak berani mengajak lelaki itu untuk melanjutkan perjalanan. Dia ikut bersimpuh dan menatap pintu lubang yang ditutupi batu besar. "Sudah nangisnya?" Pertanyaan dengan suara menggema. Andraga dan yang lainnya mencari sumber suara itu. Alvian ada di atas dinding gua, dia duduk, kakinya dibiarkan menjuntai ke bawah. "Sialaaaan, turun, lo sini gue hajar!" Wira murka. Tetapi di balik amarahnya itu terdapat kelegaan luar biasa, pun dengan Andraga. Tidak pernah bisa bayangkan jika dia benar-benar kehilangan sang Kakak. Dia tidak akan seberani biasanya. "Kalian manjat lagi ke tempat tadi, tolong bawain tas gue. Gue lewat atas, gak pake lama, nanti binatang berkepala 9 itu balik lagi." Sigap semua menuruti perintah Alvian, kecuali Alana. Perempuan penyusup yang kini sedang menangis. Entah takut, lega atau menyesal ada di tempat yang berbahaya ini. Andraga memberi kode kepada Chandra untuk membawa serta gadis itu. Chandra mengulurkan tangan, Alana mendongak melihat lelaki di depannya mengangguk dia lantas meraih uluran tangan itu. Dinding gua bergetar, makhluk di dalamnya mengamuk. Mereka tidak punya banyak waktu lagi. Alvian tadi membawanya ke dalam lubang kemudian lelaki itu menyelinap melalui celah sempit serupa labirin dan keluar melalui lubang yang ukurannya lebih kecil di atas. Seperti manusia laba-laba, lelaki itu merayapi dinding kakiny menjejak cekungan demi cekungan menuju tempat yang dipercaya sebagai pintu di mana makhluk yang sang Kakek Wira ciptakan. Merek Tiba tepat di depan tombol yang tadi hampir ditekan oleh Wira sebelum Alvian nekad mengorbankan diri demi menyelamatkan semuanya dari hidra. Tempat yang mereka pijak saat ini lebarnya tidak lebih dari empat puluh senti meter. Punggung sengaja ditempelkan ke dinding gua, jika tidak mungkin mereka sudah hilang keseimbangan dan jatuh di ketinggian lebih dari sepuluh meter. Air danau yang tenang tiba-tiba beriak, muncul gelembung dari bawah air persis seperti air mendidih. "Dia kembali," bisik Andraga. Ditatapnya sang kakak yang jaraknya terhalang Chandra dan Alana. "Wira buruan tekan simbolnya," teriak Alvian. Wira panik sampai-sampai menjatuhkan tasnya. Beruntung peta dan naskah dia genggam dengan erat. Air danau semakin bergolak tidak tenang, detik demi detik penantian Wira menekan simbol itu adalah detik yang paling mendebarkan. Satu kepala hidra muncul dari permukaan danau, Alana kembali menjerit. Dengan susah payah Wira menggapai simbol agar pintu gua terbuka. Alvian gemas, Chandra juga demikian. Ingin rasanya ambil alih tugas Wira tetapi mereka tidak bisa maju mengingat pijakan yang sempit dan posisi berdiri saat ini. Andraga menggeser badannya sedikit demi sedikit lantas dia menggenggam satu tangan Wira sebagai pegangan. Sebagai kekuatan Wira untuk menggapai simbol itu lebih mudah lagi. Simbol berhasil ditekan, tetapi tidak ada yang terjadi. Sebaliknya simbol itu kembali bergeser ke posisi semula. Sembilan kepala hidra sudah keluar dari air, kini makhluk itu meliuk-liuk. Persis seperti api yang tengah berkobar. Alvian menempelkan telunjuknya di depan mulut. Setelah berjibaku di dalam celah sempit, dia yakin bahwa mata merah yang dimiliki makhluk itu sama sekali tidak dapat melihat. Seharusnya jika mereka tidak bergerak maka tidak akan ada yang terjadi, masalahnya bagaimana bisa mereka melanjutkan perjalanan atau lulang dari situ. Sampai kapan harus berdiri di ketinggian lebih dari 10 meter dengan pijakan yang lebarnya pas pasan. "Gue kudu gimana lagi?" tanya Wira. Berkali-kali menekan simbol itu. "Coba liat sini peta sama naskahnya, estafet saja," perintah Alvian. Peta dan naskah berpindah tangan, dari Wira kini kepada Andraga, tanpa menunggu lama Andraga memberikannya pada Alana. Gadis itu terpaku melihat aksara sunda di atas peta itu. "Woi buruan siniin," pinta Alvian. "Sory, gue lancang. Tapi itu isi tulisannya adalah cara bagaimana membuka kunci. Lo bisa baca?" "Lo bisa?" tanya Alvian, Alana mengangguk. "Buruan kasih tau gimana caranya?" pinta Wira dengan suara agak kencang. Otomatis mengusik kembali hidra yang kini sedang berada di posisi waspada. Siapa sangka ternyata hidra itu sedikit cerdas. Makhluk itu bisa menemukan di mana posisi kelima orang yang kini sedang resah di atas dinding. Kembali Alvian menempelkan telunjuknya di bibir. Alana berkata tanpa suara memberikan perintah kepada Wira untuk kembali menekan simbol itu. Susah payah Wira menekan simbol itu. Lalu menahannya seperti apa yang diminta oleh Alana. Alvian dan yang lain menatap dengan cemas. "Putar berlawanan arah jarum jam," bisik Alana. "Hah?" tanya Wira. "Putar," ulang gadis itu. Wira memutar ke arah yang salah. "No, hei, ke sebelah sini." Wira mengulangi dari awal, menekan simbol itu rasanya sama dengan mendorong mobil yang mogok, memang maju tetapi butuh perjuangan untuk melakukannya. Di putarlah simbol itu berlawanan dengan arah jarum jam. Lalu terdengar bunyi Klik seperti sedang mengunci. Tidak ada yang terjadi setelahnya. Mereka saling tatap, Alvian minta penjelasan kepada Alana. Parahnya kini simbol itu tenggelam, menjadi rata dan sejajar dan rata dengan permukaan dinding. Alana mengangkat bahu, dan menggeleng tidak mengerti. Tidak ada yang terjadi tidak ada yang terbuka selayaknya pintu yang baru saja mereka buka. Misteri yang belum terpecahkan sama sekali. "Lo coba baca lagi, apa ada petunjuk di sana?" tukas Alvian. Alana mengangguk. Dia senang pernah belajar aksara Sunda. baik Sunda kuno maupun Sunda Baku. Perempuan itu membaca keseluruhan tulisan-tulisan yang ada di atas peta dan naskah. "Bro itu apa?" tanya Andraga yang menemukan sesuatu berwarna keperakan persis di dinding tidak jauh dari mereka berdiri sekarang. "Wir, maju," perintah Alvian. "Gue terus," protesnya. "Lo yang paling deket, Bangsul!" kalo gue di depan sana ya gue duluan. "Maju bareng-bareng, deh!" "Elah nyali lo, ya udah buruan. Dek lo buruan maju ikutin Wira, lo juga. pelan-pelan jangan sampai dia bangun lagi." Dengan hati-hati mereka berjalan. Andraga mengikuti Wira, mereka mengendap di pijakan sempit dengan hati hati, menuju sesuatu yang berwarna keperakan. Rupanya persis dengan cermin yang terus bergerak. Karena kurang hati-hati, satu kaki Chandra terpeleset hingga kini tubuh lelaki itu menggantung berpegangan pada pijakan. Alvian dan Alana berjongkok dengan hati-hati, meraih tangan Chandra yang kini bergelantungan. Mereka juga harus hati-hati jika tidak bobot tubuh Chandra bisa menarik mereka hingga jatuh ke bawah dan kembali mengusik makhluk itu. Kerja sama yang cukup bagus, sampai akhirnya Chandra kembali bisa naik dan menjejakkan kaki pada pijakan itu. Jantungnya nyaris copot, tidak terbayang jika dia sampai jatuh dan jadi santapan lezat hidra yang kini dengan tenang menundukkam kepala kepalanya di bawah sana. "Lanjut," bisik Alvian. Wira kembali berjalan. Kali ini menyamping dan harus membuka carriernya. Sesuatu yang keperakan itu berputar-putar. Seperti kabut tipis yang tidak bisa dia sentuh. "Bro ini apa?" tanya Wira. Dia memasukkan tangannya dan tembus. "Itu pintu yang tadi kita buka sepertinya," ucap Alana. Debar jantung mereka kian kuat. Apa yang dikatakan naskah kuno itu bukanlah khayalan belaka. Kakek Wira memang nyata, dan kini sang Kakek berhasil "mewariskan" semuanya kepada Wira dan Chandra. Langkah selanjutnya yang mereka ambil adalah masuk ke dalam sana, mula-mula Wira, tas carrier milik Wira, Andraga menyusul, Alana diikuti Chandra dan terakhir Alvian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD