Bab 4

1288 Words
Nadia fokus menatap jalan di depannya sambil mengetuk-ngetuk jari di atas setir, mengikuti irama dari alunan musik yang mengalir melalui radio mobil. Awal pagi hari yang membuat hatinya kesal, berusaha ia alihkan dengan menikmati lagu bernada riang milik boy band Korea BTS yang berjudul Dynamite.  Jujur saja ia tidak suka dengan boy band atau girl band dari negeri Ginseng tersebut, tapi setiap mendengar lagu itu, yang sering kali diputar oleh salah satu stasiun radio terkenal ibukota, yang Nadia suka dengarkan setiap berangkat menuju kantor, gadis itu suka dengan irama lagunya.  Setelah air mata yang tumpah semalam, Nadia sudah berjanji di dalam hatinya, tidak akan meneteskan kembali air mata untuk lelaki itu. Sudah cukup baginya, berstatus sebagai seorang istri, tetapi tidak diperlakukan sebagaimana keadaannya.  Ia menyadari kesalahannya dulu ketika masih remaja, saat awal-awal dirinya tinggal bersama keluarga Darmaputra, Nadia sering kali mengikuti kemana pun Keanan berjalan. Bukan sekali dua kali, gadis itu berkata kepada Keanan jika ia amat mengagumi lelaki, yang sudah dewasa ketika ia baru saja lulus SMP.  Nadia tahu, dulu ia memang pernah menyatakan perasaannya kepada putra bungsu Darmaputra itu. Perasaan jatuh cinta kepada lelaki yang baru pertama kali ia rasakan, dan langsung patah hati karena ditolak oleh Keanan dengan alasan usia Nadia yang masih kecil, juga karena Keanan tidak suka dengan sifat gadis itu yang dinilainya terlalu cerewet. Apalagi sejak Keanan tahu, kalau Nadia memiliki teman dekat seorang pria, Keanan tidak suka. Ia menganggap, Nadia terlalu gampangan karena bisa dekat dengan pria seakrab dirinya dengan Sean.  Nadia memang dekat dengan Sean, teman masa kecilnya. Tetapi ia tidak memiliki perasaan yang lain kepada lelaki itu, selain perasaan sayangnya sebagai seorang adik kepada kakak. Begitu pun rasa yang dimiliki oleh Sean, lelaki yang berusia lima tahun di atas Nadia tersebut, terlampau menyayangi gadis itu, sehingga menganggap Nadia sebagai adik kesayangannya.  "Jika ada orang yang menyakiti kamu, itu sama saja orang itu telah menyakiti aku karena aku adalah kakak yang akan selalu menjaga kamu, hingga ujung nyawaku." Itulah, mengapa Sean teramat membenci Keanan. Karena air mata yang sering mengalir di wajah Nadia, membuat lelaki itu ingin sekali menghajar putra Darmaputra itu habis-habisan, kalau saja Sean diberi izin oleh Nadia. Tapi sayangnya, itu adalah sesuatu hal yang mustahil terjadi.  "Seandainya kamu memberi izin padaku, sekali saja, aku tidak akan menghilangkan kesempatan itu lolos begitu saja." Sean, itulah nama dan sifat yang dimilikinya. Pria yang tak kalah tampan dengan pesona yang Keanan miliki, namun memiliki hati baik dan juga dewasa, meski usianya di bawah suami Nadia itu.  Treet! Treet!  Sebuah getaran dari ponsel miliknya, tiba-tiba terdengar. Nadia melirik. Nama Mama Ranti terpampang di layar. Melalui bluetooth earphone yang tersambung ke ponselnya, Nadia menyapa ibu mertuanya itu.  "Hallo, Ma?" [Hallo, Sayang. Kamu di mana?] "Nadia lagi di jalan, mau berangkat ke kantor. Ada apa, Ma?" [Pulang kerja nanti, apa kamu bisa mampir ke rumah sebentar? Papa mau ada perlu.] "Oh, gitu. Memang papa enggak bisa menyampaikannya di kantor nanti?" tanya Nadia memberi solusi yang masuk akal dan efisien.  [Tidak bisa, papa mau menyampaikannya di rumah.] "Ehm, ya sudah nanti sore Nadia mampir ke sana. Apakah harus sama Keanan?" [Kamu sendiri saja, kami ada perlu sama kamu bukan dengan kalian.] "Beda yah, Ma?" kekeh Nadia, dan terdengar oleh Nyonya Ranti.  [Beda, Sayang. Ya sudah, Mama tunggu yah nanti sore. Kamu hati-hati berkendaranya.] "Siap, Ma!" Nadia memutuskan sambungan teleponnya dengan Nyonya Ranti, ibu angkat merangkap sebagai ibu mertua.  Gadis itu semakin melajukan kendaraannya menuju kantor dengan sedikit menambah kecepatan, demi melihat jalanan yang tidak terlalu padat di jalan tol.  Empat puluh lima menit, ia sampai gedung perusahaan tempatnya bekerja. Turun dari mobil dan menyapa dua orang satpam yang tengah bertugas, berjaga di depan pintu dan di dalam area lobi.  Menyapa seorang petugas meja depan, tersenyum sembari melambaikan tangan. Dan beberapa kali bertemu dan menyapa karyawan lainnya, saat hendak menuju lift untuk mengantarnya ke lantai atas di mana ia bekerja.  "Pagi, Mbak Nad?" "Pagi." Pemandangan yang biasa, melihat para karyawan berlomba menyapa Nadia. Selain gadis itu diketahui adalah istri dari Keanan, salah satu calon pewaris perusahaan, juga karena Nadia adalah seorang gadis yang ramah, periang dan juga menyenangkan, sehingga ia terkenal karena sifatnya tersebut.  "Kalian semangat sekali hari ini, mentang-mentang udah pada gajian," goda Nadia ketika ia baru tiba di ruang divisi keuangan.  Semua karyawan yang ada di sana, tentu saja tersenyum malu. Selain karena benar apa yang dikatakan oleh menantu pemilik perusahaan itu, juga karena hari itu adalah hari terakhir mereka bekerja, setelah hari-hari yang melelahkan dengan segala rutinitas harian kantor, untuk esok menyambut weekend, hari paling disenangi oleh kebanyakan orang. Time for holiday. Begitu slogan mereka setiap menyongsong hari sabtu dan minggu.  *** Keanan sampai setengah jam kemudian. Lelaki itu datang tepat sebelum aktifitas harian kantor dimulai. Sekretarisnya, sempat heran melihat wakil direktur itu datang di jam yang tidak wajar.  Tidak wajar bagi Keanan. Karena biasanya, lelaki itu akan tiba di kantor tidak kurang dari jam sepuluh setiap harinya. Hal yang membuat cukup tercengang bagi siapa saja karyawan yang tahu --jam masuk kantor putra mahkota itu-- kini seolah sedang menerapkan ilmu disiplin yang ia punya.  "Kamu ke ruangan saya!" perintah Keanan, ketika akan masuk ke dalam ruangannya, kepada sang sekertaris.  Sekertaris wanita, bernama Ana itu, membawa sebuah tablet di tangannya, kemudian mengikuti Keanan ke dalam ruangan.  "Schedule saya hari ini?" "Hari ini tidak ada schedule penting, hanya memeriksa beberapa berkas yang sudah menumpuk sejak kemarin dan belum bapak periksa atau revisi sama sekali." Menunjuk tumpukan berkas yang ada di atas meja Keanan, dan tersenyum.  "Baiklah, dengan begitu saya bisa fokus menyelesaikan ini semua tanpa ada kegiatan di luar," ujar Keanan, berkata pada dirinya sendiri.  "Ya sudah, kamu boleh keluar." Memerintah sekertarisnya untuk keluar.  Belum juga kedua kaki dengan sepatu high heels itu melangkah, Keanan menghentikannya.  "Tunggu, An!" sergah Keanan.  "Iya, Pak?" "Minuman saya mana?" Menunjuk meja, di mana biasanya ada dua jenis minuman ada di sana.  Raut terkejut hadir di wajah Ana.  "E-eh, maaf, Pak. Saya belum siapkan. Maaf, sebentar saya ambilkan." Dengan tergesa wanita itu pergi dari ruangan Keanan. Ia merasa bodoh atas kelalaiannya, meski dalam hati menyalahkan Keanan yang tidak biasanya hadir di kantor, di jam yang sangat awal.  Keanan hanya menggelengkan kepala. Bagaimana bisa sekertarisnya melupakan hal yang remeh seperti itu.  Lelaki itu kemudian menyalakan laptop yang selalu stand by di atas meja kerjanya, sembari mengambil satu buah map yang terlihat menumpuk di depan. Memeriksa satu persatu lembaran demi lembaran, yang dilaporkan oleh beberapa divisi mengenai laporan bulanan, sebelum Keanan menyerahkan kepada direktur, papanya sendiri --Pak Hari-- yang juga merangkap sebagai presiden direktur, pemilik perusahaan.  Rencananya memang, perusahaan itu akan diwariskan Pak Hari kepada Keanan, sang putra bungsu. Bukan kepada Andre, si sulung. Semua karena permintaan Andre sendiri yang ingin berkarir sesuai dengan passion-nya, yaitu di bidang IT. Sebab itulah, melalui bantuan sang papa, Andre bisa membangun perusahaan sendiri di bawah naungan PT Darma Corp.  Andre bukanlah seorang anak atau lelaki yang haus akan harta dan jabatan, meski pada awalnya ia yang akan menjadi seorang pewaris utama, tetapi demi ambisinya yang ingin menyalurkan disiplin ilmu yang ia miliki, lelaki itu meminta sang papa untuk mengubah keputusannya. Jadilah, sesuai kesepakatan bersama antara ia dan sang istri, PT Darma Corp, akan diwariskan kepada Keanan, dengan catatan putranya itu memiliki kredibilitas sebagai seorang pemimpin yang baik.  Sejauh ini, kedua orang tua Keanan memang tidak berhasil mendidik putranya itu. Putra yang diharapkan akan memiliki sifat yang sama seperti si sulung, Andre, sangat jauh dari harapan.  Keanan memang tidak diberitahu perihal ia yang akan menjadi pewaris PT Darma, Pak Hari enggan memberikan harapan palsu pada putranya itu karena melihat sikap Keanan yang sangat jauh dari harapan.  Baru sebuah ancaman agar dia berubah, dengan cara mengambil semua akses keuangan yang mengalir ke kantongnya. Pak Hari ingin melihat, sejauh mana putranya itu berubah dan mengikuti kemauannya.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD