1. Maugy

3048 Words
“Gy! Bangun, Gy!” Suara Danelo yang lembut masuk ke telinga gue dengan sempurna. Dia pasti lagi usaha bangunin gue. Selalu. Ah, manisnya anak itu. “Gy?” Biarin aja deh. Ganggu banget pagi-pagi. Hari Minggu juga. “Gy, bukannya sabtu ini lo ada ujian Fisika?” Apa katanya? Sabtu? Gue buru-buru bangun dan membuka jendela. Di seberang sana, gue lihat Danelo udah rapi dengan seragam sekolahnya. Rambut cokelat pirangnya masih terlihat basah. Bibirnya yang merah terlihat kayak buah stroberi yang segar. Nggak tau kenapa gue suka banget lihat wajahnya yang cakep. Brondong manis. Gue dua tahun lebih tua dari Danelo. Sekarang gue kelas 3 SMA dan dia kelas 1 SMA. Tapi gue nge-fans abis sama dia. Huhuhu, dia mau nggak ya, sama yang agak tua-an? Huhuhuk. “SABTU?” tanya gue ke dia yang masih senyum. Dia mengangguk manis. “MATI GUE! GUE KIRAIN INI UDAH HARI MINGGUUUUU! NELOOOO, LO KETERLALUAN BARU BANGUNIN GUE JAM SEGINI!” pekik gue lalu lari ke kamar mandi. ★★★ DANELO (POV) MAUGY sekarang cantik banget. Gue masih ingat waktu kecil gue paling sering jadi korban gigitannya. Sampe sekarang dia juga masih gigit, sih. Cewek aneh. Dia lebih tua dua tahun dari gue tapi badannya nggak juga gede. Kalo diukur sama gue, Maugy tingginya sebahu gue. Dia mirip banget sama tante Lupin. Dibilang tinggi nggak, dibilang pendek juga nggak. Tapi, nggak tau kenapatelaaaat, buruan entar kita telaaaat!” teriaknya masih dengan rambut penuh busa. Dia berdiri di depan jendela sambil merapikan baju seragamnya. “Gy… hfufufufuf…,” gue berusaha menahan tawa melihat kedodolannya. Nih anak, benar-benar deh. “Lo kenapa, sih?” tanyanya bingung. “Ngaca dulu sana!” kata gue sambil mengulum senyum. Maugy mengernyit, dia manyun lagi. Nggak berapa lama, gue dengar dia teriak lagi lalu masuk ke kamar mandi. Dia lucu. Gue suka. ★★★ MAUGY (POV) “GIOOOOO! GIAAAAAAAA! BURUAAAAAAAN!” teriak gue dari luar rumah. “Kita udah di sini dari tadi kaliiiiiiiiiii!” Suara itu muncul dari lapangan basket. Si kembar cewek-cowok yang cakepnya nurun dari tante Gita itu bertolak pinggang bersamaan. Oh, ternyata gue yang telat. Masang tampang tak bersalah aaah. “LO LAMA BANGET, SIH?!” Satu semprotan dari Gia. Cewek berambut ikal pirang itu menunjuk hidung gue dengan kesal. Dia juga menaikkan ujung hidung gue kayak bentuk hidung babi. “Gue kirain ini hari Minggu loh…,” kata gue sambil menepis jarinya yang cantik dari hidung gue. “Hari Minggu apaan! Besok baru hari Minggu, Oon! Yuk, cabut!” kata Gio sambil menenteng bola basketnya. Gio punya rambut pirang lurus kayak om Rey. Cakep deh. Gue suka lihat senyumnya. Ada lesung pipinya di kanan. Kalo Gia ada lesung pipi di kirinya. Gue paling beruntung, gue punya dua lesung pipi yang entah nurun dari siapa. Asal-usul gue masih dipertanyaan. Kata tante Gita sih, waktu kecil, pipi gue sering ditoel pake sendok sama Mama. Pas gue tanya sama Mama, katanya bukan pake sendok, tapi pake jempol kaki. Dengar itu, gue jadi ngeri sendiri. Setelah menempuh perjalanan selama sepuluh menit, akhirnya kami tiba di sekolah. SMA Plamboyan, namanya. “PAAAK! JANGAN TUTUP, PAAAK!” “CEPETAAAAN!” Pak Satpam balas teriak. Air liurnya bermuncratan tepat ke wajah Gia. Gia diam, sebelum dia pingsan di tempat, lebih baik gue seret dia masuk ke dalam. “NAJIS, SUMPAH BAU JIGONG!” teriaknya baru sadar setelah sampai di koridor. “Udah berapa kali gue bilang jangan ngomong dekat-dekat sama Pak Igong. “Gue lupa, Gy. Eh, gue duluan ya, sampe ketemu di kantin!” katanya lalu lari ke kelasnya. “Gue juga duluan. Sampe ketemu di kantin!” sambung Gio lalu pergi. Gio kayaknya lagi galau. Nggak biasanya mukanya kusut begitu. “Gy!” Suara lembut Nelo lagi-lagi bikin hati gue adem. Gue menengok dia yang tersenyum manis ke gue. “Ini Pe-er Kimia lo yang kemarin,” katanya sambil menyodorkan buku yang baru aja dia keluarkan dari tasnya. “Lo kerjain juga?” tanya gue. Dia tersenyum lalu pergi tanpa menjawab pertanyaan gue. Tuh kaaaaan, gue bilang juga apa! Nelo itu manis banget, aaah. b**o juga sih, disuruh ngerjain PR gue aja mau, padahal dia kan, masih kelas satu. “Nelo Sayang, makasih ya, muaaaah!” teriak gue lalu berbalik dan BRAK.... Gue nabrak dia. Cowok gue. Miller Gaerin. Cowok over protektif. “Telat? Tadi malam aku telpon ke mana? Kok, nggak diangkat? Tadi malam tidur jam berapa? Tadi pagi kenapa nggak bales SMS aku? Kamu ngapain aja?” Miller nanya secara beruntun ke gue. Gue bungkam. Bisa apa gue di depan cowok ini? Kenapa sih, pagi-pagi harus kepergok telat sama dia? Ribet dan pasti akan panjang ceritanya. “Aku—” “Kan aku udah bilang, jangan tidur malem-malem! Masih suka ngobrol sama anak itu? Sekarang panggilannya udah mesra, ya? Sayang? Pake muah lagi! Mantap!” katanya tanpa jeda. Dia nggak sesak napas apa, ya? “Sayang aku tuh—” “Udah lah! Masuk sekarang!” katanya dengan nada memerintah yang nggak gue suka. Entah kenapa, gue membiarkan cowok ini memasuki hidup gue selama dua tahun ini. “Aku nggak suka kamu dekat-dekat sama anak itu. Sama Gio juga!” “Tapi kan, mereka itu tetangga aku, Sayang,” kata gue dengan lembut. Gue berjalan di belakangnya. Badan tegapnya berbalik. Sekarang mata cokelat itu menatap gue dengan galak. “Aku nggak suka! Dan aku nggak peduli mereka itu siapa. Paham?” katanya dingin. Asli, gue gemetar. Gue takut kalo dia udah natap gue kayak gitu. Gue menunduk lalu kembali berjalan. DUG. Gue nabrak dia lagi. “Jangan ngelamun!” katanya galak lalu pergi dengan arogannya. Gue baru bisa napas lega setelah dia hilang ditikungan. “Iiiiiiiiiiiiiih, nyebeeeeeliiiiiin!” kata gue geram sambil menggigit ranting daun yang agak nunduk tepat di depan gue. “Plueeh plueeh… nggak enak!” kata gue  ngerasa daun nggak seempuk tangan yang biasa gue gigit. Aaaaah, siapa korban gue berikutnya? Gue kesaaaaaaaal! ★★★ “AAA.... SAKIIIIIIT!” teriak Melon setelah gue melepas tangannya dari mulut gue. Gue menarik napas dalam lalu melihat Melon yang udah banjir air mata. “MAUGY, LO TEGA BANGET, SIH???” pekiknya sambil mengusap-usap tangannya yang gue gigit. “GUE KESAL!” “LO TUH LAGI SENANG, LAGI KESAL, TETAP AJA GIGIT ORANG! TAPI, JANGAN GUE TERUS DOOOOONG! BULAN INI GUE UDAH 5 KALI KENA GIGIT SAMA LOOO!” teriaknya membahana. Pletak. Mampus. Melon diam saat spidol mendarat tepat di kepalanya. Dia meringis kesakitan sambil bergantian mengelus tangannya yang gue gigit dan jidatnya yang kena spidol. Bu Jenny, gue Fisika itu menatap gue dan Melon dengan tajam. “Kalian mau ikut ujian atau mau main?” tanyanya dingin. Duh, gue jadi keingat Miller. Mereka emang mirip banget. Ibu dan anak nggak jauh beda. “Ujian, Buuuk," jawab gue dan Melon bersamaan. “Diam dan kerjakan!” katanya lagi. Gue dan Melon mengangguk lalu kembali fokus sama 40 pertanyaan Fisika yang ada di atas meja. ASIK! Nggak sia-sia gue tadi malem tidur lama, cuma buat kopekan Fisika. Kalo Miller tau alasan yang sebenarnya, bisa mati gue. Dia pasti marah banget gue udah curangin mamanya. Hiks. ★★★ Jam istirahat, Kantin “Eh, Gy, gue dengar, katanya anak tante Kenny mau tinggal di rumah lo, ya?” Uhuuukk, crrrot Minuman yang baru masuk, keluar lagi dan menyembur wajah manis Gia. Gia diam, lalu menarik napas dalam. Dia mencoba sabar ternyata. Diambilnya tisu dengan gerakan gemulai. “k*****t LO, GY! KAGET GUE, SETAN! MONYONG!” katanya sambil berusaha menyumbat mulut gue dengan tisu. Astaga, Gia ekstrim juga. “Uhukk… apaan sih, lo!” kata gue galak sambil menyingkirkan tisu yang menempel di bibir gue. “Lo sih, main muncrat-muncrat aja!” katanya sebal. “Lo tadi bilang apa? Anak tante Kenny? Tante Kenny itu, yang mana?” tanya gue mengerjap bingung. “Ya ampun, masa lo lupa, sih? Itu loh…” dia diam sebentar. “Eh, gue juga lupa sih, yang mana. Yang gue ingat, waktu itu lo gigit anaknya karena dia bilang gue sama Gio tuyul. Masih ingat nggak lo?” “….” Gue mengerjap. Menatap langit-langit, “nggak, siapa sih?” “Gue juga nggak ingat banget! Tapi, yang pasti, waktu itu gue nggak sengaja dengar, katanya anak tante Kenny yang cowok itu mau tinggal di rumah lo! Dia mau ngelanjutin kuliah di sini dan tinggalnya di rumah lo! OOOOOOH!” Gia tiba-tiba mengangkat tangannya lebay. Menjentikkan jarinya, “gue baru ingat, katanya sih, namanya Mario…” “Mario?” tanya gue masih bingung. Mario mana lagi? “Iya, yang waktu itu lo gigit tangannya sampe berdarah!” “OHHH! ANAK CENGENG ITU?” tanya gue baru ngeh. “Iyaaaaa!” jawab Gia sambil manggut-manggut. “Ngapain dia tinggal di rumah gue?” “Nggak tau, mau dijodohon sama lo kali hahahahak.” “Gue nggak suka ada orang asing tinggal di rumah gue!” kata gue sebal sambil menggebrak meja. “Terserah. Bulan depan dia udah nyampe disini. Siap kita lulusan…” “Gue nggak setuju! Mama sama Papa kok nggak pernah bilang ya?” “Namanya juga perjodohan diam-diam hahaha!” “Siapa yang mau dijodohin?” Jleb. Gia bungkam dan buru-buru menjauh lalu memakan baksonya. Gue mengangkat kepala dan senyum saat Miller menatap gue dengan tatapan membunuhnya. “Siapa yang mau dijodohin?” tanyanya lagi lalu duduk di depan gue. “Bu… bukan siapa-siapa.” Jawab gue berusaha nggak gugup. “Ntar malem aku jemput jam 7. Kita makan diluar.” Katanya dingin. Kenapa Miller berubah sih? Dulu dia manis banget sama gue. Kenapa sekarang dia galak gini? “Iya sayang,” balas gue sambil tersenyum manis. Miller mengangguk lalu pergi. Kepergiannya diiringi tatapan kagum anak-anak kelas 1. Ah tolong deh, Miller emang cakep tapi kalian nggak tau aslinya dia gimana! “Miller serem deh.” Bisik Gia yang kembali merapat ke gue. “Banget.” “Kenapa sih lo masih mau jadi pacarnya dia, Gy? Putusin kenapa? Cari yang lain ajalah!” kata Gia sambil mengunyah baksonya. “Gue juga nggak tau kenapa! AAAAAAAAAA NYEBEEEEELIIIIIIIN!” teriak gue lalu mengigit tangan Gia. Gia menjerit kesakitan lalu menjambak rambut gue. “AAA SAKIIIIT GY!” teriak Gia lalu mengusap-usap tangannya. “Gue sebal banget sama Miller! SUMPAH!” kata gue sambil ngacungin garpu. “Tapi, jangan hiks… hiks… gigit gue LAGILAAAAAAH!” katanya dengan mata berkaca-kaca. “Sori, Gia. Itu perpaduan antara gerakan refleks dan khilaf.” Kata gue memasang tampang kasian. “Kapan sih lo berhenti gigit orang! Mungkin lo harus dicium dulu sama cowok baru lo nggak gigit lagi!” katanya sebal.  “Sini gue yang cium.” Tiba-tiba Danelo udah muncul dihadapan gue dan Gia dengan senyum manisnya. “Hih, Nelo genit ihh!” kata Gia sambil mencolek-colek dagu Danelo. Danelo cuma mengedip lucu. Ah, anak ini manis banget. Tapi ngomong-ngomong kenapa Gia nggak berhenti ya nyolekin dagunya si Nelo. “Gia, lo juga genit,” kata gue sambil menyingkirkan tangannya dari dagu Danelo. “Yah kakaknya marah.” Cibir Gia sebal. “Gue sama Gio ntar ada urusan. Kalian pulang duluan aja, ya?” kata Danelo dengan senyum khasnya. Dari sini aja gue bisa cium wangi parfumnya. “Urusan apa sih?” tanya Gia. “Urusan cowok. Cewek nggak boleh tau.” Katanya lalu pergi. “Oh iya, jangan lewat belakang, banyak premannya.” “Iyaaaa,” jawab gue dan Gia bersamaan. “Eh, eh, Gy! Nelo kok kayaknya lebih dewasa dari kita ya? Dia keren gitu deh! Kayak udah seumuran aja sama kita-kita!” kata Gia setelah Danelo pergi. Gue manggut-manggut. “Kenapa? Lo suka?” “Suka liat mukanya aja. Cakep kayak om Danola. Dulu, kata Mama…Om Danola pernah suka ya sama  Tante Lupin?” “Katanya sih iya. Tapi, Mama lebih milih Papa hahahak.” “Katanya, Mama dulu pernah suka juga sama Om Danola hahaha. Pasti kisah cinta mereka lucu deh, tapi kasian Mama harus ngalah sama Tante Lupin hiks.” “Dan kalo itu terjadi lagi sama kita gimana? Lo mau ngalah demi gue?” Gia diam sebentar. Dia mengerjap bingung. “Kata Mama, kalo kita melihat dua orang saling mencintai, maka kita harus mundur sekalipun itu menyakitkan. Kalo nantinya gue suka sama cowok yang sukanya sama lo, gue pasti mundur teraturlah! Demi persahabatan.” Katanya mantap. Gue tersenyum kecil dan dengan senang hati gue gigit tangannya. “AAAAAAAAA… SAKIIIT GYYYYYY!” teriaknya dan lagi menjambak rambut gue. Gue terkikik. Gue Maugy. Punya keanehan dari kecil. Suka gigit orang dalam suka maupun duka. Kalo gue marah, gue pasti gigit orang buat jadi pelampiasan. Kalo seneng juga gitu. Papa benar, gue ada kelainan. Hiks. ★★★ “Kok kita lewat belakang sih? Kata Nelo kan disini banyak premannya, Gy!” kata Gia sambil meremas tas gue. Melon yang jalan di sebelah gue mendadak mundur dan memilih jalan di belakang. Pada penakut semua ini. Jelas ini masih siang bolong, ngapain juga takut. “Kalian jalannya jangan dempet-dempet kenapa sih?” kata gue menarik tas gue dari kedua cewek manis dibelakang gue. “Disini rawan jambret, Gy! Ntar kalo kita dijambret gimanaaaaaa?” tanya Melon mulai lebay. “Nggak bakalan adalah orang masih siang gini!” “Justru target mereka itu anak-anak sekolah odong!” kata Gia mendengus sebal. Gue angkat bahu nggak mau tau. Lagian penasaran juga sama jalan disini, katanya ini jalan aman buat anak-anak yang bolos sekolah. Tiga tahun sekolah disini gue nggak pernah lewat jalan ini. “EIT! STOP!” tiba-tiba dari balik semak belukar muncul sesosok mahkluk hidup tanpa rambut. Dia berhenti lalu merentangkan kedua tangannya. Yaelah nih bocah! “Kalo mau lewat, bagi duit dulu!” katanya sambil menyodorkan tangannya yang dekil. “Ih kepalanya jorok!” kata Gia. “Kudisan,” tambah Melon. “BAGI DUITNYA CEPAT!” bentak anak itu tiba-tiba. Gia dan Melon bungkam seketika. “Apa lo bilang?” tanya gue sambil bertolak pinggang. “Duit! Ini hari terakhir kita malak, karna besok hari minggu jadi malaknya libur!” katanya masih dengan tangan diatas udara. “ENAK AJA MINTA-MINTA DUIT!” kata gue galak lalu menjewer kupingnya. “SIAPA YANG NGAJARIN LO MALAK HA? KALO PUNYA RAMBUT UDAH GUE JAMBAK-JAMBAK LO! JANGAN-JANGAN LO ANAK TUYUL JADI-JADIAN LAGI! MASIH KECIL UDAH BERANI MALAK, UDAH BESAR MAU JADI APA HA!” kata gue lalu menjewer telinganya yang satu lagi. “A... A... SAKIT KAAAAK” teriaknya. “EMANG ENAK? MANA ORANG TUA LO HAH! BIAR GUE ADUIN SEKALIAN! KECIL-KECIL UDAH MALAKIN ORANG!” bentak gue masih menjewer kupingnya sampe merah. Biar tau rasa nih anak! Kecil-kecil udah belajar jambret. “AAAAAAAAAAAA…HUHUHUWAA!” Yaaah, dia nangis. Gue melepas jeweran gue dengan terpaksa. Kasian sih sampe ingusan segala. “RASAIN! KEPALA UDAH KAYAK TELOR BUSUK JUGA!” kata gue melipat tangan didada. Dia lari sambil nangis-nangis. “Mati kita! Dia bawa BAPAKNYA!” kata Gia sambil tepok jidat. Gia menunjuk beberapa orang yang berjalan ke arah kami. Mereka ada 10 orang dan kepalanya botak semua. Si bocah tadi nunjuk-nunjuk ke arah gue sambil nangis. “Itu Paaaaa, kakak yang ditengah itu yang bilang kepala abang kayak telor busuk huhuhuwaaa!” teriaknya makin histeris. Waduh, mati gue. “SIAPA YANG BILANG KEPALA ANAK GUE KAYAK TELUR BUSUK?” tanya om-om yang kepalanya botak licin. Badannya tegap berotot, pake kalung, anting dan tindik dibibirnya. “Om King! Jangan-jangan ini yang anak-anak bilang ketua Preman belakang sekolah, Gy…gimana dooong niiih!” bisik Melon ketakutan. Gia juga bisik-bisik disebelah gue. “E-EMANG KAYAK TELOR BUSUK KOK OM! TUH APAAN COBA HITAM-HITAM JOROK CAMPUR KUNING GITU?” kata gue setengah teriak sambil toel-toel kepala anaknya. Si Om King mendengus kayak banteng marah. Gue menaikkan satu alis. Kenapa sosok jahat dalam diri gue nggak bisa dikontrol sih? Gue nggak pernah mau kalah! Ini yang dibilang Mama kalo sifat gue sama Papa, sama. SAMA JAHATNYA. “Maugy mati kita sekarang!” bisik Gia makin ketakutan. Gue lihat matanya berkaca-kaca. “Huhuwaaaaa!” bocah itu makin kejer nangisnya. Om-om yang ada dibelakangnya maju selangkah ke hadapan gue. Ini saatnya gue ngeluarin jurus! “KATANYA TADI LO JUGA JEWER ANAK GUE KAN?” tanya Om itu lagi dengan muka merah. Waduh, dia beneran marah. “Iya gue cuma bilangin kecil-kecil itu nggak boleh malak om, pasti gara-gara sering malak kepalanya jadi kayak telor busuk gitu!” ……………… Si bocah mendadak diam. Dia mengusap kepalanya. Nggak tau apa yang dipikirkannya tiba-tiba dia bertekuk lutut. “AAAAAAAAAA MULAI BESOK ABANG NGGAK MAU MALAK LAGI PAAAA, NGGAK MAUUUUU!” teriaknya sambil guling-guling dirumput. “JURUS LANGKAH SERIBU! KAAABURRRRRRRRRR!” teriak gue lalu ngacir. Di belakang Gia sama Melon bengong sebentar lalu beberapa detik kemudian ikut ngacir sambil ngangkat rok tinggi-tinggi. Besok gue nggak mau lewat sini lagi! ★★★ Jreng…Jreng…. Never mind, I'll find someone like you I wish nothing but the best for you, too Don't forget me, I beg, I remember you said Sometimes it lasts in love, but sometimes it hurts instead Suara Danelo terdengar merdu dari jendela kamar gue. Gue beranjak dari tempat tidur dan mengintip dia yang lagi main gitar disudut kamarnya. Wajahnya terlihat serius. Kayaknya sih dia lagi menjiwai lagu itu. Nelo. Namanya cute deh. Kayaknya orang hiii. Gue nggak mungkin sama dia. Dia juga pasti udah anggap gue kayak kakaknya. Nggak mau galau gue turun untuk makan malam. Samar-samar gue dengar pembicaraan Mama di telepon dengan seseorang. “Siapa, Ma?” tanya gue sedetik setelah Mama menutup telepon. “Aaaaaaa Maugy sayang, mulai bulan depan rumah kita bakalan nambah satu orang lagi! Kamu jadi punya temen deeeeeeh!” kata Mama sambil bertepuk tangan bahagia. “Siapa?” tanya gue. “MA-RIO! Dia akan tinggal dirumah kita mulai bulan depan untuk ngelanjutin kuliahnya disini! Asiiiik!” kata Mama lalu pergi. “Mario?” gumam gue. Oke, taruhan, dia nggak akan lama tinggal disini! Gue nggak suka sama orang asing! Masih mending sepupu! Ini bukan siapa-siapa! Kita lihat aja nanti! Tiiin tiiin. Aduh! gue baru ingat! ada janji sama miller! aaaaa… pasti dia ngomel lagi deh! “Lama banget sih?” tanyanya jutek dari atas motor. “Iya so_” “Naik!” katanya tanpa mau dengar penjelasan gue. AAAAAA NYEBELIIIIN! Tapi sialnya gue nggak berani gigit dia! Hiks. ★★★
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD