Jelita terus berselancar di dunia maya untuk mencari cari pekerjaan, tapi kemudian... Ia menyadari sesuatu.
"Aku hamil," gumamnya.
"Kalau melamar kerja di perusahaan, apa mereka mau mempekerjakan ibu hamil? Tujuh bulan lagi aku melahirkan dan harus cuti hamil. Rasanya kecil kemungkinan perusahaan besar ada yang mau menerimaku.
Jelita termenung.
"Aku juga tidak mungkin menyembunyikan kehamilanku. Anakku bukan aib.
"Selain itu... Ini kehamilan pertamaku. Aku tidak tahu yang akan aku rasakan selama masa masa mengandung."
Jelita tahu, kalau ia tidak mungkin melamar pekerjaan secara formal.
"Satu satunya cara, aku melamar pekerjaan secara informal. Tapi, apa? Kemana? Apakah ada pekerjaan yang bisa aku lakukan dari rumah? Freelance? Secara daring?"
Ia merenungkan segalanya.
Jelita mulai mengetikkan kata kunci, 'kerja dari rumah' dan 'freelance',
Keluar beberapa jenis pekerjaan seperti penulis, desainer grafis, penerjemah, data entry, editor video, social media manager dan developer web.
"Aku tidak bisa menjadi desainer grafis, editor video, social media manager atau developer web. Selain itu, sepertinya, untuk mengerjakan itu semua, aku harus memiliki laptop. Sedangkan ini tidak ada..."
"Tanpa laptop juga aku tidak bisa menjadi penerjemah. Rata rata dokumen untuk diterjemahkan itu panjang dan tebal, jadi akan sulit kalau mengerjakan di laptop.
Jelita kembali merenung.
"Apa yang bisa aku lakukan dengan ponsel?"
Matanya membaca kata 'penulis'.
Mmm... Kalau tidak terlalu panjang, bisa saja aku menulis menggunakan ponsel.
Ia kemudian melakukan pencarian di dunia maya mengenai profesi penulis dan cara mencari uang dengan menulis. Jelita menemukan satu artikel mengenai penulis yang sukses setelah menulis secara daring di sebuah platform novel online.
Senyum mengembang di wajahnya.
"Aku bisa mencobanya."
Dulu sekali, saat sekolah menengah atas, Jelita Maharani pernah menjuarai penulisan cerita pendek di sekolahnya. Jadi, mengarang cerita fiksi bukanlah hal asing baginya. Meskipun sudah lama sekali tidak pernah menulis, tapi Jelita masih memiliki passion untuk melakukannya.
Ia mencari cari aplikasi menulis yang memiliki banyak penggemar. Setelah menemukannya, Jelita membaca baca mengenai ketentuan dan aturan mainnya.
Oh... Kuncinya agar menghasilkan uang adalah dengan membuat novelku dibaca banyak orang.
Aku bisa langsung mencobanya saat ini juga.
Jelita mulai registrasi dan memikirkan nama pena.
Apa yaa...
Setelah berpikir cukup lama, akhirnya ia memilih nama Nawasena. Jelita teringat pernah membaca kalau dalam Bahasa Sansekerta, 'Nawasena' memiliki arti 'masa depan cerah' atau 'kaya akan harapan'.
Ia pun selesai melakukan registrasi sehingga memiliki akun penulis.
"Apa yang harus aku tulis?" Jelita berpikir.
Ia menyimpan ponselnya lalu mengambil agenda dan alat tulis miliknya.
Aku buat draft dulu saja.
Dengan serius, Jelita memantapkan diri menjadi penulis dengan mulai menyusun ide cerita dan plot.
>>>
Banyu melangkah memasuki kediamannya tanpa banyak berkata kata. Ia memasuki kamar tidurnya.
Ketika melihat foto pernikahannya di samping tempat tidur, ia mengambilnya dan melemparkannya ke tembok hingga kaca yang melindunginya pecah berantakan. Matanya juga kemudian melihat adanya amplop coklat yang tergeletak di atas meja.
Banyu membukanya dan melihat selembar cek yang ditanda tanganinya ada di dalam amplop tersebut. Ia meremas amplop dan cek lalu menjatuhkannya ke lantai begitu saja. Banyu kemudian berjalan ke kamar mandi sambil melepaskan pakaiannya satu persatu hingga berceceran di lantai. Di bawah shower ia berdiri dan membiarkan air dingin membasahi rambut dan tubuhnya. Kedua tangannya menekan ke tembok dengan kepala tertunduk.
Lagi lagi, ia hanya diam dan tidak mengeluarkan sepatah katapun.
Air dingin terus mengalir di tubuhnya cukup lama. Tidak ada reaksi ataupun emosi lainnya. Banyu tetap bersikap 'dingin'. Wajahnya mengeras tanpa ekspresi berlebih.
Setelah tubuhnya terasa bersih, Banyu mengambil bathrobe untuk menutupi badan telanjangnya. Ia lalu berbaring di atas ranjang sambil memejamkan mata dengan kedua tangannya terlipat di dadanya.
Ada hal yang dipikirkannya, entah apa.
>>>
SATU MINGGU KEMUDIAN.
Jelita tersenyum lebar ketika menyadari kalau jumlah pembaca novelnya terus bertambah.
Oh, aku semangat kalau begini. Semoga saja bertambah banyak.
Meski Jelita merasa kesulitan untuk terus mengetik dengan menggunakan ponsel, tapi ia tidak patah arang. Pertambahan jumlah pembaca membuatnya semakin semangat. Bahkan, tulisannya sudah mulai menerima penghasilan dari koin berbayar di setiap episodenya.
Tidak banyak, tapi ini membuatku bersyukur, karena bisa bekerja dari rumah.
Tok, tok, tok.
Jelita bangkit dari ranjang dan membukakan pintu kamarnya. Di ambang pintu ada sosok Ibu Ajeng.
"Mbak sedang apa?" tanyanya. "Apa ibu ganggu?"
"Tidak buk, tidak ganggu," Jelita menggeleng. "Saya sedang menulis. Mmm... Saya bekerja sebagai penulis."
"Ohh..." Ajeng tersenyum. "Pantas jarang keluar kamar.
"Ini, ibu datang hanya untuk mengantarkan singkong rebus."
Ajeng menyodorkan sepiring singkong.
"Kemarin ada yang datang berkunjung dan mengantarkan singkong mentah. Dulu, dia sempat kos di sini."
"Te... Terima kasih," Jelita tersenyum lebar saking senangnya. Ia mengambil sepiring singkong tersebut dan menyimpannya di atas meja di samping tempat tidur.
Jujur, sejak hamil, seringkali ia mudah lapar. Tapi, Jelita tidak bisa terlalu banyak membeli makanan mengingat uangnya terbatas. Jadi, kiriman singkong ini sungguh membuatnya bahagia.
Aku tidak pernah sangat bersyukur seperti ini hanya gara gara singkong.
Ini sebabnya Yang Maha Kuasa memberikan kita ujian agar mensyukuri segara nikmatnya.
Ibu Ajeng memperhatikan ada buku dan alat tulis yang terbuka di atas ranjang.
"Apa kamu membutuhkan meja dan kursi?" tanyanya. "Daripada bekerja di atas kasur."
"Saya..." Jelita terdiam. Ia tidak melanjutkan ucapannya.
Ibu Ajeng langsung bisa membaca diamnya Jelita.
"Kamu bisa menggunakan meja dan kursi yang ada di kamar anak saya," ucap Ajeng sambil menatap Jelita. Entah kenapa, tapi ada rasa kasihan dan juga ingin membantu gadis muda di hadapannya.
"Bo... Boleh?" Jelita langsung antusias.
"Iya. Bisa. Tapi saya tidak kuat mengangkatnya. Apa kamu bisa membawanya sendiri?" tanya Ajeng.
"Bisa," Jelita mengangguk.
"Ayo," Ajeng melangkah keluar dari kamar Jelita.
Jelita mengikutinya di belakang.
Keduanya memasuki rumah Ajeng lalu bergerak menuju satu ruangan yang ada di paling belakang rumah, berdampingan dengan ruang makan.
"Ini kamar anak saya," ucap Ajeng. "Sudah dua tahun tidak pulang karena tinggal di Kalimantan. Dan dia juga sudah tidak lagi menggunakan semua barang barang di ruangan ini. Jadi kalau perlu meja kursinya, kamu pakai saja.
"Ini bahannya dari kayu pinus, jadi tidak terlalu berat."
Jelita mencoba mengangkat meja dan kursi tersebut.
Oh iya juga, tidak terlalu berat.
Di atas meja, ia melihat sebuah laptop. Jelita tergelitik untuk bertanya.
"Ibu maaf, apa laptop ini digunakan?" tanyanya.
"Tidak," Ajeng menggeleng. "Sudah lama laptop itu ada di atas meja."
"A... Apa boleh saya meminjamnya?" tanya Jelita. "Atau saya beli? Tapi, mungkin baru bisa saya bayar di bulan depan."
"Silahkan saja pakai. Toh anak saya tidak menggunakannya," Ajeng mempersilahkannya.
"Oh, terima kasih banyak. Saya janji akan menjaganya," Jelita tersenyum lebar. "Saya bawa dulu semua ini ke kamar."
"Silahkan," Ajeng tersenyim. "Saya bantu membawa laptopnya."
Keduanya mondar mandir dari dalam rumah menuju kamar kos Jelita hingga akhirnya semua selesai.
Jelita kemudian menyalakan laptop tersebut. Ketika layarnya menyala, Jelita langsung kaget karena ada logo PT Adhiarja Tambang yang muncul di hadapannya.
I... Ini perusahaannya Banyu. Apa anak dari Ibu Ajeng bekerja di sana?
Jantungnya mendadak berdebar kencang.