5 - Hilang Kendali

1290 Words
Kata mama Ratna, ibu sambung ku, ketampanan itu relatif, dan beliau bilang ketampanan yang aku punya ini sudah benar-benar paripurna. Apalagi aku anak sulung dan satu-satunya anak lelaki papa Prasetyo. Aku punya satu adik perempuan, hanya selisih 2 tahun di bawahku. Namanya Felisa. Mungkin karena cuma dua bersaudara itu, aku jadi ganteng maksimal dan adikku juga cantik maksimal. Teori dari mana? Dari aku dong ... haha. Tapi entah kenapa, dengan wajah ganteng ku ini susah sekali membuat Sita menoleh dan betah menatapku. Tipe dia seperti apa sih? Masa iya hanya karena usiaku yang di bawahnya dia jadi tak percaya saat aku mengutarakan perasaanku tadi. Nyebelin kan hanya dianggap bocah kecil oleh wanita yang kita sayangi. Selama perjalanan pulang, aku sering melirik bahkan mencuri pandang pada gadis yang duduk anteng di sebelahku. Sita malah terlihat begitu asiknya sibuk bertatapan mesra dengan ponsel di tangannya, tampak membalas beberapa pesan yang masuk tanpa mengabaikan adanya aku. "Berasa jadi supir deh dari tadi diem-dieman terus." protesku pada akhirnya. "Kenapa Cal? Capek nyetir? Sini aku gantiin." jawab Sita saat menoleh padaku. "Capek dicuekin!" jawabku ketus. "Emang lebih ganteng ponsel yah daripada wajah aku?" Sita tergelak lalu memasukkan ponsel ke dalam clutch biru yang tadi ia gunakan sebagai senjata untuk memukuliku. "Gantengan kamu Cal, ponsel mah gak bisa diajak bercanda kayak gini." "Tapi dari tadi kamu lebih asik liat ponsel daripada ngajak ngobrol aku non." "Astaga, aku takut kamu gak konsen nyetir kalau aku ajak ngobrol Cal. Ngambek gitu sih bibirnya." Sita malah dengan santainya mencubit bibir polosku, haduuuh gak sadar apa dia ya, cubitan kecil tangannya itu malah sukses bikin huru hara di dalam jantungku. "Balesin pesan siapa sih?" tanyaku ingin tahu. Tak langsung menjawab, Sita malah dengan teganya memamerkan senyum manisnya itu dengan tertunduk malu. "Mau tau atau mau tau banget?" godanya membuatku memutar bola mata ke atas. "Pacar ya?" tebakku to the point. Sita malah membelalakkan mata lantas tergelak lagi hingga memegang perut. Oke, berarti tebakanku salah, syukurlah kalau memang bukan pacar, berarti aku bebas dari saingan "Ical, kamu beneran suka sama aku?" tanyanya menunjuk dirinya sendiri. "Cinta, bukan hanya suka." kataku spontan sambil manyun, siapa tau dia terpesona dengan bibir tipis ku yang maju beberapa senti seperti ini kan? "Astaga berondong satu ini jujur sekali sih." jawabnya berlagak terkejut sambil menyilangkan kedua tangan di depan dadà. "Aku serius Sita." kataku pelan dengan wajah serius. "Iya.. iya.. maaf. Tadi aku cuman balas pesan dari temenku di Jogja kok. Dia ngasih job design lagi, lumayan kan sambil aku cari pekerjaan tetap di sini." "Beneran cuma temen? Bukan pacar atau gebetan?" kataku masih kurang yakin. "Aku masih cukup normal untuk pacaran dengan sesama cewek Cal." jawab Sita mendadak judesnya keluar. "By the way? yang tadi itu, berarti kamu beneran ungkapin perasaanmu ke aku ya Cal?" tanya Sita lagi dengan menunjukkan matanya yang lebar berbinar. Mendadak kehilangan kesabaran, aku memilih untuk menepikan mobil di sembarang tempat, asalkan lengang jadi tidak sampai mengganggu pengendara lain. Perjalanan menuju rumah Sita masih lumayan jauh mengingat ini menjelang akhir pekan. Sepertinya tidak ada salahnya jika aku sedikit terlambat mengantarnya karena harus memberi sedikit pelajaran pada gadis cantik ini. "Kamu mau aku gimana biar kamu percaya sama ucapan ku Sita. Aku hampir dua puluh empat tahun, sudah bukan bocah lagi." kataku dengan nada pelan saat mobilku sudah berhenti di tepian jalan. "Ya nggak ... nggak gimana-gimana Cal, cu- cuman aneh kan kita baru kenal beberapa bulan kamu udah bilang sayang lah, cinta lah." ucapnya sedikit terbata-bata, mungkin karena melihat tatapanku yang hanya tertuju sepasang netra nya. "Jadi menurut kamu ini soal waktu? Kalau menurut ku sih, sayang ya sayang aja, gak harus ada alasan kenal lama atau baru kenal kayak kita kan? Karena ini perkara rasa." Aku melihat bibir Sita sedikit terbuka seolah ingin bicara namun diurungkannya. Dengan gerakan pelan, aku sengaja melepas sabuk pengaman dan mencondongkan tubuh mendekat padanya. Bodo amatlah kalau dia kelabakan. Ical ditantangin? Beeuugh ... salah orang manis. "Aku ... Aku gak tau Cal." bisiknya hampir tak terdengar. "Mungkin kamu akan tau jika aku melakukan hal ini..." Detik berikutnya yang kulihat Sita mengerutkan keningnya seolah tak paham dengan ungkapanku. Aku? Lagi-lagi bersikap bodo amat. Dengan cepat kuraih rahang tirus Sita dan menempelkan bibirnya pada bibirku. Yes, I kiss her. Sita bergeming. Mungkin masih mencerna tindakanku yang tiba-tiba. Aku tau mata indahnya membola sempurna karena ciuman kami, aku tak peduli, aku hanya memejamkan mata menikmati moment yang entah kapan bisa kurasakan lagi. Aku mengurai ciuman kami untuk beberapa detik. Sengaja mengambil sedikit jarak untuk melihat ekspresi terkejut Sita. Kulihat gadis itu mengambil napas pelan dan melihatku dengan tatapan salah tingkah. Damn, tatapan mata yang seperti itu yang justru melecut hasratku untuk mengulang tindakanku lagi. Detik berikutnya, kuraih lagi dagu lancipnya dan kembali mengulang ciuman kami. Aku yang menciumnya, Sita hanya membeku tak melakukan apa-apa seolah tak pernah melakukan hal ini. Tunggu.. tunggu.. apa mungkin ini ciuman pertamanya? Lagi-lagi aku menjeda ciuman hanya untuk memberi kesempatan Sita mengambil oksigen. Tak lama, aku menyerangnya lagi. Bahkan yang kali ini lebih menuntut, karena dengan berani aku mengusap tengkuknya. Dan juga, bisa kurasakan kedua tangan Sita mencengkram erat kemejaku pada bagian pinggang. Ku pejamkan mata untuk menyelami perasaan ini, dengan nakal kuberikan gigitan kecil pada bibir bawah Sita hingga sedikit terbuka. Segera kuterobos masuk dengan lidahku, mencecap segala rasa yang ada di sana, menghisap dan melumat lidah Sita yang terasa hangat dan sukses membuatku hilang kewarasan. Perlahan kurasakan kedua telapak tangan Sita mendorong dadaku, memaksaku untuk melepaskan pagutan kami. Dan saat aku menunduk melepaskan ciuman, bisa kulihat Sita yang masih gugup dan mencoba menormalkan deru nafasnya. "First kiss?" tanyaku kemudian, tangan kiriku masih betah bertengger di tengkuk gadis yang kini menunduk malu menghindari tatapanku. Sita menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan, hingga ia mengangguk lemah membuatku menyunggingkan senyum samar penuh kebanggaan. Yap, aku boleh bangga kan karena menjadi pria pertama yang mencium Sita. "Maaf." lirihku kemudian. Menyesal? Yaa.. enggak juga sih. "Telat, udah kejadian." Sita mendongak hingga bisa kurasakan bulu matanya membelai lembut daguku dan nada bicaranya berubah ketus lagi. "Bisa aku ulangi jika perlu.... AAWWWGHH.. Sita !! Sakitttt." erangku saat jemari lentiknya mencubit kecil perutku. Beneran sakit looh, mungkin nanti bisa kulihat bekas kebiruan akibat cubitan Sita. "Sukuriiiin, salah sendiri main sosor aja tuh bibir. Gak ada sopan-sopannya sih?" gerutu Sita sambil merapikan posisi duduk yang tadi sedikit rebah ke pintu mobil. "Tapi gak perlu nyubit kecil juga kali Sita." dengkusku masih mengusap-usap bekas cubitannya tadi. "Bisa aku ulangi jika perlu." katanya meniru perkataanku tadi. "Boleh." jawabku menantangnya lagi dengan seringai iblisku. "In your dream." pekiknya kali ini diiringi dengan gerakan tangan yang gesit memukuli punggungku dengan clutch secara bertubi-tubi. "Ampun ... mbak... ampun." aku mengangkat kedua tangan menyilang melindungi kepalaku dari serangannya. Tuh kan aku jadi memanggilnya mbak lagi setiap kali terdesak dan menjadi korban kekerasan Sita. "Sekali lagi kamu ngulangin yang kayak tadi, aku patahin leher kamu Cal." ancam Sita tak membuatku takut sama sekali. Wajahnya yang merah menahan amarah malah membuatku tergelitik ingin terus menerus menggodanya. "Kalo gak boleh sekali, dua kali deh." jawabku membuatnya mengangkat clucth lagi, namun gerakan tanganku yang menahan lengannya lebih gesit kali ini. "Sita," panggilku tegas kali ini. "kalo mukul aku lagi, langsung aku belokin nih mobil buat booking kamar hotel deket sini untuk kita berdua." Perkataanku ternyata bisa membuat Sita terdiam dan menurunkan tangannya. Padahal aku hanya menggertak manja looh, mana mungkin pria baik-baik seperti aku bisa ngajak anak gadis orang indehoi di hotel. Eh, tapi pria baik-baik ini sudah mencuri ciuman pertama Sita juga sih barusan, hahaha... "Diih, pikiranmu kotor." desisnya melirikku dengan tatapan setajam sinar laser. Aku hanya terkekeh dan mengusap puncak kepalanya pelan. Tak ingin lanjut berdebat, segera kujalankan lagi mobil yang kami tumpangi. Berduaan dengan Sita di jalanan sepi seperti ini bisa membuatku hilang kendali ternyata. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD