Bab 5

1238 Words
"Tahu yang lagi heboh, Nad?" bisik Dara di dekat telinganya, ketika Nadia sibuk berdiskusi dengan Atika, mengenai laporan keuangan.  "Apa?" balas Nadia sama berbisik.  Atika yang melihat tingkah aneh Nadia dan Dara hanya menatap heran tak mengerti.  "Suami kamu udah datang pagi-pagi ke kantor." Dara mengernyitkan dahinya, ketika melihat tidak ada respon dari temannya itu.  "Kok, reaksinya biasa aja sih?" tanya Dara cemberut.  "Lah, emang aku harus gimana?" "Enggak kaget gitu?" "Enggak. Kan aku masih serumah sama dia, Ra, jadi aku tahu lah waktu dia mau berangkat ke kantor." "Tapi kalo kamu cerita, jarang tuh ketemu sama dia, walau kalian satu atap." Nadia menghela nafas, menatap Dara setelah urusannya dengan Atika selesai.  "Makanya aku tahu, Ra, tadi pagi dia udah bangun sarapan bareng sama aku." Ada raut menggoda dari wajah Dara, ketika temannya itu mengatakan satu kalimat yang seolah sebuah oase di padang gersang.  "Apa? Kok muka kamu kaya gitu?" "Ehem, ehem!" goda Dara menjadi.  "Jangan kebanyakan ngehayal pagi-pagi. Kenyataanya enggak sesuai apa yang kamu pikirin. Walau pun sarapan bareng, tetep aja kerjaannya berantem." Nadia beranjak dari duduknya di sebelah Atika.  Berdiri dan hendak berjalan meninggalkan temannya itu.  "Enggak seru amat sih, Nad?" potong Dara.  "Apanya yang enggak seru?" Nadia balas bertanya.  "Ya kamu, enggak seru. Udah mau pergi aja, orang ceritanya belum selesai juga." Nadia tersenyum dan kembali memandang Dara.  "Karena emang ceritanya cuma sampai situ, Dara. Udah ah, aku mau balik ke ruangan." Nadia hanya tersenyum menanggapi wajah Dara yang tertekuk. Ia tahu, temannya itu kesal karena pagi-pagi sudah membuatnya penasaran karena ucapannya. Tetapi Nadia memang sengaja, tidak menceritakan hal yang tengah ia pikirkan saat ini.  Memasuki ruangan manajer dan melihat wanita berkacamata itu dengan jilbab menutupi kepala, tersenyum memandangnya.  "Udah selesai tugas Atika?" "Udah, Bu. Nanti di-email tugasnya." "Ok. Ngomong-ngomong, Nad, boleh saya minta tolong kamu hubungi orang pantry? Saya mau dibuatkan jus jeruk dong, kayanya seger nih siang-siang." Ibu Cika nampak berseri.  "Baik, Bu. Tapi apa ada tugas yang harus saya kerjakan?" "E-hm, enggak ada. Kenapa gitu?" "Kalo enggak ada, saya saja yang ke pantry buatkan Ibu minuman." "Oh, ya sudah, kalo tidak merepotkan." "Tidak kok, Bu. Saya permisi." "Iya." *** Siang itu, Maura --kekasih Keanan-- datang ke kantor. Dengan senang hati, pria itu menyambut kedatangan wanita yang dicintainya.  "Hai, Sayang, dari rumah?" tanya Keanan menyapa kekasihnya dari arah meja kerjanya, berjalan menghampiri wanita itu.  Cium pipi kanan dan kiri, Maura menyambut uluran tangan dari Keanan.  "He-em, ada schedule pemotretan nanti jam dua siang. Mampir dulu deh ke sini sebentar. Enggak ganggu 'kan?" Bergelayut manja, dengan melingkarkan tangannya ke leher Keanan.  "Enggak kok, 'kan udah masuk jam istirahat makan siang juga. Kamu mau makan bareng sama aku?" Mencium pipi sang kekasih.  "E-hm, kayanya enggak deh, Sayang." "Kok enggak? Terus mau ngapain dong ke sini?" Keanan menatap Maura heran.  "I-itu, aku mau pinjem uang sama kamu, Sayang. Lima juta aja, boleh enggak?" "Bukannya aku baru kasih uang, yah dua hari yang lalu sama kamu? Memang buat apa lagi sekarang?" Maura berusaha merayu dengan mengusap lembut pipi sang kekasih, berharap tujuannya kali ini tercapai.  "Dua hari lalu 'kan aku abis perawatan di salon. Kalo ini aku mau beli baju, ada koleksi terbaru dari butik langganan aku. Boleh yah, Sayang?" "Ya udah, nanti aku transfer uangnya ke rekening kamu." "Uh, makasih yah, Sayang. Nanti aku langsung ganti kalo kontrak aku udah cair." "Ya, ya terserah kamu. Enggak perlu diganti juga enggak apa-apa. Untuk kamu apa sih yang enggak." "Kamu tuh, emang deh yang terbaik." Memajukan wajah cantiknya, Maura menempelkan hidungnya di pipi Keanan.  "Itu aja hadiahnya?" protes sang kekasih.  Wanita itu tersenyum, kemudian mendaratkan ciuman di bibir Keanan. Tentu saja, santapan lezat di depan mata, tidak mungkin Keanan sia-siakan. Lelaki itu membalas pagutan yang kekasihnya lakukan.  Lama keduanya melakukan aksi panas, sampai pintu ruangan Keanan ada yang membuka dari luar, pagutan keduanya terlepas.  "Ups, sorry! Aku pikir Bapak Wakil Direktur lagi sibuk kerja, ternyata lagi sibuk yang lain." Nadia, yang membuka pintu ruangan Keanan, memberikan sindiran untuk suaminya.  Ada sakit yang nyata terasa di dalam hati Nadia, melihat adegan panas antara lelaki yang ia sukai dengan wanita lain di depan matanya. Sebisa mungkin, air mata yang sudah terdorong karena sesak di tenggorokan, Nadia tahan agar tidak menggenang di pelupuk matanya.  "Enggak bisa ketuk pintu dulu sebelum masuk ruangan orang lain?" balas Keanan tajam.  "Pintu itu hampir roboh aku gedor berkali-kali, kalau kamu mau tahu." Nadia membalas tak kalah tajam.  Maura yang melihat gelagat tak baik antara kekasih dan istrinya itu, berencana menghindar daripada harus terbawa-bawa pertengkaran keduanya.  "Sayang, aku pergi dulu yah. Jangan lupa, aku tunggu transferannya." Mencium pipi dan mengecup bibir Keanan dengan bibir merah karena lipstik, Maura sengaja melakukannya di depan Nadia.  "Iya, Sayang. Kamu hati-hati yah." Maura pergi meninggalkan ruangan Keanan, berjalan melewati Nadia yang masih berdiri di posisinya. Dengan sengaja, meski tidak keras, Maura menyenggol bahu Nadia. "Sorry, sengaja!" Seringai muncul di wajahnya yang penuh dengan polesan make up.  Nadia sama sekali tidak mempedulikan tingkah wanita itu, ia pura-pura tidak melihat apa yang kekasih suaminya itu lakukan padanya.  "Ada apa? Alasan apa yang membuat kamu datang ke ruanganku dan mengganggu kebersamaanku dengan Maura?" "Papa Hari menyuruh kamu ke ruangannya." "Haha, kamu pikir aku bodoh?" "Apa maksud kamu?" tanya Nadia tidak mengerti.  "Alasan yang tidak masuk akal. Untuk apa Papa bersusah payah menyuruh kamu memberitahu aku supaya datang ke ruangannya. Itu cuma alasan kamu saja 'kan, biar kamu bisa lihat aku. Oh, atau jangan-jangan kamu lihat Maura datang ke sini, dan sengaja ingin ngeganggu waktu kami berdua karena rasa cemburu kamu, iya begitu?" "Apa yang istimewa dari kamu sampai aku sengaja datang ke ruangan ini untuk melihat kamu? Dan apa kamu bilang tadi, aku cemburu? Heuh, buat apa aku cemburu sama kamu, enggak penting!" Nadia bicara dengan sangat santai, tetapi malah membuat Keanan emosi.  "Papa sudah menghubungi kamu melalui HP, tapi tak kunjung kamu angkat. Kebetulan tadi aku sedang menyerahkan laporan ke papa. Saat aku mau kembali ke ruangan, beliau menyuruhku menyampaikan hal itu sama kamu." Nadia berjalan menghampiri sang suami. Mendekat seolah sengaja agar tidak ada jarak di antara keduanya.  "Jadi, jangan ke-GR-an jadi orang. Jangan punya HP tapi cuma jadi pajangan doang." Berhenti berbicara, masih menatap netra hitam milik Keanan.  Tak ada pergerakan atau reaksi dari lelaki di depannya, hanya terdengar deru nafas Nadia dan Keanan yang saling bersahutan.  Nadia berbalik dan melangkahkan kakinya menuju keluar ruangan. Belum sampai pintu, sebuah tangan menarik pergelangan tangannya dengan sangat kencang, sehingga mengakibatkan tubuhnya bertubrukan dengan d**a bidang milik Keanan.  "Aw!" pekik Nadia.  "Apa yang ka-mm ...?" Kalimat pertanyaan yang keluar dari mulut Nadia terpotong dengan pergerakan dari Keanan yang mendaratkan bibirnya di atas bibir sang istri.  Sontak saja, aksi yang Keanan lakukan membuat Nadia terkejut, kedua matanya terbelalak. Sekian detik Nadia membeku, tetapi tak lama kemudian ia berusaha berontak dengan mendorong tubuh Keanan agar menjauh. Sekuat tenaga Nadia mencoba melepaskan diri dari pelukan suaminya. Namun, usahanya gagal. Sang suami memagut semakin dalam, mengeksplor semua bagian yang ada di dalam, enggan berhenti.  Entah apa yang ada di dalam otak Keanan kala itu, mendapati sang istri mengeluarkan kalimat tajam dan menyudutkan, membuat harga dirinya sebagai seorang lelaki, seolah tersentil.  Keanan spontan melakukan aksinya. Ia hanya ingin memberi pelajaran pada wanita yang berstatus istrinya tersebut. Tapi rencananya tidak berjalan mulus. Lelaki itu malah terbuai. Bibir yang belum pernah ia sentuh dan rasakan itu, ternyata membuat dirinya merasakan sensasi yang lain. Keanan enggan melepaskan, meski kedua tangan Nadia terus mendorong dan juga memukul d**a dan kedua pundaknya.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD