Jelita semakin menjauh dari rumah mewah yang pernah menjadi tempat tinggalnya. Ia berjalan kaki sekuat kemampuannya melangkah. Sampai akhirnya tiba di sebuah taman besar dengan bunga bunga penuh warna.
Kakinya bergerak memasuki taman tersebut dan duduk di bangku panjang. Ia terdiam sambil memperhatikan orang orang yang sedang menikmati bakso dari penjual keliling. Ada juga anak anak yang berlarian sambil bersenda gurau.
Jelita menarik nafas panjang sambil mengelus perutnya.
"Anakku..."
Seketika, rasa haus mendera. Jelita mencoba mencari cari pedagang asongan yang menjual minuman, hingga ia pun melihatnya. Ada seorang bapak tua yang sedang membawa dagangannya.
"Pak, saya mau air mineralnya," ucap Jelita. "Berapa pak?"
"Baik," balas bapak tersebut sambil menyodorkan satu botol. "Lima ribu."
Jelita menerimanya lalu menyerahkan selembar lima puluh ribu untuk membayarnya.
"Tidak ada uang kecil mbak?" tanya bapak itu.
Jelita menggeleng.
"Saya baru ada dua puluh ribu," ucap bapak tersebut.
Jelita tersenyum, "Saya beli enam botol kalau begitu."
Bapak itu tersenyum senang lalu menyerahkan lima botol lainnya ditambah selembar uang dua puluh ribu rupiah sebagai kembalian, "Terima kasih mbak."
Ia pun pergi.
Jelita memandang kepergiannya dengan perasaan senang.
"Setidaknya aku bisa membuat orang lain tersenyum," gumamnya. "Selain itu, aku memang membutuhkan air mineral agak banyak."
Jari jemarinya kembali mengelus perutnya.
"Aku mau kemana?" gumam Jelita.
Ia termenung memikirkan arah tujuannya,
Akhirnya memutuskan untuk berselancar di dunia maya dan mencari tempat kos.
Jelita membuka aplikasi indekos yang cukup terkenal dan terpercaya. Matanya menjelajah mencari cari tempat kos yang lumayan nyaman tapi tidak terlalu mahal.
Akan mudah saja bagiku asal mencari tempat tinggal, tapi karena aku hamil.... Aku tidak bisa sembarangan. Setidaknya lingkungan harus nyaman dan bersih. Agak jauh tidak masalah.
Setelah hampir satu jam mencari cari, ia menemukan satu lokasi yang berjarak sekitar lima belas kilometer dari posisinya sekarang. Tempat kos itu seperti studio dengan kamar mandi dalam dan ruangan kecil yang bisa menjadi semacam dapur. Harganya sedikit tinggi, sekitar satu juta lima ratus per bulan dan masuk ke dalam gang kecil. Tapi setidaknya sudah ada lemari dan tempat tidur.
Itu cukup bagiku saat ini.
Secara perlahan, Jelita membuka amplop yang diberikan Bibik Retna. Isinya ada sekitar lima juta rupiah.
Ia bernafas lega.
Setidaknya bisa untuk tiga bulan sewa kos, sambil mencari cari pekerjaan.
Jelita membuka aplikasi taksi online untuk memesan kendaraan menuju lokasi tersebut. Sepanjang perjalanan, Jelita melamunkan segalanya.
Hidupku mendadak berubah.
Aku tidak menyangka. Banyu ternyata bisa sejahat ini....
Air mata kembali menetes di pipinya.
Suamiku itu memang selalu dingin dan jarang tersenyum. Tapi sikapnya baik dan tidak pernah kasar. Kenapa tiba tiba?
Jelita menghapus air mata yang mengalir di pipinya.
Ia mengenang pertemuannya dengan Banyu beberapa bulan lalu. Perkenalan yang singkat dan langsung berujung pernikahan.
Apa yang salah?
Apa selama tiga bulan ini, aku sudah membuat Banyu kecewa?
Ingatan Jelita kembali ke malam pertama mereka. Saat itu, Banyu memperlakukannya dengan baik. Ia tidak merasa kalau ada hal jelek yang akan terjadi tiga bulan kemudian.
Bahkan...
Jelita mengelus perutnya lagi.
Banyu, sekarang ada buah hati kita di perutku ini.
Kamu tidak mempermainkan perasaanku bukan?
Ah, apa yang terjadi?
Berjuta tanya begitu menggelitik di dirinya. Tapi hanya Banyu yang bisa menjawabnya. Sedangkan saat ini, ia sudah tidak lagi bisa menghubungi nomor mantan suaminya itu.
Jelita menghapus air matanya.
Sampai akhirnya mobil tiba di depan sebuah gang kecil yang alamatnya sesuai dengan aplikasi.
"Sudah tiba bu," ucap sang pengemudi.
"Terima kasih," Jelita membayar dalam bentuk tunai lalu turun dari dalam mobil.
Ia memasuki gang kecil tersebut dan terus mencari rumah bernomor tiga puluh tiga. Ternyata tempat kos tersebut terletak di ujung gang. Ada cukup banyak kamar kos yang berderet di situ.
Sesuai gambar. Bersih dan rapi.
Jelita tersenyum.
Ia menyapa seseorang yang sedang nenyapu, "Maaf, saya sedang cari tempat kos. Pemiliknya ini dimana?"
Lelaki yang sedang menyapu itu menunjuk ke rumah besar di samping deretan tempat kos tersebut.
"Terima kasih," Jelita pun melangkah ke rumah besar yang dimaksud lalu mengetuk pintunya.
Tok, tok, tok.
Pintu pun terbuka.
Seorang bapak yang sudah berumur membukakan pintu, "Iya. Ada apa?"
"Saya sedang mencari tempat kos," jawab Jelita.
"Oh, sebentar, sama istri saya saja. Masuk mbak," ucap bapak tersebut.
"Baik," Jelita melangkah masuk ke dalam rumah pemilik kos tersebut.
Tak lama, seorang ibu yang usianya mungkin di akhir lima puluh tahunan muncul. Ibu tersebut memamerkan senyumnya yang ramah, "Iya mbak. Sedang cari kos?"
"Iya," Jelita mengangguk. "Nama saya Jelita."
"Saya Ibu Ajeng," jawabnya. "Pengelola dan pemilik kos Rumah Asri. Tahu dari mana mbak?"
"Saya lihat di aplikasi indekos," terang Jelita.
"Oh iya, iya. Kamar kosong tinggal satu lagi," ucapnya. Yang di pojok dekat rumah saya ini," Ibu Ajeng menjelaskan sambil tertawa. "Banyak yang tidak mau posisi dekat ibu kos."
Jelita ikut tersenyum.
Aku sebaliknya. Justru posisi pojok itu yang menjadi favoritku.
"Tidak masalah?" tanya Ajeng.
Jelita menggeleng, "Tidak masalah. Saya suka lingkungan di sini. Nyaman, rapi dan bersih. Asri juga banyak tanaman."
"Baiklah," ucap Ajeng. "Ayo mau lihat kamarnya?"
"Iya mau," Jelita mengangguk.
Ia menyukai ibu kosnya ini yang begitu ramah.
Oh... Semoga hidupku di sini akan baik baik saja.
Ajeng melangkah ke luar rumah lalu belok kanan menuju kamar kos yang tepat berada di sebelah rumahnya, "Kamar kos nomor sembilan. Nomor terakhir.
"Total ada sembilan kamar di sini. Semua penghuninya perempuan. Saya tidak menerima laki laki," terangnya.
Jelita semakin senang mendengarnya. Ia juga tidak akan nyaman kalau ada laki laki yang tinggal di dekatnya.
Ajeng membuka pintu kamar nomor sembilan tersebut.
Jelita langsung tersenyum lebar memperhatikan kamar yang bersih dan cukup luas untuknya. Sudah ada tempat tidur dan lemari yang tertata rapi. Ruangan itu juga terang karena ada jendela di sebelah pintu masuk sehingga tidak gelap dan mendapatkan cukup pencahayaan.
"Saya ambil kamar ini," Jelita langsung bicara.
"Tidak mau periksa dulu air dan semuanya?" Ajeng menahan senyumnya.
Jelita menggeleng, "Tidak."
Ia melangkah ke kamar mandi yang harum kamper dan terasa bersih. Saat keran ia putar, airnya pun mengalir lancar.
"Mbak yakin?" Tanya Ajeng memastikan.
"Iya," Jelita mengangguk. "Saya ambil kamar ini."
"Oh ya, di sini tidak ada wifi," ucap Ajeng.
"Tidak masalah," Jelita mengangguk.
Lingkungan yang baik, bersih dan segar seperti ini cocok untukku.
"Baiklah," Ajeng tersenyum memperhatikan perempuan muda di hadapannya. "Sewa per bulan itu satu juta lima ratus ribu. Kalau langsung bayar tiga bulan, ada potongan dua ratus lima puluh ribu per bulan jadi total tiga juta tujuh ratus lima puluh ribu."
"Saya ambil langsung tiga bulan," Jelita menjawab dengan semangat.
Baginya, uang tujuh ratus lima puluh ribu sangatlah berarti. Nilai itu sangat besar untuk membayar tempat tinggal yang menjadi kebutuhan primer.
Memang, aku langsung harus membayar dalam jumlah besar, tapi... Toh aku tidak ada tempat lain dan tidak berniat mencari cari lagi.
"Baiklah, saya minta KTP nya," ucap Ajeng.
Jelita pun menyerahkan kartu identitasnya. Saat itu, ia baru tersadar kalau status dalam KTP nya tercatat 'belum menikah'.
Aku belum sempat merubahnya ketika menikah tiga bulan lalu.
Bagaimana kalau perutku semakin membesar? Apa... Apa aku ceritakan segalanya pada Ibu Ajeng? Tapi bagaimana kalau jadinya tidak boleh kos di sini?
Jelita berada dalam dilema.