Bab 2

1399 Words
Nadia dan Dara tengah menikmati waktu sorenya dengan berkeliling mall. Mereka memang baru saja menerima gaji dari kerja mereka selama sebulan kemarin. Namun, hanya Dara yang rencananya memang ingin mencari baju yang ingin ia beli. "Cari baju apa, Ra?" tanya Nadia ketika keduanya masuk ke dalam salah satu outlet pakaian. "Baju buat kerja, Nad." Melirik sahabat di sebelahnya. "Baju kerja aku udah pada sempit. Maklum, badan aku kan sekarang sedikit melar," cengenges Dara. "Segini sedikit, gimana banyaknya?" goda Nadia. "Iya, iya, aku tahu, badan aku gendut sekarang." "Siapa yang bilang kamu gendut, kamu itu seksi." "Hadeuh, Nad, jangan bikin aku melayang deh, gara-gara kata seksi itu." Nadia hanya tertawa menanggapi protes dari Dara. "Kamu memang akan terlihat seksi kalo pakai baju yang terlalu ketat, Ra." "Aku belum bisa kaya kamu, menutup aurat." "Aku enggak nyuruh kamu pake jilbab kok, cuma beri napas sedikit lah sama badan kamu itu, kasihan." "Nadia!" "Haha, maaf, maaf. Becanda aja kali, Ra." Dara masih cemberut ketika seorang pramuniaga menghampiri keduanya. "Ada yang bisa saya bantu?" Si pramuniaga menawari. "Saya mau cari setelan kerja gitu, tapi kita mau lihat-lihat dulu, Mbak. Bolehkan?" "Oh, silakan. Kalau boleh saya sarankan, Mbak bisa lihat koleksi sebelah sana, baru datang dua hari yang lalu." "Gitu yah, ok deh. Kita nanti lihat ke sana." Setelah menyapa Dara dan Nadia, si Mbak-nya pun pergi, menyapa pengunjung yang lain. Dara masih sibuk melihat-lihat koleksi pakaian yang ada di outlet itu ketika suara ponsel milik Nadia, terdengar berdering. "Sebentar yah, Ra?" Dara hanya mengacungkan ibu jarinya, melanjutkan melihat-lihat baju yang tergantung. "Iya, hallo!" "Iya, sebentar lagi aku ke sana." "Jadi ... iya, tunggu aja yah." Nadia memutuskan sambungan teleponnya dengan seseorang. Kemudian menyambangi Dara yang masih sibuk mengambil baju dari gantungan, untuk dilihat lebih jelas. "Udah dapat baju yang dicari?" tanya Nadia. "Ada sih, Nad, tapi aku bingung pilih warnanya, bagus-bagus soalnya." "Mana baju yang kamu incer?" Dara mengambil dua blouse dari rak gantungan. Memperlihatkan kedua baju itu ke depan wajah Nadia. "Yang mana menurut kamu?" tanya Dara meminta saran. Nadia menaruh jemarinya di bawah dagu, seolah menjadi seorang fashion stylish, gadis itu mengamati dengan teliti. "Yang ini menurut aku!" Nadia menunjuk sebuah blouse berwarna dusty pink. "Emang cocok sama aku yang punya tubuh begini?" kata Dara tak percaya diri. "Cocok kok. Memangnya kamu mau selalu pakai warna hitam atau abu-abu gelap terus? Enggak gitu juga kali, Ra." "Ehm, ok deh, aku ambil yang ini." Dara mengambil baju itu dan berjalan ke rak yang lainnya. "Belum beres juga?" protes Nadia pelan. "Rok sama celananya belum, Nad. Emang mau ke mana sih, kayanya kamu buru-buru gitu? Siapa yang tadi telepon memangnya?" "Temen. Iya aku ada janji jam tujuh nanti." "Sekarang baru jam enam. Sebentar lagi yah?" Melihat ke layar ponselnya, untuk mengetahui waktu. "Ya udah, tapi jangan lama-lama yah, aku belum salat maghrib nih." "Ok!" Benar sesuai ucapan Dara, tidak sampai setengah jam, gadis itu mendapatkan semua yang ia cari. Kini, setelah selesai mengunjungi sebuah outlet, Nadia memilih mencari mushola yang ada di area mall. "Kamu mau ikut enggak?" ajak Nadia. "Aku 'kan lagi enggak salat. Kamu aja deh." "Ya udah, terus kamu mau pulang apa gimana?" "Aku pulang aja yah, enggak apa-apa kan, Nad, aku enggak nungguin kamu?" "Ya, enggak apa-apa. Tapi kamu jadi pulang naik angkutan umum dong." "Enggak apa-apa, nanti aku naik taksi online aja." "Ya udah kalo gitu, sorry yah, Ra." "Enggak apa-apa kali, Nad. Aku yang harusnya minta maaf, aku yang minta anter belanja eh malah ninggalin kamu." "Nyantai aja." Akhirnya mereka berpisah. Nadia yang belum melaksanakan salat maghrib, pergi mencari mushola yang ada di lantai basement mall, dekat parkiran mobil. Sedangkan Dara, langsung pulang setelah memesan taksi online. *** Di dalam sebuah kamar apartemen, sepasang lelaki dan perempuan tengah menikmati sentuhan dari masing-masing keduanya. Keanan, lelaki itu. Ia sedang bergulat panas dengan Maura, di dalam kamar apartemen sang kekasih. Beruntungnya di dalam apartemen tidak ada penghuni lain, sehingga suara desah nafas yang keluar dari mulut keduanya leluasa mereka keluarkan, tanpa khawatir ada yang mendengar dan terganggu. Maura, memang tinggal sendiri di apartemen itu. Kedua orang tuanya tidak tinggal di Indonesia. Mereka tinggal di luar negeri sejak tiga tahun lalu karena tugas sang ayah dari perusahaan tempatnya bekerja. Maura adalah seorang model. Ia sudah menekuni bidang itu sejak masih kuliah. Kini di usianya yang sudah menginjak angka dua puluh delapan tahun, Maura semakin bersinar dengan segala pesona dan tubuh yang ia miliki. Keanan sudah menjalin cinta dengan Maura selama satu tahun belakangan. Awal pertemuan keduanya, kala itu Keanan yang diundang oleh salah satu brand produk, yang bekerja sama dengan perusahaan sang papa, hadir dalam sebuah pagelaran fashion show. Di sana Keanan bertemu dengan Maura yang saat itu menjadi model catwalk. Berbekal informasi dari rekannya lah, Keanan akhirnya bisa berkenalan dengan Maura dan menjalin cinta hingga sekarang. "Aku diberi waktu dua bulan oleh papa supaya merubah kebiasaan burukku selama ini," ujar Keanan, beranjak dari tempat tidur yang tampak berantakan akibat aksi keduanya. Keanan bercerita kepada Maura, setelah kegiatan olahraga malam mereka usai. Maura yang saat itu sudah mengenakan lingerie-nya, memberikan segelas minuman kepada sang kekasih, yang duduk di sofa. "Merubah apa saja yang papa kamu mau?" tanya Maura yang memilih duduk di samping Keanan. "Ya, seperti kinerja aku dalam bekerja di perusahaan dan merubah kebiasaanku bersenang-senang juga berfoya-foya." Menaruh gelas di atas meja. "Oh, come on, Beb! Apa papamu itu tidak pernah muda seperti kita sekarang? Kenapa ia terlalu kolot begitu." "Justru papa pernah muda, Sayang, sehingga ia mau jika aku sebagai putranya memiliki tanggung jawab dalam kehidupan aku mendatang." "Ya, tapi apa harus dengan menghentikan kegiatan panas kita juga, salah satunya?" tanya Maura dengan suara manja. Keanan melirik sang kekasih dengan menampilkan senyum manis, menarik wanita itu dan mendudukkannya di atas pangkuan. "Tentu saja tidak, Sayang. Kita hanya mengurangi saja frekuensi pertemuan kita. Karena aku yakin sekali, waktu aku akan habis tersita di kantor untuk bekerja." Mengecup pipi kekasihnya dengan lembut. "Apa kamu tidak bisa menolaknya?" Memejamkan kedua matanya, menikmati sentuhan bibir Keanan di seluruh wajahnya. "Bisa saja aku menolak, tapi papa akan memblokir semua akses keuangan aku. Apa kamu mau, memiliki kekasih yang miskin seperti itu?" Sontak saja ucapan Keanan membuat Maura terkejut. Bagaimana bisa ia hidup dengan lelaki yang tidak memiliki banyak uang. Seorang lelaki yang tidak bisa membelanjakan dirinya setiap minggu, dari tas, baju dan sepatu. Juga tidak bisa menggelontorkan uang yang tidak sedikit untuk perawatan seluruh tubuhnya. Wanita itu tentu tidak mau. "Aku tidak mau," sahut Maura dengan gaya manjanya. "Maka dari itu, dukung aku menjadi seseorang yang papaku inginkan. Ok, Sayang?" Menarik tengkuk sang kekasih agar mendekat. "Ehm, baiklah." Menjawab dengan tidak puas. Keanan menempelkan bibirnya di atas bibir Maura. Memagut dengan penuh nafsu, menikmati rasa yang luar biasa. *** "Baru pulang, Non?" tanya Bi Darmi saat membukakan pintu untuk nona mudanya itu. "Iya, Bi. Tuan udah pulang?" "Belum, Non." Nadia melihat jam di pergelangan tangannya. Pukul sebelas lewat. "Ya sudah, saya ke kamar dulu. Bibi tidur saja. Nanti kalo tuan Keanan mengetuk pintu, biar saya yang bukakan." "Jangan, Non. Biar Bibi saja." "Sudah, enggak apa-apa. Saya yang akan membukakan pintunya. Sudah Bibi tidur saja sana." "Ya sudah, kalau begitu. Bibi permisi, Non." "Ya." Nadia menuju ke dalam kamarnya yang berada di lantai satu dekat dengan ruang keluarga. Perempuan itu sengaja pindah kamar dari lantai atas karena enggan mendengar suara-suara menjijikan yang terdengar dari dalam kamar suaminya itu. Suara-suara yang saling bersahutan jika kekasih Keanan datang menginap di rumah mereka. Baru saja selesai acara berendamnya, Nadia mendengar suara bel pintu rumah dari luar. Masih menggunakan bathrobe dari kamar mandi, Nadia berjalan menuju ke ruang tamu. Mengintip dari jendela, untuk memastikan sosok yang ada di luar. Keanan berdiri di sana, menunggu pintu dibuka dari dalam. Nadia segera memutar knop kunci pintu rumah supaya terbuka dan suaminya bisa masuk. "Lama sekali!" hardik Keanan ketika melihat pintu dibuka oleh Nadia. "Aku baru selesai mandi, jadi sempat tidak dengar suara bel." "Mandi? Apa kamu baru pulang juga?" "Sudah satu jam yang lalu." "Kenapa tidak pulang saja sekalian. Ingat, kamu itu sudah punya suami, jadilah istri yang baik, jangan memalukan suami kamu dengan masih keluyuran di luar sampai larut malam." Keanan nampak emosi. "Apa aku enggak salah dengar. Orang macam apa yang berkata sok bijak seperti tadi." Nadia membalas tak kalah emosi. "Hei, kamu itu istri aku, jadi wajar kalau aku mengingatkanmu!" Kedua mata yang membulat milik Keanan, menatap tajam ke arah netra berwarna coklat milik sang istri. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD