Ajeng kemudian menyimpan kartu identitas tersebut di dalam dompet kunci yang dibawanya.
"Saya pinjam dulu, nanti dikembalikan," ucapnya.
"Baik," Jelita menjawab singkat. Ia memutuskan untuk menunda mengungkapkan segalanya.
Jangan sampai, aku tidak diperbolehkan kos di sini. Tidak mudah menemukan tempat kos yang langsung sreg di hati.
Jelita kemudian membuka tasnya dan mengeluarkan amplop berisi uang. Setelah menghitung jumlahnya, ia menyerahkan senilai tiga bulan biaya kos pada Ibu Ajeng.
"Terima kasih mbak," ucap Ajeng menerima uang tersebut.
"Apa boleh saya langsung menempatinya sekarang juga?" tanya Jelita dengan hati hati. Ia tidak ingin mengundang pertanyaan dari Ibu Ajeng sehingga kemudian langsung beralasan. "Saya dari luar kota dan belum menemukan tempat tinggal di ibukota."
"Oh begitu," Ibu Ajeng tersenyum. "Tentu saja boleh. Kamar kosong di sini setiap hari dibersihkan, jadi sudah siap ditempati. Mungkin tinggal pasang sprei saja. Apa mbak Jelita bawa sprei?"
Jelita menggeleng.
"Nanti saya bawakan. Tunggu," Ajeng keluar dari kamar kos tersebut.
Jelita duduk di atas ranjang sambil tersenyum.
"Setidaknya, aku aman dari hujan dan panas. Tinggal mencari cara untuk mendapatkan pekerjaan," gumamnya.
Ia kemudian mengeluarkan botol minuman yang dibelinya. lalu menyimpannya di atas meja kecil di samping ranjang. Tangannya kemudian merogoh uang pemberian Bik Retna di dalam tas dan menghitung sisanya.
"Uang di dalam amplop ini ditambah yang ada di dompet, tersisa kurang dari dua juta rupiah," gumam Jelita. "Itu cukup untuk makan. Selama tiga bulan ini, setidaknya aku harus mendapatkan pekerjaan.
"Semangat Jel..."
Tiba tiba Ibu Ajeng memasuki kamarnya yang memang terbuka pintunya.
"Ini sprei nya mbak. Saya siapkan dua set, satunya untuk ganti," ucapnya. "Dan ini KTP nya."
Ajeng mengembalikan kartu identitas ke tangan Jelita.
"Lalu ini kunci kamar. Saya menyimpan cadangan, untuk hal tidak terduga," katanya lagi.
"Terima kasih buk," Jelita tersenyum.
"Oh ya, kalau kamu mencari makanan murah, setiap pagi selalu ada tukang bubur lewat di sini. Lalu di belokan depan rumah saya, hanya beberapa meter dari awal jalan, ada warteg murah dan enak. Anak anak kos sering makan di situ," Ajeng menjelaskan.
Jelita semakin merasa senang.
Aku tidak perlu jauh jauh mencari makan.
Tangannya secara reflek mengelus perutnya.
Aku... Tidak lagi bisa hanya memikirkan diri sendiri. Ada janin di perutku. Anakku...
"Sehari hari saya di rumah bersama suami. Anak anak saya sudah besar dan tinggal di luar kota," jelas Ajeng. "Kalau kamu mau main main ke rumah, silahkan saja."
"Oh iya, terima kasih," Jelita mengangguk angguk.
Ajeng menyentuh bahu Jelita, "Saya ke rumah dulu."
"Terima kasih buk," Jelita membalas keramahan Ajeng dengan senyuman.
Setelah Ajeng pergi, Jelita menutup pintu kamarnya dan menggantungkan kunci di pintu. Ia memasang sprei juga sarung bantal dan guling hingga kasurnya siap untuk ditiduri.
Jelita duduk di atas ranjang, kemudian membuka tas yang tergeletak di lantai dan mulai membereskan pakaian serta dokumen dokumen yang dibawanya. Dari tiga tingkat rak lemari, hanya satu rak saja yang terisi. Sisanya kosong.
Jelita termenung menatapnya.
Sebelumnya, saat masih tinggal di rumah Banyu Adhiarja, Jelita diberikan pakaian dari berbagai jenama terkenal. Banyu memenuhi lemarinya dengan pakaian, tas dan sepatu mewah. Sungguh berbeda dengan kondisinya sekarang.
Jangan terlalu dipikirkan. Toh sebelum menikah dengan Banyu, aku juga tidak hidup mewah. Ini hanya melanjutkan kembali hidupku sebelum mengenal mantan suamiku.
Jelita Maharani yang bekerja di sebuah restoran beberapa kali melihat sosok Banyu Adhiarja mengunjungi tempatnya bekerja tersebut untuk makan siang atau makan malam. Ia mengagumi ketampanannya hingga diam diam menyukainya.
Hingga terjadilah insiden itu. Peristiwa yang membuatnya mengenal lelaki bernama Banyu Adhiarja. Bahkan, dari perkenalan itu, mereka pun menikah.
Jelita tidak pernah mengerti kenapa bisa seorang Banyu Adhiarja mengajaknya menikah. Ia yang begitu bahagia tidak ingin mencari tahu alasannya.
Hari demi hari, selama sembilan puluh hari, Jelita jalani dengan bahagia yang membuncah.
Memang, Banyu sering bepergian karena urusan pekerjaan. Tapi selama suaminya itu kembali ke rumah, ia tidak mengeluh.
Namun hari ini berbeda....
Seperti bom waktu yang tidak pernah ia tahu akan meledak, pengacaranya datang ke rumah menyerahkan akta cerai.
Aku dengar Banyu sudah pulang, tapi kenapa dia tidak menemuiku? Kenapa malah pengacara yang mendatangiku? Dan akta cerai itu, aku tidak pernah menandatangai dokumen apapun terkait perceraian.
Bukankah kalau cerai itu harus disepakati kedua belah pihak?
Tapi...
Jelita terdiam.
Dengan segala kekuasaan dan kekayaan yang dimiliki Banyu, semua itu mungkin saja.
Aku bisa apa?
Jelita memeluk guling dengan erat dan menundukkan kepalanya. Ia bisa merasakan kalau matanya bengkak dan pedih.
Aku terlalu banyak menangis dalam satu hari ini.
Tapi, bagaimanapun... Aku tidak boleh mengeluh.
Bersyukurlah Jel. Ada Bik Retna yang membantumu, dan kamu juga langsung menemukan tempat tinggal yang nyaman.
Sekarang fokus mencari pekerjaan untuk kehidupanmu dan anakmu.
Jelita kemudian membuka ponselnya dan mulai mencari cari lowongan kerja.
>>>
Seorang lelaki dengan tubuh tinggi besar menatap keluar jendela di ruangannya. Dari samping, siapapun bisa melihat ketampanannya yang luar biasa memesona. Hidung besarnya yang tajam dengan dagu dan rahang yang tegas semakin membuatnya begitu menarik. Belum lagi kulitnya yang kecoklatan, menunjukkan kesan maskulin yang tidak terbantahkan.
Lelaki itu adalah Banyu Adhiarja.
Seantero Indonesia tentu saja mengenal namanya dan Keluarga Adhiarja. Mungkin tidak semua orang pernah melihat sosoknya secara langsung, tapi Banyu Adhiarja selalu muncul di berbagai pemberitaan tentang ekonomi dan bisnis sebagai CEO dari Adhiarja Holding yang menggurita.
Usahanya yang bergerak di bidang pertambangan seperti batu bara, nikel, emas, timah, minyak dan gas bumi, membuatnya menjadi salah satu konglomerat terkaya di tanah air. Banyu juga terkenal bertangan dingin. Ia tidak ragu turun ke berbagai pelosok Indonesia untuk mengecek berbagai smelter miliknya yang memang tersebar dari Sabang hingga Merauke.
Di balik kesuksesannya, sayangnya Banyu memiliki kelemahan yang tidak semua orang mengetahuinya.
Tok, tok, tok.
Terdengar ketukan di pintu ruangannya.
"Masuk," ucapnya tegas.
Sosok executive secretary yang setia mendampinginya, Ranu Samudra, masuk ke ruangannya.
Tidak menunggu Ranu bicara, Banyu membuka mulutnya terlebih dahulu.
"Bagaimana?" tanyanya.
"Sudah," jawab Ranu. "Akta cerai sudah diberikan dan... Mmm... Ibu Jelita sudah pergi dari rumah."
Banyu terdiam. Ekspresinya berubah mengeras.
"Kamu bisa keluar," ucapnya.
Ranu membalikkan tubuhnya dan bergerak pergi.
Setelah sekretarisnya itu pergi, Banyu duduk di kursi kerjanya dan memutarnya hingga membelakangi pintu. Matanya menatap nanar ke arah jalanan Jakarta dari jendela besar di hadapannya.
Tidak ada yang bisa membaca isi hati dan kepalanya.
Entah marah, entah sedih, hanya Banyu Adhiarja seorang yang tahu.