Bab 3

1315 Words
"Istri? Kamu mengakui aku sebagai istri. Apakah kamu suka bermimpi dalam keadaan mata terbuka?"  "Kau?" teriak Keanan.  Nadia sama sekali tidak terintimidasi oleh sikap Keanan. Hal itu sudah terlampau biasa, sehingga gadis itu sudah kebal jika suaminya itu berteriak-teriak kepadanya.  "Kalau bukan karena papa yang melindungi kamu, sudah aku usir kamu dari rumah ini." "Meskipun papa Hari tidak melindungiku, aku tidak pernah takut akan ancamanmu. Kalau memang itu yang kau mau, kenapa tidak kau lakukan?" "Bisa kamu bicara seperti itu karena sudah berjaya dengan posisimu saat ini. Menghasilkan uang dengan bekerja. Tapi apa kamu lupa, bahwa semua itu tidak lepas dari peran kedua orang tuaku yang membawamu masuk ke dalam kehidupan Darmaputra. Kalau tidak, apa kau yakin akan berada di posisimu sekarang?" Nadia tersenyum sinis. Balik menatap wajah sang suami dengan tajam.  "Aku akan sampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tuamu, tenang saja." Membalikkan badan, dan meninggalkan Keanan yang masih berdiri mematung menatap istrinya tak percaya.  "Sial!" umpat Keanan setelah istrinya tak lagi terlihat karena sudah masuk ke dalam kamar. Melempar jas ke atas lantai, dengan wajah memerah menahan emosi.  "Perempuan itu sangat pandai berakting." Keanan selalu saja kalah jika berbicara dengan Nadia. Padahal lelaki itu tahu, gadis yang selalu menutup aurat itu, menyukai dirinya sejak dulu. Tapi, kenapa sikap itu tidak Nadia perlihatkan jika sedang berdua dengannya, yang ada hanya pertengkaran yang menghiasi kehidupan rumah tangga mereka.  *** Menutup pintu, tubuh gadis itu melorot ke lantai. Menundukkan kepalanya ke atas lutut yang terlipat. Lambat laun, tangisan itu terdengar. Suasana kamar yang selama satu bulan sudah ia tempati, menjadi saksi jatuhnya air mata yang keluar dari si pemilik mata dengan bulunya yang lentik.  Nadia tidak pernah mau seperti itu. Acap kali bertengkar dengan Keanan, pria yang sebetulnya ia cintai sejak dirinya tinggal di rumah besar keluarga Darmaputra. Tapi, lelaki itu selalu memancing dirinya di saat mereka tidak memiliki masalah apapun untuk diributkan.  Kesabaran itu memang tidak ada batasnya, tetapi sekuat apakah ia mampu bertahan dengan kondisi yang tidak sehat dengan hubungan dirinya dan sang suami.  Teringat akan pertemuannya tadi dengan salah satu kerabat jauh dan juga teman masa kecilnya, yang memberitahu jika kedua orang tuanya meninggalkan harta warisan untuk dirinya, membuat ia sedikit berpikir.  "Kenapa Papa Hari tidak memberitahuku?" tanya Nadia kepada orang itu.  "Sesuai permintaan dari orang tua kamu melalui pengacara. Harta warisan itu akan jatuh kepadamu saat usia kamu sudah dua puluh satu tahun. Usia itu dianggap matang untuk mengelola harta orang tuamu yang ditinggalkan." "Tapi kenapa kamu memberitahu aku, Sean? Dan juga dari mana kamu tahu?" tanya Nadia kepada pria muda itu.  "Aku tahu dari kedua orang tuaku. Dan pernikahanmu yang aku rasa tidak berjalan mulus, membuatku terpaksa mengatakan hal ini." "Kenapa begitu? Apakah ada alasan yang mendasari lebih dari sekedar hubunganku yang tidak baik dengan Keanan?" "Tidak ada. Jujur saja, aku terlampau kesal melihat kamu selalu menangis akibat ulah lelaki itu. Aku cukup mengerti dengan perasaan kamu sama dia. Tapi apakah harus setiap saat kamu bertemu denganku, hanya untuk menceritakan pertengkaran kalian?" "Kamu tidak senang kalau aku bertemu dengan kamu cuma curhat doang?" sela Nadia menatap sayu pada Sean.  "Bukan aku tidak senang, Nad, aku sangat senang malah. Tapi kalau ujung dari curhat kamu itu mengeluarkan air mata, aku jadi kesal. Aku seolah menjadi teman yang tidak bisa berbuat apapun." "Maafkan aku, Sean. Jika tangisan aku membuat kamu kesal." "Enggak apa-apa, Nad. Aku cuma pingin kamu jangan pernah meneteskan air mata untuk lelaki itu lagi. Kamu mau janji 'kan?" Ketika itu, Nadia mengangguk menyetujui. Tapi kini, di tengah malam buta di dalam kamar, setelah pertengkaran kesekiannya dengan Keanan, ia mengingkari janjinya.  "Maafkan aku, Sean." *** Pagi hari, dengan penampilan yang sudah rapi hendak pergi ke kantor. Nadia mengecek beberapa email yang masuk melalui ponselnya, bersama hidangan sarapan yang telah siap di meja makan.  Ada beberapa email yang masuk, berhubungan dengan pekerjaan. Mengecek juga banyak chat yang masuk di aplikasi pesan si hijau. Salah satunya ada pesan dari Dara, yang seperti biasa, jika tidak ada yang mengantar sahabatnya itu pergi bekerja, maka ia akan meminta Nadia untuk melewati halte tempat gadis itu turun angkutan umum, yang mengangkutnya dari rumah.  "Tadi ada telepon dari Nyonya," ujar Bi Darmi yang tengah menyiapkan teh, memberitahu Nadia.  "Mama Ranti telepon? Kok tumben?" "Iya, katanya nelepon Non Nadia, tapi HP-nya enggak aktif." "Oh, iya, HP saya baru aja diaktifin tadi." Gadis itu terkekeh. "Terus, Mama Ranti nitip pesan apa?" "Katanya, kalo Non Nadia udah bangun, disuruh telepon balik." "Oh gitu. Ok deh. Makasih yah, Bi?" Tersenyum gadis itu menatap wajah asisten rumah tangganya.  Bi Darmi yang menyaksikan pertengkaran dua majikan mudanya semalam, hanya bisa menggelengkan kepala demi melihat nona mudanya itu bisa bersikap biasa lagi pagi hari ini dengan wajahnya yang selalu ceria terhadap siapa pun.  Nadia sudah hampir selesai dengan sarapannya, ketika mendengar sebuah ketukan sepatu yang beradu dengan lantai tangga, terdengar semakin jelas menghampiri.  Kehadiran Keanan, cukup mengejutkan Nadia dan juga Bi Darmi. Betapa tidak, biasanya setelah gadis itu berangkat bekerja, pria itu baru turun dari kamarnya, itu pun dengan penampilan yang masih acak-acakan khas orang bangun tidur. Tapi kini, Keanan nampak berbeda dengan setelan jas hitam kemeja biru muda tanpa dasi, juga rambut yang terlihat rapi tersisir.  Sekian detik Nadia terkejut, tapi sedetik kemudian ia bisa mengendalikan perasaannya, dan berusaha tidak peduli.  Keanan yang tidak bisa menebak garis muka sang istri, sedikit ada rasa kecewa melihat istrinya itu menganggap dirinya seolah tidak ada.  Entah apa yang lelaki itu rasakan, mengapa pagi itu ia seperti ingin dinilai oleh sang istri akan penampilan dan juga sikapnya yang pagi itu sudah hadir di tengah-tengah mereka.  "Tumben kamu belum berangkat?" Salah pertanyaan. Keanan menyadari itu, namun urung diralat karena rasa egonya yang tinggi.  "Aku yang tumben belum berangkat, atau kamu yang tumben jam segini sudah turun dan sarapan?" Berkata pelan, namun menusuk, gadis itu menjawab.  Wajahnya tetap fokus memotong roti di atas piring, dengan potongan omelet yang tersisa sedikit, dengan saos sambal di atasnya.  Keanan yang mendengar jawaban dari Nadia, kembali tersulut emosi.  "Bicara dengan kamu kayanya enggak pernah bener. Lama-lama aku malas ngomong sama kamu," hardik Keanan sembari menjatuhkan tubuhnya di atas kursi makan.  "Enggak ada yang nyuruh kamu bicara sama aku. Lagipula gimana lawan bicara kamu akan berkata dan menjawab dengan benar, kalau pertanyaan yang kamu ajukan pun salah." Gaya bicaranya yang santai namun nyata menyindir, tentu saja membuat Keanan semakin kepanasan.  Lelaki itu enggan membalas ucapan yang Nadia lontarkan. Entah mengapa suasana pagi harinya sedikit bagus. Ia tidak terlalu terpancing untuk kembali berdebat dengan Nadia, meski di dalam hatinya dongkol luar biasa.  "Bi, aku berangkat dulu yah?" Nadia bangun dari duduknya, dan menatap wanita paruh baya itu, yang sejak keduanya ada di meja makan, tetap berdiri di sana memandang khawatir.  "Hari ini aku lembur Bi, lagi banyak kerjaan. Kalau Bibi udah ngantuk pas aku belum pulang, Bi Darmi tidur aja duluan. Biar nanti aku bawa kunci cadangan." Bukan kepada Keanan, gadis itu bicara, tetapi ia malah berkata pada asistennya itu, mengenai dirinya yang kembali harus pulang telat.  "Lepas saja jilbabmu itu, kalau kamu tidak tahu bagaimana adab dan tingkah lakumu terhadap suami." Keanan yang bicara di posisinya, tanpa menengok sama sekali ke arah Nadia, telak menyindir sang istri.  Hal itu cukup membuat Nadia tersentil. Dengan senyum manis memandang Bi Darmi, Nadia merespon kalimat sindiran dari mulut Keanan kepadanya.  "Suami dengan pikiran seperti apa, yang menghubungkan jilbab dan juga adab. Suami yang seperti apa yang ingin diperlakukan dengan adab yang baik dari istrinya, sedangkan ia sendiri tidak memiliki adab yang sama baiknya terhadap sang istri. Jangan mendadak jadi manusia yang sok bijaksana, tapi hati dan tingkah laku sendiri belum berubah." "Saya berangkat, Bi, assalamu'alaikum?" Nadia meninggalkan ruangan yang telah berubah atmosfer-nya karena pertikaian keduanya yang seolah tidak Tuhan takdirkan untuk berdamai.  "Perempuan itu, selalu saja!" teriak Keanan sambil melempar sendok ke arah piring, mengakibatkan suara klontang yang cukup keras terdengar.  Bi Darmi kembali hanya bisa terdiam, lagi-lagi melihat kedua majikannya bertengkar.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD