2 - Bridesmaid to Be

1396 Words
Beberapa bulan sudah aku mengenal Sita. Dia sudah pindah ke Malang sekarang. Sejak dua bulan kepergian sang ibu, papa Rio mengajak putri sulungnya itu untuk pindah ke Malang. Alasannya tentu saja tak ingin sang putri dirundung sepi yang semakin menjadi sejak kepergian sang ibu. Tentu saja aku tau, Shila yang bercerita tanpa aku minta. Shila tampak begitu bahagia ketika dengan bersemangat menceritakan kakak yang selalu ia banggakan akan tinggal di rumah besar mereka. Sita ini sarjana arsitektur, lagi-lagi aku mencuri informasi dari kecerewetan Shila. Aku tak paham tentang dunia arsitektur, tapi menurut cerita sang adik, Sita ini jurusan desain interior. Kerjaannya menggambar desain interior bangunan yang sudah jadi. Hebatnya lagi, selain jago gambar, Sita ini ternyata juga atlet karate. Gak nyangka kan? Gadis manis dengan wajah imut seperti Sita ternyata bisa garang di arena karate. Duh yaa... makin norak kan jantungku setiap ingat tentang gadis itu. By the way semalam akhirnya aku bisa mendapatkan nomor handphone Sita. Iya, lagi-lagi Shila yang aku perdaya agar mau membocorkan nomor pribadi sang kakak. Meski harus cemberut, Shila akhirnya mau kok berbagi info. Entah apa karena aku anak yang sholeh, rajin ibadah, rajin menabung serta tidak sombong. Tuhan begitu sayang padaku ya. Belum sempat aku menghubungi Sita, malah Sita sendiri yang pagi ini tiba-tiba menghubungiku. Membuat ku tergeragap norak saat mendengar suaranya diseberang sana. "Assalamu'alaikum Ical," "Wa- wa'alaikumsalam. Iya ini Ical." jawabku mendadak gagu. "Hmmm... ini Sita kakaknya Shila" "Iya tau." jawabku bego. "Ehhh, udah tau nomorku?" tanya Sita terdengar curiga. "Ya? Hah? Anu.. iya, maksudku iya kedengaran jelas dari suaranya kalo kamu Sita, eh.. mbak Sita." kan... jawabanku mendadak memalukan karena lidah yang berbelit-belit ini "Hmm..itu, kata Shila, hmm ... di butik kamu bisa buat pesan baju dadakan ya gak sih? Hmm... Aku ada perlu mendesak banget nih, buat besok lusa. Jadi bridesmaids gitu... hmm.. kainnya udah ada tinggal dijahit aja. Gimana? Bisa?" Demi apapun, aku mematung begitu mendengar suara merdunya berbicara panjang lebar. Kalian pernah mendengar suara Raisa, mungkin lebay, tapi yang telingaku dengar memang begitu. Aku gak bisa membedakan mana suara Raisa, mana suara Sita. Ini aku yang mendadak sakit jiwa karena cinta atau apa ya? "Cal.. Ical. Masih disitu?" "Eh iya, gimana gimana Sita, eh mbak?" "Aku mau bikin dress buat bridesmaids. Gimana?" ulangnya lagi membuyarkan lamunanku. "Eh.. iya mbak, eh Sita. Iya siap, kapanpun siap." "Panggil Sita aja nggak apa-apa, senyamannya kamu." ucapnya dengan pelan membuatku tak sadar makin melebarkan senyum. Panggil sayang boleh? batinku meronta. "Oke siap siap ... jadi kapan bisa ketemu?" "Kapanpun, hari ini juga bisa." "Oke, kebetulan siang ini aku mau keluar cari accessories. Nanti aku mampir butik kamu. Butik kamu yang di Sulfat itu kan? yang dulu aku jemput Shila?" "Eh... yang di Sulfat itu yang deket rumah, lagi direnovasi. Janjian di butik yang di MOG aja gimana? di sana juga banyak stand accessories juga. Nanti aku bisa jadi fashion stylist kamu deh." jawabku sambil berbuncah bahagia. "Oke, habis dhuhur ya." "Sita aku jemput ya? Di rumah kan?" "Hmm.. boleh, tapi nanti aku ada janji sama temen dulu sih." "Nggak masalah, nanti berkabar aja kalo udah di rumah lagi." Tapi hal menyebalkan terjadi siang itu. Membuatku harus berkali-kali meminta maaf karena batal menjemput Sita di rumahnya. Dia santai siih, tapi akunya yang gak nyantai. Gagal dong berduaan sama dia di mobil. Ckk ... dan semua ini karena si gulali Nana Aruna, sepupu kesayanganku. Aku belum pernah cerita ya tentang Nana ini? Dia itu sepupuku, anak budhe Dewi yang tak lain adalah kakak kandung almarhumah bundaku. Usia kami hanya terpaut dua minggu, dia lebih dahulu lahir. Selain sepupu paling dekat, kami juga saudara sepersusuan. Karena masalah kesehatan, bunda gak bisa memberiku ASI ketika aku masih bayi. Jadi lah budhe Dewi yang sedang memberi ASI eksklusif pada Nana, juga ikut memberiku. Kami tumbuh besar bersama, mulai taman kanak-kanak hingga SMA kami selalu ditempat yang sama. Hanya ketika kuliah kami berpisah. Lulus SMA dia malah pergi bekerja ke Padang, karena tak tahan dikekang Pakde, ayahnya. Sedangkan aku melanjutkan kuliah desainer. Pulang dari Padang si gulali Nana ini drama lagi karena pakde gak merestui hubungannya dengan mas Ge saat itu. Malah terang-terangan dijodohkan dengan pria lain, ya meski akhirnya perjodohan itu batal juga sih. Dan namanya juga jodoh ya, gak bisa ditebak. Setelah tiga tahun pisah, eeh... si Nana ini malah ketemu lagi sama mas Ge secara gak sengaja dan cuss gak pake lama mereka langsung ijab kabul beberapa bulan lalu. Duuuh.. jangan-jangan jodohku juga kayak gitu ya, penuh teka-teki dan gak tertebak. Mau dong ya Allah, sama Sita aja ya kalau boleh. Kembali ke tingkah Nana yang membuatku batal menjemput tambatan hatiku, Sita. Siang ini mendadak dia mendatangi butik dengan alasan super gak jelas. Ingin aku menemaninya belanja keliling mall dan memenuhi permintaannya jajan ini itu di semua food court di Mall Olimpic Garden. "Berisik, buruan makannya. Sita udah on the way kesini nih." ocehku pada Nana saat ia lambat sekali menghabiskan sepotong pizza terakhirnya. "Ya sudah suruh sini aja, sekalian kenalan sama aku. Gitu aja repot, heran deh." jawabnya dengan mulut penuh makanan. "Diih ... kalo dia ketularan cablak kayak kamu repot nano-nano. Sita tuh anggun banget orangnya, kalem." belaku. Gak cukup dengan membuatku kepayahan dengan keliling mall segede ini. Nana beraksi lali ketika kami baru saja meninggalkan restoran pizza di lantai tiga. Nana pingsan. Iya, didepan restoran dia tergeletak begitu saja tanpa daya. Aku panik, memanggil semua orang di sekitar resto. Beberapa security yang mengenalku karena butik ku ada dilantai dua, dengan sigap menaikkan tubuh kecil Nana ke atas punggungku. Lari tunggang langgang lah aku ke lantai dasar, tempatku memarkir mobil. Salah satu security juga ikut berlarian di belakangku membawakan barang belanjaan si nona gulali. "Sita... !!!" teriakku saat melihat Sita didekat pintu keluar mobil. Untungnya aku melihatnya, jika tidak mungkin dia akan sangat kecewa karena tak bisa menemui ku di butik. "Masuk mobil cepet..!" perintahku saat ia mendekat dengan raut wajah kebingungan. "Sorry jadi kacau, sepupuku rese' nih tiba-tiba pingsan." ucapku saat meliriknya mengerutkan kening ketika melihat tubuh ringkih Nana di kursi belakang. "Ya sudah cepetan ke rumah sakit." jawabnya ikut panik setelah meletakkan paper bag didekat kakinya. Tak sampai lima belas menit kami sampai di rumah sakit terdekat. Aku menggendong lagi tubuh Nana hingga UGD, dengan Sita mengekor di belakangku. Kelelahan, itu kata dokter yang memeriksanya. Lebay? Nggak kok, ternyata Nana sedang mengandung. Mungkin karena itu juga yang membuatnya ringkih. Kehamilan diawal-awal memang rentan kan ya? Entahlah, aku kan belum pernah menghamili anak orang. Nanti akan kutanyakan Sita saat ia bersedia hamil anakku. Tuh kan, otakku. "Maaf ya, jadi hectic gini." sesalku saat membawanya kembali menuju butik. Setelah memastikan budhe Dewi dan mas Ge datang menemani Nana tentunya. "Nggak apa-apa, yang penting gak terjadi sesuatu yang buruk sama sepupu kamu tadi. Siapa namanya tadi?" "Gulali?" "Ckk... bukan itu kan namanya." decaknya dengan wajah lucu. "Aruna, kami panggilnya Nana. Heran deh sama dia, bunting gitu masih keluyuran aja sepanjang hari." "Dokter kan tadi bilang, kemungkinan dia gak tau kalo lagi hamil." Duuh ya, baiknya Sita, baru kenal aja sudah membela Nana seperti itu. Gak salah pilih kan aku. "Aku ukur badan kamu dulu ya?" kataku merentangkan meteran setelah ia menghabiskan jus alpukat yang ku pesan tadi. "Kamu yang ukur sendiri?" katanya sedikit terkejut. "Eeh..? sorry sorry bukan aku. Tapi salah satu pegawai ku yang cewek." kataku gelagapan, tapi mendadak tenang lagi setelah melihat senyumnya merekah sempurna. "Yarniii!!" teriakku memanggil salah satu staff yang biasa mengukur customer perempuan di butik ku. Aku meneruskan menggambar desain dress yang diinginkan Sita setelah Yarni masuk dan mengukur beberapa bagian tubuhnya. "Bagus." katanya mengangguk-angguk saat aku menyerahkan sketsa desain bajunya. "Tapi kalau bisa bagian dadà jangan terlalu rendah gini ya, naikin dikit." lanjutnya menunjuk gambarku. Aku menyembunyikan senyum. Padahal tadi aku sengaja membuat desain yang sedikit seksi untuk bagian depannya. Tapi sekarang aku lega karena dia menolak desain itu. Menjaga banget ya dia. "Terlalu terbuka ya?" tanyaku mengulum senyum, dan dia mengangguk cepat sebagai jawaban. "Oke siap, akan aku kebut mulai malam ini." kataku sambil melipat kain brokat berwarna biru laut ini dan memasukkannya lagi ke dalam paper bag. "Makasih banget ya." Aku mengangguk saja tanpa melepaskan tatapan pada sepasang manik matanya. Cantik. "Memang siapa yang mau menikah?" "Temen di tempat karate." "Hmm ... udah punya temen buat dijadiin pasangan ke sana?" tanyaku tiba-tiba. Semoga saja belum, aku akan bergerak cepat menawarkan diri. "Belum sih." Sita tertunduk sambil memanyunkan bibir. Gemesiiin. "Aku temenin boleh?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD