3 - Pemeran Utama

1386 Words
Malam hari hingga menjelang pagi, aku sibuk merombak kain dengan warna lembut yang Sita berikan pada. Sudah ku gunting, ku ukur, ku sematkan jarum pentul di beberapa titik juga sudah. Aku hanya meninggalkan karya untuk wanita tercintaku ini ketika harus absen sholat saja. Eh... beneran deh, sepertinya aku memang sudah jatuh cinta sama Sita. Emang cinta segila itu ya ternyata, aku yang baru mengenalnya tiga bulan lalu, cuma beberapa kali bertemu, tapi sudah mantap mengaku mencintai. Ckk.. kalau sampai si sepupu gulaliku tau, pasti habis aku diledeknya. Esoknya aku benar-benar tak meninggalkan galeri ku yang terletak di ruko depan rumah. Renovasi di lantai bawah belum sepenuhnya selesai, jadi butik masih sengaja aku tutup. Bagus juga sih, aku jadi bisa fokus mengerjakan gaun cantik untuk mbak Sita yang juga cantik. Eh... Sita. Dia memperbolehkan ku memanggilnya hanya dengan nama kan kemarin? Tanpa embel-embel 'mbak' yang tanpa sadar sering kusematkan sebelumnya. Ical : Sita besok acara nikahannya jam berapa? Dress nya hampir selesai. Menjelang siang aku sengaja mengirimkan pesan padanya. Kangen, heheheh.... Sita : Wah cepet banget. Maaf ya bikin staffmu kerja lembur. Staff? Ini aku sendiri yang ngerjain dress mu sayang. Aku gak bisa nyerahin gitu aja dress untuk wanita pujaanku dikerjakan orang lain. Memang sih mereka bisa, tapi aku akan lebih puas jika mengerjakannya sendiri. Hasil tangan aku gak bisa bohong lho, lihat aja besok. Ical : Aku sendiri yang ngerjain dress kamu Sita. Aku gak bisa langsung percaya sama anak-anak kalo customer nya seistimewa kamu. Akhirnya aku mengaku, sekalian pamer sih. Sita : Serious? Kamu bisa jahit? Ckk, belum tau aja dia. Dikira aku hanya owner butik mungkin ya. Ical : Iyap, aku jurusan desainer sama kayak adek kamu, pasti bisa lah kalo sekedar jahit. Lihat aja nanti, pasti kamu menganga dengan hasilnya. Tak puas hanya dengan mengirimkan pesan. Selepas maghrib aku mendadak mendatangi rumah Sita setelah memastikan keberadaannya. Papa Rio yang memang sudah akrab denganku mempersilahkan aku masuk dan menunggu di ruang tamu. Sedang sepi rumahnya. Ah, iya.. tentu saja sepi. Shila, sang adik yang cerewet itu sedang berada di Surabaya karena ikut serta dalam pameran fashion terbesar se Jawa timur, dan Shila berkolaborasi dengan senior kami di kampus dulu. Shila sudah lulus terlebih dahulu dari kampus kami. Beda denganku yang masih menyandang gelar mahasiswa bangkotan di kampus. Tapi aku yakin segera lulus kok, akhir tahun ini targetku. Malu juga ternyata terlalu lama jadi mahasiswa. "Kenapa Cal? mendadak banget kasih kabar mau kesini." Sita muncul dari lantai atas. Hanya mengenakan piyama pendek, dengan rambut hitam legamnya dicepol ke atas. Cantik natural, meski sedikit berantakan. "Hah? apa? gimana?" kan? lihat titisan bidadari turun dari tangga saja bisa bikin aku terhipnotis gini. "Oh.. itu, anu... Dress nya udah jadi. Tadi aku habis check butik di Matos, jadi sekalian mampir sini. Kan deket." Kataku penuh dusta. Aku gak mampir kemana-mana kok. Dari rumah aku langsung ngacir kesini, demi bisa melihat Sita mencoba gaun yang aku buat dengan tanganku sendiri. "Serius udah jadi?" tanyanya tak percaya. Aku hanya mengangguk dengan melengkungkan senyum terbaikku. "Cepet banget Cal? Kamu gak tidur semalaman buat ngerjain baju aku?" Demi kamu apa sih yang enggak, teriakku dalam hati. "Tidur kok. Tapi kan aku udah janji mau selesaikan secepat mungkin. Semua alat dan bahan juga udah siap pake di galery." "Makasih ya Cal. Eh berapa duit ini? Aku transfer ya, mana nomor rekeningmu." ucap Sita seraya mengambil ponselnya Aku memberinya tatapan tajam tanda tak suka. Ini maksudnya dia mau bayar aku? Hei, aku gak butuh uang kamu. Aku butuh hati kamu. "Apaan sih?" aku melengos tak menggubris pertanyaannya. "Cal, aku serius." "Aku juga serius Sita. Kayak apaan aja mau bayar. Aku udah tahunan sahabatan deket sama Shila. Masa kakaknya bikin baju aku terima uangnya sih." Aku menekan nada bicaraku agar dia mengerti. "Terus?" "Cukup bolehin aku nemenin kamu ke acara nikahan besok." jawabku cepat. "Kan sudah aku iyakan kemarin." "Ya kali kita ke sana tapi berangkat sendiri-sendiri. Besok aku jemput ke sini, gak usah janjian di tempat acara." celotehku masih menahan kesal. "Iya.. iya.. nurut." jawab Sita lantas terkekeh kecil. Menampilkan garis senyum yang mirip dengan Shila. "Ya udah sana cobain dulu dress nya. Nanti kalau ada yang kurang atau gak nyaman dipake, langsung aku benerin disini, aku bawa alat tempur di mobil." perintahku seraya mengendikkan dagu. Eh tapi dia menurut langsung naik ke kamarnya. Sepertinya sejak kemarin ini, obrolan kami sudah lancar tanpa ada rasa canggung. Dia bahkan menurut saja ketika aku tanpa sadar menyuruhnya ini itu. Ya, seperti barusan itulah. Beberapa menit kemudian aku dikejutkan dengan teriakan kecilnya saat berjalan cepat menuruni tangga. "Icaaaaaalllll.... bagus banget, sumpah !!!" pekiknya riang sekali. Dan yang tak pernah aku perhitungkan adalah, dia yang menubruk tubuhku begitu sampai di sofa tunggal yang aku duduki. Secepat kilat dia duduk bersebelahan denganku dan mencubit gemas kedua pipiku. Tak hanya mencubit, setelahnya ia juga mengusap perlahan pipiku. Untungnya aku sudah merapikan rambut halus yang beberapa hari lalu mulai menghiasi rahangku. Aku mimpi apa coba semalem, pipi mulusku dielus-elus Sita coiii.... "Bagus banget ini." ucapkan lagi masih dengan binar yang sama. "Syukurlah kalau kamu suka." "Pasti suka lah, cantik begini Cal." "Terlihat cantik karena dipake wanita secantik kamu Sita." ucapku serius, membuatnya merona seketika. "Iih... kamu bisa aja." *** Esok harinya lagi-lagi aku dibuat terpaku ketika melihat sudah memakai gaun rancanganku dengan cantik. Iya, cantiknya makin bertambah berkali-kali lipat karena Sita merias wajahnya, riasan natural gak berlebihan sama sekali. Rambut panjangnya digelung kecil di belakang tengkuk hingga memamerkan leher jenjangnya yang... yang .. damn, seksi. Tak ketinggalan ia membawa clutch berwarna biru gelap yang dihiasi sulaman benang perak di bagian tepinya. "Cal, titip Sita ya. Hati-hati kalau bawa mobil." suara papa Rio membuyarkan lamunanku. Bisa kulihat senyum tipis di wajah papa Rio saat melihatku mematung karena ulah putri cantiknya. "Eh ... iya Pa, pastilah Ical hati-hati bawa gadis secantik Sita." jawabku kemudian. "Papa senang kamu bisa akrab juga sama Sita. Kirain cuma Shila aja yang bisa bikin kamu sering main kesini." lanjut papa Rio. "Kalo sama Shila kan Ical butuh contekan tugas-tugas kuliah Pa." "Kalo Sita?" "Pengen cepet-cepet halalin Pa." jawabku spontan yang membuat Papa Rio terbahak dan menepuk pundakku. "Bisa aja kamu Cal.. Cal.." "Kalian ngobrolin apa sih? seru amat." tanya Sita ketika ia sudah selesai memakai sepatunya. "Mau minta restu Papa Rio biar bisa deketin kamu Sita." jawabku tak tau malu. "Ckk.. bercandanya kelewatan kamu Cal. Yuk ah berangkat. Pa, Sita pergi dulu ya." Sita berpamitan pada papa Rio lantas mengecup punggung tangan beliau, bergantian denganku. Untungnya Malang tak terlalu macet ketika sore seperti ini. Jadi tak sampai tiga puluh menit kami sudah tiba di gedung tempat berlangsungnya resepsi. Sita bilang padaku akan berkumpul dengan teman-temannya sesama bridesmaids sebentar. Tentu saja aku persilahkan, ini acara temannya pasti dia ingin melepas rindu karena bertahun-tahun tak bertemu karena kepindahannya ke Jogjakarta. Saat aku lihat hari kejauhan sita sedang melakukan pemotretan bersama pengantin dan beberapa temannya yang berpakaian senada, aku dengan setia menunggunya sambil berkeliling venue, sesekali menikmati makanan yang disediakan. Hingga tiba-tiba aku melihat Sita berjalan cepat kearah ku dengan wajah datar yang tak bisa ditebak. Kulirik sebentar ke arah jam tangan, masih jam empat lebih sepuluh menit. Baru sebentar rasanya, kenapa Sita sudah kembali dari acaranya seru-seruannya bersama para bridesmaids. "Mas Fais.." pekiknya dengan mata berkedip beberapa kali padaku seolah memberi isyarat yang entah apa itu. Mas? Fais? Aku maksudnya? Namaku kan Faisal. Belum selesai kepalaku mencerna, kedua tangan Sita sudah bergelayut manja di lengan kiri ku. Juga mimik wajahnya yang dibikin manja menatapku. Astaga Sita.... Bisa bahaya kalau aku gak kuat iman dan harus cipok bibir pink kamu di sini. "Pulang yuk mas, gerah disini. Katanya kita mau kencan?" Kencan? Apa pula ini gustiiii... "Sita." panggil suara berat seorang pria dari belakang Sita. Membuat aku spontan mencari asal suara, dan menemukan sosok pria tinggi dengan kumis tipis tengah memperhatikan kami berdua. "Maaf mas Bayu, aku gak bisa lama-lama. Udah ditunggu mas Fais." jawab Sita masih menempel erat di lengan atasku. Sepertinya aku tau situasi macam apa ini. Oke baik. Sekalian saja aku mainkan drama yang diinginkan Sita. Dengan posesif tangan kiri ku merengkuh pinggang kecil Sita dan menariknya mendekat. Sita membolakan mata sekejap. Aku mana peduli, aku menikmati kok. "Yuk sayang kita pulang." kataku sambil mengecup pelipis Sita. Memainkan peranku secara total. Maksimal. Karena aku ingin jadi pemeran utama dalam kisah ini, kisah yang Sita ajukan padaku. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD