Apa yang ada dipikiran kalian ketika mendengar jam kosong? Senang? Antusias? Atau mungkin sama sepertiku. Tak berminat.
Ya, sejak dulu aku tidak suka dengan jam kosong. Jika kalian tanya kenapa? Sebab itu hanya membuang-buang waktu. Sama sekali tidak befaedah.
Seperti saat ini, guru bahasa inggris yang seharusnya masuk kekelas kami, kini tidak hadir. Dengar-dengar dari teman sekelas, hari ini jadwal proses persalinannya. Ah, entahlah aku juga tidak perduli dengannya.
Saat ini semua teman sekelasku sudah berpencar, bergabung dengan kelompok masing-masing. Ada yang di barat, timur, bahkan timur laut.
Tetapi tidak denganku. Dari pada bergabung dengan mereka lebih baik aku mencari tempat yang sepi, agar aku bisa menghabiskan waktuku disana. Bersama angin dan novel yang menemaniku.
Aku mengambil novel yang kemarin baru kupinjam dari perpustakaan. Lalu bangkit dari tempatku dan berlalu meninggalkan kelas yang semakin tidak menentu. Di pertengahan jalan, aku bertemu dengan Lola. Teman sekelas sekaligus sebangku ku.
"Rhea, mau kemana?" tanyanya ketika kami telah berhadapan.
"Ke perpustakaan. Nanti kalau ada guru yang masuk, izinin aku, ya."
"Oh, oke." setelahnya aku kembali melanjutkan jalan. Oh iya, aku dan Lola memang teman sebangku. Tapi kami tidak begitu dekat, hanya sekedarnya saja. Aku juga tidak tahu kenapa aku sangat sulit dekat dengan orang lain, yang jelas sifat ini ada sejak aku tamat SD.
Langkahku berhenti tepat di tangga menuju rooftop. Entahlah, aku juga tidak tahu kenapa kakiku melangkah kesini. Karena sebelumnya aku tidak pernah ke tempat ini. Menurut rumor yang beredar, rooftop sekolahku terkenal angker. Ya, jujur saj aku tidak percaya dengan rumor yang mengada-ngada itu. Baiklah, aku akan mencoba ke sana. Setidaknya biar aku bisa membuktikan bahwa rumor itu salah.
Kakiku melangkah, menaiki anak tangga yang sudah terlihat tua. Beberapa anak tangga terlihat sudah sedikit rapuh. Mungkin karena tidak pernah diurus. Langkahku semakin jauh. Hingga aku sampai di puncaknya.
Angin bertiup kencang menghempas rambuku tak tentu arah. Beberapa hewan kecil seperti; tikus, kecoa, bahkan burung yang sedang bersantai di sana, berlari mencari tempat persembunyian. Mungkin mereka pikir aku adalah orang jahat yang ingin memusnahkan mereka.
Pandanganku menerawang setiap sudut tempat ini. Kesan pertamaku adalah, indah. Bagaimana mungkin semua warga di sekolah ini menganggap tempat ini angker? Di huni dengan makhluk halus? Sungguh omong kosong! Bahkan aku tak pernah melihat tempat seindah ini.
Bayangkan saja, dari sini aku dapat melihat jalanan kota Bandung dari jarak yang amat tinggi. Pepohonan besar bahkan juga terlihat dari sini. Angin, kicauan burung, gesekan daun, bahkan terasa sangat dekat denganku.
Tempat ini memberikan kenyamanan tersendiri untukku.
Sebuah bangku kayu yang berada di sudut bangunan ini, berhasil menarik perhatianku. Bangkunya tampak sudah tua, tapi anehnya masih terlihat bagus. Seperti ada yang merawat.
Aku duduk di sana. Bangku itu seperti sengaja ditempatkan di sudut, karena dari bangku ini aku bisa melihat jelas bagaimana Bandung dari dari atas. Sangat indah.
Alam raya, kenapa baru sekarang kau menunjukkan keindahanmu, kemana kau selama ini.
"Jika mau melihat alam raya yang lebih indah, pergilah ketempat yang dijauhi oleh orang-orang. Karena tempat yang dijauhi adalah tempat terindah yang kehadirannya tidak diketahui."
Suara itu, seperti tidak asing di indra pendengaranku. Aku memutar tubuhku, melihat orang yang baru saja berbicara.
"Kamu?"
"Iya, saya."
Hening. Kudengar langkah kakinya berjalan ke arahku.
"Gar." ia mengulurkan tangannya padaku.
"Apanya?"
"Nama saya."
"Sesingkat itu?"
Dia terkekeh pelan. " Garal Adinata Pradipta. Panggil saja, Gar. Biar lebih mudah diingat," lanjutnya.
"Oh, oke. Rhea Azzaela Nadhifa."
"Bagaimana dengan, Rhe?"
"Terserahmu saja."
Hening kembali. Sepertinya dia tipikal cowok yang tidak banya bicara. Setidaknya itu bagus, karena aku tak suka cowok yang banyak bicara namun kenyataannya semuanya hanya omong kosong!
"Baru pertama kali kesini?"
"Hmm."
"Tidak masuk kelas?"
"Gurunya tidak datang."
"Oh. Kalau begitu mau saya tunjuki tempat yang lebih indah dari ini?"
Mataku berbinar mendengar ucapannya. "Emang ada?"
"Kalau saya jawab ada, nanti kamu tidak percaya. Lebih baik langsung ke tempatnya saja, kan?"
Sedikit ragu dengan ucapannya. Tapi dari mata hitamnya, aku tidak menemukan sedikit pun kebohongan.
Semesta, apakah aku harus menerima ajakannya.
"Semesta pasti akan setuju. Sebab kita ingin mengunjungi separuh darinya."
Ya, Tuhan, apakah ini sungguhan? Dia beneran bisa mendengar isi hatiku?
"Gimana, mau?" ia bertanya lagi.
Baiklah, mungkin tidak ada salahnya menerima ajakan dari pria aneh sepertinya.
"Oke."
Aku bangkit dari tempatku, lalu berjalan mengikutinya. Kami melewati sebuah tangga tua yang berada di sebelah utara rooftop ini. Tangganya memang tua, tapi tidak dengan pemandangan di sekitarnya. Dari tangga tua ini, aku dapat melihat pepohonan dari atas sampai kebawah, burung-burung di atasnya, serangga-serangga yang hinggap di dahan pohon. Semua terlihat sangat jelas.
Ya, Tuhan sebegitu tertutupnya aku, sampai aku tak sadar di sekolahku sendiri ada tempat yang sangat indah seperti ini.
Kini kami telah melewati tangga tua itu, dan sekarang memasuki gedung SMP. Sekolahku memang bergabung dengan tingkatan lain, seperti; PAUD, SD, SMP, SMA, bahkan juga ada Universitasnya. Maka tak perlu heran jika melihat siswa-siswi baru yang mengenal guru lama. Itu tandanya mereka tamatan SMP sini, atau bahkan dari SD memang sudah bersekolah di sini.
"Capek tidak?" dia bertanya sambil terus berjalan.
"Tidak."
"Baguslah." kami sudah melewati taman SMP. Di taman kami melihat seorang bapak, sepertinya tukang kebun di SMP ini.
"Pagi, pak." Gar, dia menyapa bapak itu.
"Eh, nak, Garal. Mau kemana?"
"Tempat biasa, Pak."
"Oh. Siapa?" bapak itu melirik ke arahku, lalu aku hanya menyunggingkan sebuah senyum untuk menghormatinya.
"Temen saya, Pak."
"Bukan pacar?"
Dia terkekeh pelan. "Doakan saja, Pak."
Tuhan, apa maksudnya? Untuk detik ini saja, boleh kah aku seolah menjadi orang tuli?
Kami kembali melanjutkan jalan. Sesekali aku dengar ia bersenandung, bahkan menyanyikan beberapa bait lagu era 90-an.
Tibalah ia berhenti di sebuah pintu kecil berwarna putih yang terlihat rapuh. Lantas aku juga ikut berhenti. Dan kini menatap ke arahnya.
"Mana?" tanyaku heran.
"Sudah siap?"
Dahiku sedikit berkerut, namun perlahan aku mengangguk.
Ia mengambil sebuah kunci yang berada di balik pot hitam yang berisi bunga mawar berwarna merah.
Pintu kecil itu terbuka, dibarengi dengan angin yang berhembus kencang.
"Ayo, masuk. Sedikit menunduk, ya," ucapnya.
Aku mengangguk, lalu berjalan mengikutinya dari belakang.
Kalian mau tahu apa yang pertama kali kulihat? Hamparan rumput hijau dan luas, dengan beberapa bunga yang tumbuh terawat di sekitarnya. Bukan hanya itu, beberapa bangku dicat berwarna warni, lampu taman yang berada tepat di samping setiap bangku, dan satu lagi yang paling membuatku takjub. Sebuah rumah pohon yang dihiasi burung-burung dari origami, dan dicat layaknya sebuah pelangi. Sungguh menakjubkan.
"Apa aku sedang mimpi?" gumamku masih tidak percaya.
Namun tiba-tiba aku meringis kesakitan ketika lenganku terasa sakit, seperti digigit semut. Ternyata Gar menyubitku.
"Masih menganggap mimpi?"
Aku menggeleng. Seolah rasa sakit itu tidak sebanding dengan alam raya yang sedang kunikmati saat ini.
"Ini beneran berada di sekolah kita?" tanyaku masih takjub.
"Enggak."
Ya, Tuhan jawaban sejenis apa ini?
"Aku serius, Kak."
"Saya juga serius ..., untuk masuk kesini memang hanya melalui sekolah kita. Tidak ada jalan pintas lagi. Dan ini sudah tidak termasuk gedung sekolah lagi, melainkan tanah pemerintah yang kehadirannya tidak diketahui orang banyak." ia menjelaskan panjang lebar, dan aku mendengarnya dengan seksama.
"Jadi ini bukan wilayah sekolah lagi?"
"Bukan."
Aku hanya ber-oh ria. Rasa senang, takjub, heran, semuanya bercampur menjadi satu.
Tuhan, inikah awal dari segala doa-doaku selama ini.
"Mungkin." aku melirik kearahnya.
"Apanya yang mungkin?"
"Tidak." apa cuma perasaanku yang mengira bahwa dia menjawab ucapan yang baru saja kuucapkan dalam hati.
Kini aku kembali diam, tidak melanjutkan obrolan kami.
"Mau naik ke rumah pohon?"
"Hah? Emang boleh?"
"Boleh."
"Gak ada yang marah?"
"Siapa yang mau marah? Kan rumah pohonnya saya yang buat."
"Serius?"
"Kalau kamu nanya terus, kapan mau ke sananya?"
Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal. "Yaudah, yuk."
Kami berjalan menuju rumah pohon itu. Jujur saja, aku sama sekali tidak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaanku saat ini. Yang jelas; dia, lelaki aneh, Tuan penebak, sudah membuat hari-hariku lebih berwarna. Bahkan hanya dengan satu hari perkenalan.
Ia menyuruhku naik terlebih dahulu. Katanya biar ada yang bisa jaga di bawah.
"Tapi, kan aku pakai rok pendek."
"Saya gak bakalan nintip. Beneran, deh."
"Yang benar?"
"Iya. Kalau saya nintip mata saya timbilan. Masih gak percaya?"
Aku tersenyum simpul. Tidak ada alasan untuk tidak percaya dengannya.
Ku naiki satu persatu anak tangga yang terbuat dari kayu. Sesekali melihat kebawah— memastikan bahwa dia beneran tidak meninintip. Ternyata dia memang lelaki yang baik, dan menepati janji. Seperti saat ini, ia beneran tidak melihat ke arahku. Bahkan tubuhnya membelakangi rumah pohon ini. Mencari objek lain yang bisa dilihat— selain aku yang kini telah berada diatas rumah pohon.
"KAK, AKU UDAH SAMPAI." teriakku.
Dia berbalik, mengangkat kepalanya. Aku dapat melihat bibirnya melengkung seperti bulan sabit. Lalu, kakinya beranjak menaiki satu persatu anak tangga. Sama sepertiku tadi.
"Sampai." ucapnya ketika telah berada di atas rumah pohon.
Aku tersenyum.
"Kesana, yuk. Pemandangannya lebih indah." kami berjalan menuju jendela kecil dihiasi bunga-bunga mati yang terbuat dari bahan pelastik. Walaupun dari bahan bekas, ini terlihat sangat cantik.
Ia mengangkat dua bangku kecil, lalu menaruhnya tepat di samping jendela.
Aku duduk di salah satu bangku itu, dan dia di sebelahnya. Sungguh semakin kesini pemandangan terlihat semakin indah; beberapa bukit terlihat begitu dekat, burung-burung juga terbang seperti di atas kapala, dan semilir angin membuat suasana semakin terasa senyap namun tetap memberikan ketenangan.
"Beneran gak pernah lihat pemandangan seperti ini?" ia bertanya sembari mengambil sebuah pipet plastik dan kemudian membentuk menjadi bunga-bunga kecil.
"Iya, kak. Ini yang pertama."
"Jangan manggil saya kakak."
"Lalu?"
"Kan tadi saya sudah kasih tau nama saya ke kamu."
"Oh. Oke, deh, Gar.... " aku masih sedikit canggung memanggilnya dengan nama, tapi aku coba untuk biasa. Karena kan dia yang meminta.
"Nah, gitu."
Aku tersenyum. Kulihat tangannya yang masih membuat bunga dari pelastik. Takjub. Itulah yang kupikirkan saat ini. Bagaimana tidak? Dia cowok tapi bisa membuat kerajinan tangan sebagus ini.
Tuhan, apakah di dunia ini spesies sepertinya langka atau banyak, hanya saja aku yang baru mengetahuinya?
"Kalau kata Mama, cuma saya."
Aku tersentak. Apa maksudnya? Dia beneran bisa mendengar isi hatiku?
"Iya. Saya tahu isi hati kamu."
Sungguh? Apakah dia sedang berbohong.
"Tepatnya kelas tiga SD, saya baru sadar kalau saya bisa mendengar isi hati orang lain." ia menjelaskan dan aku sedikit tertarik. Peduli setan, jika dia berbohong. Yang penting saat ini aku mau mendengar ceritanya.
"Kata mama, namanya telepathy. Cuma bedanya, saya hanya bisa mendengar isi hati orang yang sedang saya pikirkan. Dalam artian, orang yang sudah memenuhi pikiran saya."
"Aku masih gak paham."
Dia tersenyum simpul. "Sudah jangan dipikirkan. Entar, kamu pusing."
"Kamu udah terlanjur cerita dan buat aku penasaran. Ayolah, cerita lagi."
"Saya takut kamu gak percaya. Karena banyak yang bilang ini di luar nalar."
"Itukan mereka. Dan aku bukan mereka."
Dia menghela napas sebentar. "Seperti kamu."
"Aku?"
"Iya, kamu. Dari awal bertemu saya sudah memperhatikan kamu, dan sekarang kamu malah memenuhi pikiran saya. Makanya saya tahu isi hati kamu."
"Kenapa harus saya?"
"Karena, Tuhan yang merencanakannya."
Aku terdiam. Tak tahu harus mengatakan apa.
"Selain aku?"
"Adik dan orang tua saya."
"Cuma mereka?"
"Karena cuma mereka yang memenuhi pikiran saya. Dan sekarang bertambah satu, yaitu kamu."
"Berati kamu tahu semua isi hatiku?"
Dia terkekeh pelan. Lalu bangkit dari tempatnya, menggantungkan hiasan bunga yang baru saja selesai dibuat. "Tidak semua." dia kembali duduk disebelahku. "Pertama, saya hanya tau isi hati kamu, ketika kita sedang berdekatan, seperti saat ini. Jadi kalau jauh saya gak bisa dengar isi hati kamu.
"Kedua, saya cuma bisa dengar isi hati kamu, ketika pikiran kamu sepenuhnya berpusat ke saya."
"Maksudnya?"
"Maksudnya, saya memikirkan kamu dan kamu juga memikirkan saya."
"Ih, sok tahu kamu. Aku gak mikirin kamu, kok."
Entah untuk keberapa kalinya, dia terkekeh. "Itu semua di bawah alam sadar kamu."
"Sumpah, deh. Aku gak ngerti."
"Jadi begini, tanpa kamu sadari sejak semalam— pertemuan pertama kita, kamu terus mikirin saya. Mungkin kamu berusah untuk menolaknya, tapi hati dan otak kamu tidak bisa bekerja sama. Jadilah, otak kamu berhenti memikirkan saya, tapi hati kamu tidak. Paham?"
Aku terdiam sejenak. Iya, sih dari semalam aku memang memikirkannya.
"Aku boleh coba?"
"Coba apa?"
"Aku bakalan bicara di dalam hati dan kamu harus menebak apa yang aku katakan."
"Oke."
Aku terdiam sejenak. Memikirkan apa yang harus ku bicarakan dalam hati.
Dia adalah lelaki aneh.
Aku menatapnya sejenak. Menunggu jawabanya.
"Kamu bukan yang pertama."
"Apanya?"
"Yang bilang saya aneh."
Jleb. Ini sungguhan, dia tahu apa yang aku katakan. "Sekali lagi boleh?"
Dia mengangguk.
Aku ralat, deh. Dia gak aneh, cuma langka.
Kudengar kekehan pelannya. "Kalau langka, berati saya harus dilindungi, dong. Biar gak punah."
Baiklah, ini semua benar. Dia memang bisa mendengar isi hatiku.
"Mau percaya atau tidak, itu kembali lagi ke diri kita. Tapi sebagai orang yang menerima kelainan seperti ini, mau tidak mau saya harus percaya dan terima. Yang terpenting, tidak saya salah gunakan, dan tidak menganggap bahwa ini adalah hal yang wajib diimani atau bahkan sampai meminta orang untuk mengimaninya," ujarnya.
Aku mengangguk, menyentujui ucapannya.
"Sekarang tidak takut berteman dengan saya, kan?"
Lagi-lagi aku mengangguk. Mungkin kehadirannya bisa membuat hari-hariku yang abu-abu kini menjadi sedikit berwarna. Ya, semoga saja.
《》《》《》