bc

Hatiku di Sita

book_age18+
2.2K
FOLLOW
13.5K
READ
possessive
friends to lovers
goodgirl
comedy
sweet
bxg
lighthearted
campus
office/work place
small town
like
intro-logo
Blurb

▪️INNOVEL WRITING CONTEST - THE NEXT BIG NAME▪️

Pernah menjalin kasih lantas terpaksa putus pas sayang-sayangnya? Tenang kamu nggak sendirian, karena Ical sedang mengalaminya.

Terjebak di antara dua hati, di antara dua saudari yang sama-sama sedang menguji hatinya. Antara mempertahankan sahabat yang ternyata mencintainya atau merelakan gadis pujaan yang membuatnya tergila-gila.

Mau tau kisahnya?

Yukk ikuti terus cerita mas Ical dan bu guru Sita.

Simpan cerita ini di library kamu yaa...

chap-preview
Free preview
1- Pertemuan Kami
Namanya Sita. Aku pertama kali melihatnya tepat satu hari setelah resepsi pernikahan nano-nano , si gulali sepupu kesayanganku, enam tahun lalu. Hmm ... apa efek dari dapetin buket bunga yang dilempar Nana pada waktu itu ya? Entahlah, tapi menurutku, Sita hadir sebagai tanda dari alam semesta untuk ku dapatkan cintanya. Bagiku, cinta pada pandangan pertama itu hanyalah dusta . Tapi sekarang, dengan bodohnya aku mengakui hal itu benar adanya. Ya, karena aku mengalaminya sendiri. Masih teringat jelas enam tahun lalu ketika melihat Sita berjalan masuk ke butik ku yang baru buka di daerah pertokoan Soekarno Hatta. Rambut hitam yang dikuncir kuda, binar mata yang ceria namun tajam yang mampu membius ku saat itu juga, penampilan yang modis namun sederhana. Aku masih mengingat sedetail itu semua tentang Sita. Saat itu Sita datang untuk mencari salah satu teman dekatku di kampus. Shila namanya. Ketika resepsi Nana, Shila memang banyak membantuku di butik. Menyiapkan segala sesuatu terkait acara besarnya Aruna dan mas Ge. Shila yang dekat denganku sejak awal perkuliahan memang sering mengekoriku kemana-mana. Jurusan yang kami ambil memang sama, fashion designer. Pun aku dan Shila banyak mengambil kelas yang sama pula. Yang tak sama hanya satu, Shila lebih dulu lulus kuliah daripada aku yang terlalu lebih sibuk dengan urusan butik daripada urusan kampus. Aah ... kembali lagi ke Sita, ternyata dia adalah kakak kandung Shila. Aku jadi baru tau jika Shila punya kakak secantik Sita ini. Nama mereka pun serupa, beda dikit lah. Sita dengan nama panjang Anarasita Mahesa Putri. Sedangkan sahabatku Shila, nama lengkapnya Arshila Mahira Putri. Untuk wajah, hmmm.. sebenarnya tak heran jika pada awal pertemuan aku sempat ragu jika mereka adalah saudara kandung. Sita itu meski lebih dewasa lima tahun di atas Shila, wajahnya imut banget, gak bosenin meski dilihat berjam-jam. Sedangkan Shila, ekspresinya lebih menunjukkan jika ia tipe orang yang serius cenderung kaku juga sih. Makanya aku sempat tak percaya jika usia mereka terpaut lima tahun. Beneran gak kelihatan, mereka bahkan seperti teman yang seumuran. Semua bermula saat pertemuan pertama kami. "Shila masih di dalam butik?" tanya Sita saat itu. "Kamu siapanya Shila?" tanyaku balik sedikit menyelidik, pun tatapanku tak beralih dari sepasang manik kecoklatan yang sedari tadi menyita perhatianku. "Bilangin Shila, ditunggu kakaknya." "Kakak?" aku menautkan kedua alis masih merasa ragu. "Iya, buruan panggil. Urgent..!!" aku hanya tersenyum miring karena belum sepenuhnya percaya. Ketika aku naik ke lantai dua dan memanggil Shila dan memberitahunya, barulah aku percaya. Shila langsung turun dengan langkah tergesa. Begitu sampai di depan butik aku melihat mereka berdua berpelukan erat layaknya saudari yang lama tak bersua. Dan aku makin percaya jika mereka bersaudara, setelah menyadari mereka memiliki garis senyum yang serupa. "Ical aku cabut ya, sorry gak bisa ikut bantuin sampe sore." pamit Shila. "It's okay Shil, banyak anak-anak butik kok." ucapku. "Eh.. Shil, itu beneran kakakmu? Kok baru tau sih." "Lha kamu sendiri juga gak tanya sih Cal, gimana aku mau cerita." "Cantik ya, namanya?" "Mbak Sita, emang gak tinggal di Malang, makanya jarang ketemu." jawab Shila masih sibuk memasukkan laptop ke dalam tas ranselnya. "Tinggal bareng mama kalian?" "Yaa gitu deh." entah kenapa ekspresi Shila terlihat tak suka dengan segala pertanyaanku tentang Sita kakaknya. Shila dulu sempat bercerita jika orang tua mereka berpisah saat Shila masih berusia tujuh tahun. Shila dan Syauki, adik laki-lakinya tinggal dengan papa mereka. Sedangkan mama nya tinggal jauh di Jogjakarta. "Hmm.. aku berangkat ke Jogjakarta Cal. Mama sakit. Mbak Sita yang kebetulan lagi ada pelatihan di Surabaya sekalian jemput aku kesini." ucap Shila lagi. Aku hanya mengangguk saat melihatnya terburu-buru memakai jaket dan sepatu kets nya. "Aku bolos kuliah juga seminggu ke depan ya, siapin contekan kalo ada materi yang penting." imbuhnya lagi. "Otak kamu lebih encer daripada aku Shil, gak perlu contekan juga pasti aman." jawabku mengacak rambutnya yang baru dipotong sebahu. Aku mengantar Shila hingga parkiran depan butik. Sita hanya mengangguk sopan saat aku malah bersemangat mengulurkan tangan untuk bersalaman. Ckk, malu-maluin gak sih. Dia malah berpesan padaku sebelum membonceng adiknya dengan motor matic yang Shila pakai tadi. "Nama kamu Ical kan?" tanyanya kemudian dengan telunjuk yang mengarah padaku. "I-iya Sit, eh mbak Sita—" mendadak aku menjadi gagu meski hanya diajak bicara basa-basi seperti ini. "Kalo bisa jangan sering-sering ajak Shila nongkrong di butik kamu yah. Biar dia fokus sama kuliahnya. Nanggung kurang satu tahun lagi." ucapnya disertai lirikan tajam. "Hah? Hei... aku gak pernah ngaj—" "Bye, Assalamu'alaikum.." potongnya sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatmu. Heii... aku belum sempat menjawab malah ditinggal sih. Lagian ya, aku gak pernah ngajak Shila buat ikut sibuk di butik kan? Dia sendiri yang ngikut aku kemana-mana seperti perangko, bahkan tak jarang ia tiba-tiba muncul di butik saat jam kuliah sedang kosong. Jadi bukan salahku kan kalau dia sering nongkrong disini, udah sering aku usir loh. Selang tiga hari sejak kepergian Shila, Sita dan keluarga besarnya ke Jogjakarta. Shila mengabariku bahwa ibunya meninggal karena kanker darah. Sebagai sahabat terdekatnya tentu saja aku langsung berangkat ke Jogjakarta hari itu juga. Pulang kuliah aku langsung menuju bandara, dalam perjalanan aku sudah menemukan tiket penerbangan ke Jogjakarta melalui aplikasi perjalanan online. Mama yang aku kabari via telepon hanya mengiyakan, karena beliau pun tau aku bersahabat baik dengan Shila. Menjelang maghrib aku sampai di kediaman keluarga Shila di Jogjakarta. Ternyata sudah ada Lisa dan Bram juga di sana. Mereka berdua termasuk teman dekat kami di kampus. "Hai," kataku membuat Lisa dan Bram menoleh bersamaan, tapi tidak dengan Shila yang masih tergugu diapit mereka berdua. "Shil." Akhirnya mata kami bertemu. Masih bisa kulihat gurat kesediaan di dalam sana. Aku mendekat untuk duduk bersebelahan dengannya, memaksa Bram agar sedikit bergeser demi memberiku ruang di samping Shila. Sengaja kuhentakkan tubuh Shila dalam dekapanku. Erat, sangat erat. Membuatnya semakin menangis terisak. Aku pernah mengalami fase terberat seperti ini. Kehilangan sosok ibu saat usiaku masih labil, sekitar empat belas tahun. Ibuku meninggal karena kanker payudarà yang dideritanya hampir tiga tahun. Aku benar-benar terpuruk saat itu, marah sekaligus sedih dalam waktu yang bersamaan. Jangan ditanya bagaimana hancurnya hatiku saat itu. Mungkin karena pernah mengalami perasaan yang sama, sedikit banyak aku bisa memahami kondisi Shila yang hanya bisa terisak di dadaku. Gadis itu pasti sedang berada di titik kesedihan yang paling dalam. "Harusnya.. harusnya aku.." katanya terbata-bata. "Sstt ... jangan bicara. Kamu punya banyak waktu buat cerita sama aku Shil." potongku cepat, tanganku dan tangan Lisa masih setia mengusap punggungnya yang berguncang karena tangis. "Makasih udah dateng Cal." tangan Shila menggenggam tanganku erat. Tangisnya sudah reda setelah sempat tertidur beberapa menit dalam rangkulanku tadi. "Hmm... " "Tadi gak nyasar kan?" tanyanya lagi. "Nggak, tadi pas di bandara Bram udah share lokasi." "Makan dulu gih, ambil ke dapur sendiri ya. Tuh di situ." ucap Shila seraya mengendikkan dagu ke arah pintu di belakangku. "Okay, kamu?" "Aku udah makan tadi, masih kenyang." Mendengar jawabannya membuatku beranjak ke arah dapur. Rumah keluarga Shila di Jogjakarta ini masih kental dengan nuansa etnik Jawa, desain joglo dan banyak kayu-kayuan yang ditata sangat apik di sana sini. Belum sampai meja makan, aku sempat berbincang sebentar dengan papa Rio, papanya Shila untuk mengucap bela sungkawa. "Makasih udah datang ya, silahkan makan dulu, om ke depan sebentar menemui tamu." pamit beliau lalu berjalan ke arah teras. Setelah menikmati santap malam sendirian, karena Shila masih diruang tengah dengan Lisa dan Bram, juga beberapa sepupunya kurasa. Aku berjalan ke halaman samping rumah, sekedar menghirup udara Jogja yang sedang dingin karena musim hujan saat ini. Hingga telingaku menangkap suara tangis lirih seorang gadis yang duduk seorang diri di bangku taman yang menghadap kolam ikan. Sita. Aku mengenalinya karena bajunya masih sama seperti tadi sore saat aku baru tiba. Dress hitam bermotif bintang sepanjang lutut, dilengkapi dengan pashmina hitam polos yang melingkar di lehernya. "Hei, kenapa harus nangis sendirian?" tanyaku yang ternyata cukup mengagetkan gadis itu. Dia menoleh sekilas, bisa kulihat jelas matanya masih merah dan sembab karena jejak air mata. Tangan kurusnya sibuk menghalau tangis yang membanjiri pipi putihnya. "Kalau mau nangis nggak apa-apa, luapin aja biar lega." kataku pelan. Tanpa permisi aku langsung duduk disebelahnya, sangat dekat. Sengaja memang. "Need hug, hmm?" lirihku dengan merentangkan kedua tangan. Namun dia menggeleng pelan. "Kita gak kenal kan?" jawab Sita di sela-sela tangis. "Harus kenalan dulu ya biar bisa bantu kurangin kesedihan kamu." kataku. "Eh.. tapi kamu kan udah tau namaku. Masa lupa sih?" aku pasang mode cerewet untuk menarik perhatiannya. "Kamu.. kamu? aku mbak nya Shila. Usia kamu mungkin sama kayak Shila kan? yang sopan panggilnya." jawabnya agak panjang membuat ku sedikit lega. "Iya deh, mbak Sita." cibirku semakin bergeser mendekat padanya. "Ckk.. ngapain sih geser-geser. Sana jauhan." sita menggerakkan tangannya seolah mengusirku. "Kan tadi aku tawarin mbak. Need hug?" ulangku lagi, dan lagi-lagi kurentangkan kedua tanganku. "Eng... Eng- enggak." katanya putus-putus. Aku tau Sita saat itu hanya gengsi. Padahal terlihat sekali ia sedang butuh pelukan untuk menenangkan hatinya, mengurangi kesedihannya. "Yakin?" godaku sambil mendekatkan wajahku didepannya. "Ya.. ya.. ya- yakin kok." jawab Sita, namun sedetik kemudian tangisnya pecah lagi, hingga kedua telapak tangan menutup sempurna wajahnya. Entah keberanian dari mana, tanpa bertanya aku menarik tubuh kecilnya dalam pelukanku. Sita sempat berontak, namun tak kuasa melawan kekuatanku. Meski banyak yang bilang aku pria kalem dan lemah lembut nan gemulai. Gini-gini aku tetaplah seorang pria. Kekuatanku tak kalah dari pria yang selalu tampak garang di depan. Tadi aku memeluk Shila untuk menenangkannya. Dan sekarang, aku memeluk kakaknya, Sita, dengan tujuan yang sama, meski harus memaksa. Tapi kenapa jadi beda gini? Saat dengan Shila jantungku berdegup biasa-biasa saja, sama seperti ketika aku memeluk Nana, sepupuku. Tapi ini, saat mendekap Sita dalam pelukanku. Kenapa jantungku jadi semakin ribut dan berdegup tak tahu malu begini ya? Aku sampai khawatir jika Sita bisa mendengar detak jantungku yang mendadak menggila saat dekat dengannya. Malu kan, duuh... ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

THOSE MEMORIES STAY WITH ME

read
113.2K
bc

Scandal Para Ipar

read
678.6K
bc

My Devil Billionaire

read
91.1K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
797.7K
bc

Pesona Calon Adik Ipar

read
139.1K
bc

Dilamar Janda

read
309.6K
bc

MAFIA INI MILIKKU

read
41.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook