Satu

1711 Words
Bu Anih merasa kepalanya pusing sekali sekarang. Ditatap sampai tujuh kali atau lima belas kali pun, begundal di hadapannya memang tidak bisa meringankan migrain. Yang ada tekanan darahnya malah naik. Kacamata yang setia bertengger di hidungnya sampai merosot karena guru BK satu itu sempat menghembuskan nafas dengan wajah tertunduk. Saat mengangkat muka lagi, siswa badung di depannya malah diam memandangi figura foto presiden, sengaja menghindari tatapan. Bu Anih menghela nafas lagi. "Tonjok orang yang lagi lewat pagi-pagi. Siangnya ketahuan mau bolos lewat gerbang belakang. Sore ini apa lagi? Mau bikin keributan di stadion GBK? Enggak sekalian bakar sekolah ini aja, Gabriel?" Dan Gabriel cuma diam saja. Di bawah meja, telunjuk lelaki itu mengetuk-ngetuk punggung tangannya yang lain. Lalu diam-diam melirik jam dinding. Hampir dua puluh menit dia mendapat siraman rohani di ruang BK. Rahangnya mengeras dan cuma bisa mendecak pelan, pelan sekali. "Ngapain lihat-lihat foto presiden? Mau kamu ajak berantem juga?" omel Bu Anih. Gabriel langsung menurunkan pandangannya. "Kamu tuh..." Bu Anih ingin memaki-maki, tapi mengingatkan diri sendiri bahwa siswa bandel itu adalah anak orang penting -yang mana rekan bisnis pemilik yayasan sekolah, akhirnya hanya meneguk ludah. "Kamu tuh belajar aja yang bener, bisa nggak, sih? Nilai kamu udah tergolong bagus, tapi catatan kriminal juga penuh. Pusing ibu, pusiiing ini," Bu Anih mengetuk-ngetuk dahi. Bibir tipisnya jadi terlihat amat julid kalau lagi geregetan. Bukan geregetan karena tingkah nakal Gabriel, tapi lebih geregetan karena tidak bisa menghukum apa-apa. Andai saja ini bukan Gabriel, surat drop out sudah dikirim sejak tahun lalu. "Ini terakhir kalinya, ya, kamu buat ulah." Terakhir kali yang entah sudah keberapa puluh kali Bu Anih tekankan. "Kamu tuh udah kelas dua belas. Tinggal ujian doang, lulus, udah. Tahan itu tangan kamu biar enggak melayang kesana-kemari. Bisa ya, Gabriel?" Mustahil. Gabriel mengangguk. "Yaudah sana pulang. Ini bahkan udah lewat jam pelajaran. Ck, kalau kamu enggak banyak tingkah, dua puluh menit yang lalu kamu udah keluar gerbang. Besok-" Padahal Bu Anih mau ngomel lagi, tapi Gabriel langsung berdiri dan membuat guru BK itu jadi tersentak diam. "Sudah sana sana! Pusing saya lihatnya." Ya, memangnya cuma dia doang yang pusing? Kuping Gabriel penging daritadi mendengar ceramah yang itu itu melulu. Saat Gabriel keluar dari ruang BK, tiga pemuda yang tadinya duduk-duduk menyender di tembok kompak berdiri. Mereka langsung mengerubungi Gabriel, udah kayak keluarga korban yang menunggu dokter keluar dari ruang ICU. "Udah, Ga?" tanya Sergio. "Ah anjir lama banget, kepala gue ampe doyong-doyong udah mau merem barusan," Regal menyambung. "Gimana? Kuping lo oke, kan? Perlu ke THT nggak?" tanya Rafa, segera dihadiahi geplakan dari Gabriel. "Minggir, gue mau pulang," Gabriel mendorong-dorong ketiga pemuda itu. "Ah sialan sekali. Udah kayak lampu ijo lo, ditungguin lama-lama, pas dateng malah ditinggal," Regal protes. "Iya. Kan sakittt," Rafa meremas seragamnya. "Sakit mana sama ditikung temen sendiri?" Sergio menyahut. "Nah, kalo itu no comment," balas Regal. Rafa langsung menoyor. "Itu untuk anda, kisanak!" Gabriel yang mendengar ocehan-ocehan tidak penting itu memejamkan mata mencoba menahan diri agar tidak meledak. Tadi dia sudah mau muntah dengarin omelan Bu Anih, ini sekarang anak-anak bebek malah menambah kemualannya. "Minggir," desisnya. Tidak ada yang mendengarkan. "Eh tapi gue enggak nikung lo ya, Gi," Regal masih menimpali tuduhan Sergio untuknya. "Enggak nikung, cuma bobo bareng doang, nuhinahinu semalaman." Rafa malah mengompori. "Eh anjing! Minggir!" Memang harus digas dulu baru pada kicep. Gerah sekali Gabriel melihat kelakuan teman satu gengnya ini. Kalau saja bukan karena masih di depan ruang BK, rasanya pengen dia jedukin satu-satu. Rafa dan Regal langsung memberi jalan untuk sang bosgeng, dan membiarkan cowok beraura gelap itu pergi melengang diiringi tatapan mereka. "Dasar anjing," desis Regal menatap bayangan kosong. Rafa menoyor. "Elu, Madih!" Regal balas menoyor. "Lo sama aja, Kuyang!" Sergio hanya geleng-geleng kepala. Lalu pintu ruangan itu terbuka dari dalam, Bu Anih keluar siap-siap pulang juga. Mata sendu tapi galaknya langsung bergantian memandangi tiga murid yang berdiri di depan pintu. "Eh, ibu cantik," Sergio yang biasanya kalem langsung nyengir dan menyalami Bu Anih. "Selamat sore, bu," Regal dan Rafa ikut bergantian menyalami. "Tadi Gabriel kenapa, bu? Nakal lagi ya dia?" tanya Regal basa-basi, padahal sih dia juga sudah tahu duduk perkaranya. "Basi kamu! Kalian sama aja! Rabu kemarin baru keluar dari sini, ngapain kalian berdiri depan pintu? Mau saya suruh nyapu taman lagi?! Minggir!" Ketiganya segera mundur untuk memberi jalan. "Ibu tuh, kalau ngambek jadi cantik, saya suka, semoga Ibu makin galak ya," Sergio memang paling senang menggoda Bu Anih, walaupun aslinya cuek dingin bagaikan gunung es. Pacarnya saja jarang dia godain, tapi kalau sudah ketemu guru BK ini pasti selalu senyam-senyum tengil. "Saya makin galak biar darah tinggi? Biar cepet mati kan, maksudnya?!" Bu Anih mendaratkan buku catatan ke kepala Sergio. "Parah tuh, Bu, Gio. Masa gitu, Bu, nyumpahin mati masa," Rafa itu kompor banget, jangan dekat-dekat dengan Rafa jika kalian sedang punya masalah dengan orang lain, atau akan berakhir dengan musuhan seumur hidup. "Awas awas! Pusing saya lihat gengnya Gabriel, nggak ada otak! Gabriel nggak ada otak! Temannya nggak ada otak! Semua nggak ada otak!" omel Bu Anih kesal, lalu pergi dengan wajah amat judes. "TUH KAN BU! KALAU GALAK MAKIN CANTIK AJA, DEH!" Teriak Sergio masih menggoda saat Bu Anih sudah menjauh, lalu terbahak sendiri, lalu tawanya surut lagi, dan wajah itu kembali kalem. Rafa menggeleng tidak mengerti terkadang dengan tingkah Sergio. "Lo tuh jadi agak stress semenjak tau Regal tidur sama Ashilla, Gi. Ngapa sih?" Ia menyebutkan nama pacar Sergio. Si bangcaaaat! Regal memaki dalam hati, tapi cuma bisa menggaruk telinganya walau tidak gatal dan menghindari tatapan. "Iya kayaknya, anjing semua temen gue tuh!" seru Sergio, akhirnya memilih pergi lebih dulu meninggalkan Rafa dan Regal. Baru setelah satu temannya itu pergi, Regal buru-buru menjitaki Rafa dan menaboki mulutnya. "Cangkem nih cangkem! Kalau sekolah akhlaknya jangan ditinggalin di rumah! Setan banget lo!" Dan Rafa malah terpingkal puas. . . *** . . Gabriel: Udah pulang? Kaella: Baru nyampe, pulang bareng Sera barusan Gabriel: Kenapa lo nggak tungguin gue, sih? Kaella: Udah ditungguin, tapi lama. Gabriel: Nggak sabaran Kaella: Siapa suruh bikin ulah mulu Gabriel: F*uck, Kael. Buruan sini ke markas. Kaella: Capek Gabriel: Perlu gue samperin ke rumah lo? Kaella: Gila kali ya! Gabriel: Tunggu bentar Kaella langsung terperanjat panik hampir melempar ponselnya. "Kenapa batu banget, siih?!" Gadis itu bahkan belum sampai di kamarnya, baru di ruang tamu. Dan Haidar yang lagi nonton acara motoGP langsung menoleh. "Batu apaan?" Kaella baru menyadari kehadiran Haidar. "Elo batu!" Dia jadi kesal. Kesal kenapa Haidar dan Gabriel harus bermusuhan, dan dia yang pusing. "Eh, si sayang kurang ajar," Haidar tidak peduli dan melanjutkan kegiatannya dengan khusuk. "Si Rosi kenapa sekarang kalah mulu, sih? Ah jagoan gue!" dumelnya. Pandangan berat Kaella menatapi Haidar, bibirnya melengkung sedih. Segalanya jadi serba sulit saat gebetan bermusuhan dengan sepupu sendiri. Apa yang dilakukan Kaella pasti harus dipikir ulang lagi. Bahkan untuk jalan bersama Gabriel, dia harus putar otak agar jangan sampai ketahuan oleh Haidar, dan anak buahnya yang herannya banyak juga. "Lo kok di rumah, sih?" Kaella bertanya. "Emang ngapa sih? Keluyuran mulu dibilang gak inget pulang, giliran udah di rumah dijulidin juga. Astaga, apa salah dan dosaku sayang?" Kaella berdecak malas dan memilih berlalu ke kamarnya. "Biasanya juga gitu, keluyuraan mulu, sampe lupa nggak ikut ujian, nggak lulus sekolah." "Etdah diungkit mulu!" Haidar jadi menengok jengkel. "Gue yang nggak lulus, lo yang ribet. Bokap gue aja nyantai. Heran deh, sepupu masa gitu!" serunya sensi. "Nyenyenyenye!" "Mulut lo Kael! Gue lempar remote dari sini kesitu nyampe, nih! Kena otak lo dah geser pasti," Haidar mengancam sambil mengangkat remote. Dibalas juluran lidah oleh Kaella. Tepat sebelum Kaella memutar kenop pintu kamar, suara bel rumah terdengar. "Tumben ada tamu," Haidar beranjak heran. Mata Kaella membola waspada. Jangan bilang tamu itu adalah Gabriel! Tidak! Jangan sampai terjadi huru-hara di rumah ini! Kaella buru-buru melesat lagi ke bawah dengan jantung yang berdetak kencang. Hampir teriak saat Haidar lebih dulu membukakan pintu. Dan Kaella menggigit bibir pasrah saat itu juga. Dengan gerakan amat pelan cewek itu mendekat takut. Lalu mengintip di belakang punggung Haidar, dan menemukan seorang abang-abang kurir yang berdiri memegang paket. "Rumah Pak Kabul?" Haidar mengernyit bingung, lalu menoleh ke belakang. "Emang di kompleks kita ada yang namanya Pak Kabul, ya, Kael?" Kaella memejamkan mata sambil menghela nafas lega. Hampir saja dia jantungan jika menemukan Gabriel yang jadi tamunya. "Nggak tau," jawabnya lemas. "Nggak tau, Mas. Coba deh, tanya ke rumah yang ada warungnya, biasanya pasti tau tuh ampe tetangga paling ujung juga," saran Haidar. Akhirnya abang kurir itu mengangguk dan permisi pergi. Haidar diam lama memandangi si abang kurir sampai benar-benar tidak kelihatan motornya. Lalu termenung. "Kasihan ya, harus nyari alamat kesana-kemari, entar tau-tau alamat palsu lagi," gumamnya lalu menutup pintu dan berbalik, seketika wajah Kaella yang lemas langsung terpampang di depannya. Tapi Haidar memilih melanjutkan menonton siaran balapan yang sempat tertunda. "Wah anjir si Rosi udah pertama, coy!" Kaella menghembuskan nafas panjang. Gara-gara parno dengan praduganya sendiri, kakinya sampai lemas. Cewek itu menyender ke pintu sambil mengelus d**a. Tiba-tiba terdengar lagi suara ketukan dari luar, membuat tubuh Kaella refleks menegak. Dengan gerakan pelan ia membuka pintu sedikit, cuma memperlihatkan kepalanya saja, Kaella melongok keluar. Matanya berhasil membulat sempurna mendapati Gabriel benar-benar berdiri di hadapannya. Anjrit!!! Dari dalam Haidar berseru. "Siapa Kael? Abang kurir lagi? Bilangin suruh tanya ke tukang warung! Rosi mau juara, nih!" . . *** . . "Lo tuh ngapain sih, ih! Cari mati tau enggak! Kalau tadi Haidar lihat gimana?" Kayaknya Kaella belum puas mencerca Gabriel sejak tadi di dalam mobil. Dan Gabriel yang diam saja dianggap menerima kegelisahan Kaella, padahal dia cuma lagi fokus menyetir saja. "Laper, nggak?" Kaella menghempaskan punggungnya ke jok dengan kesal. Tak terasa karena parno dia jadi sensitif memarahi Gabriel. Padahal, kalau cowok itu marah, Kaella mingkem juga. "Lo laper?" dia malah balik tanya. Gabriel mengangguk tenang. "Pengen makan lo. Daritadi enggak berhenti ngomel. Berisik." Kaella memutar bola matanya. Mobil Gabriel berhenti di pelataran kosong yang tidak jauh dari markas, dijadikan tempat parkir untuk kendaraan pribadinya, juga tempat parkir untuk anggotanya yang lain. Padahal tadi nanyain lapar atau enggak, yang tanpa perlu dijawab pasti Kaella lapar. Pulang sekolah dan belum sempat makan apapun sejak istirahat jelas membuat perutnya keroncongan. "Katanya laper?" Gabriel mendekat dan segera meraih tengkuk Kaella. "Dibilangin pengen makan elo," katanya dingin sebelum membungkam bibir Kaella dengan sentuhan bibirnya. . . ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD