Angin berhembus kencang, membuatku seolah berada di alam lain. Rambutku bahkan berterbangan tidak tentu arah, menampar pelan setiap inci wajahku. Sesekali aku merapikan setiap helai rambutku yang terus saja berterbangan, namun lagi-lagi kembali terhempas.
"Ikat saja rambutmu, Rhe, dari pada seperti itu. Mengganggu." Gar berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dariku.
Aku melirik ke arahnya, lalu menyengir seperti anak kecil yang ketahuan melakukan kesalahan.
"Aku nggak bawa ikat rambut, Gar," jawabku sambil terus menampilkan sederet gigiku.
Gar bangkit dari tempatnya, lalu mengambil sebuah benda kecil berwarna merah jambu yang berada di salah satu meja kecil.
Setelah itu ia berjalan lagi ke arahku, dengan tatapan yang tidak berpaling sedikit pun.
"Sini," ucapnya.
"Apanya?"
"Ya, kamu. Biar saya ikatin rambutnya."
Aku tersenyum kikuk. "Ah, nggak usah deh, Gar. Aku aja yang ikat sendiri," jawabku.
"Kamu nggak tahu gimana cara ngikatnya, ini bukan ikat rambut kayak biasa. Ini beda."
"Beda gimana?"
"Makanya sini, biar saya ajarkan."
Aku mengangguk, lalu mendekat ke arahnya dan berbalik membelakanginya.
Gar langsung meraih rambutku, dengan gerakan yang amat pelan ia mengambil setiap helainya.
"Ini ikat rambut adik saya, Rhe. Saya yang buatkan untuknya," ucap Gar lagi. Tangannya terus bekerja, seolah ia harus mengikat rambutku dengan seindah mungkin dan tidak membuatku merasakan sakit.
"Kamu yang buat sendiri?"
"Iya, Rhe, makanya itu berbeda dari ikat rambut biasa karena saya nggak mau memberikan barang yang biasa untuk orang yang sayang."
"Wah, bagus dong. Terus kenapa malah ditinggal disini?"
"Pertanyaan yang bagus. Ikat rambut ini sudah ada disini sekitar dua tahun lebih, adik saya sengaja meninggalkannya disini karena katanya saya harus mengikatkan rambut seseorang yang spesiaal dengan ikat rambut ini."
Aku terdiam sesaat. Apa maksud Gar? Kenapa dia terus saja menggombaliku.
"Sudah selesai," ucap Gar. Ia memberikan kaca padaku dan mempersilahkan ku untuk melihat hasil kucirannya.
"Gar, bagus banget. Rapi lagi." Sungguh ikatan Gar sangat rapi, di tambah ikat rambut yang tampak sangat lucu sehingga membuat rambutku terlihat lebih indah.
Gar hanya tersenyum. Pandangannya menatap sekeliling rumah pohon ini. Melihatnya yang begitu serius, membuatku tersenyum.
*Seperti ini kah rasanya menikmati hal yang baru. Ini sangat menyenangkan*
"Kalau kamu mau, saya akan mengajakmu terus ke tempat baru. Tempat yang belum pernah kamu kunjungi." aku menatap ke arahnya. Entahlah, rasanya tidak menyangka. Secepat ini dia bisa menghadirkan sesuatu yang baru untukku. Sesuatu yang ku anggap mustahil untuk digapai, sesuatu yang hanya ada di alam mimpi, bahkan untuk berkhayal pun aku tidak berani. Tapi kini semuanya nyata, semuanya ada di depan mataku.
"Terima kasih." hanya itu yang keluar dari mulutku. Sebenarnya masih banyak yang ingin aku ucapkan, namun semuanya seperti tertahan. Entahlah, kalau pun aku tidak memberi tahunya, dia pasti sudah tahu.
"Mau saya beritahu sejarah rumah pohon ini."
"Boleh. Sepertinya menarik."
Dia menghela napas pelan. Lalu menatapku dan tersenyum. "Jadi awal mulanya adalah orang tua saya. Mereka juga bersekolah di sekolah kita, dan mereka juga menyuruh saya sekolah di tempat yang sama seperti mereka. Katanya supaya saya mendapat jodoh dari sekolah ini juga." dia berhenti sejenak, lalu menatapku lekat. Aku tak berani membalas tatapannya dan memilih memalingkan wajah ke arah lain.
"Sebenarnya saya gak mau, tapi ketika Mama saya memberitahu tentang rumah pohon ini, saya sedikit tertarik. Mama saya bilang, rumah pohon ini hadiah dari papa untuk mama ketika mereka anniversary setahun. Papa bilang ke saya, rumah pohon ini diwariskan untuk saya. Jadi kalau saya sudah menemukan cinta saya di sekolah ini saya harus membawanya kesini. Aneh juga, kan? Papa saya mewariskan ini ke saya, padahal tidak tahu tanah ini milik siapa." dia terkekeh pelan, begitu pun denganku
"Terus kamu sudah menemukan cintamu itu?"
"Belum, sih. Tapi sebentar lagi, mungkin."
Aku hanya menganggukkan kepalaku. Sungguh, sangat beruntung wanita yang dicintainya.
"Terus siapa saja yang sudah kamu ajak kerumah pohon ini."
"Adik saya, kamu, dan pak Mamat."
"Pak Mamat?"
"Tukang kebun yang tadi kita temui."
Aku terkekeh pelan. Dia sangat aneh.
"Oh iya, adik kamu bersekolah disini juga?"
Dia tampak diam sejenak, lalu bangkit dari tempatnya. Mengambil segelas air putih lalu memberikannya padaku.
"Untuk apa?" tanyaku ketika dia menyodorkan air putih. Seharusnya kan dia yang harus meminum air, karena mungkin akan capek menjelaskan sejarah rumah pohon ini. Sementara aku hanya mendengarkan.
"Nanti kamu haus kalau mendengarkan cerita saya. Jadi minum dulu." aku terkekeh pelan. Lalu meneguk air di gelas itu.
"Adik saya bersekolah di sini juga, tapi dua tahun yang lalu."
"Terus sekarang sekolah di mana?"
"Jauh."
"Iya, jauhnya dimana?"
"Toronto"
Aku berpikir sejenak. Seperti pernah mendengar nama itu, tapi lupa berada di mana.
"Di Kanada." dia menjawab segala kebingunganku.
"Hehe, aku lupa," ucapku. "Oh iya, kok jauh banget? Emang umur adik kamu berapa, sih?"
"Sebenarnya dia juga gak mau, tapi dia juga gak bisa nolak. Lagi pula orang tua saya juga udah lama tinggal di sana. Bahkan saya juga dilahirkan di sana, tetapi beda kota. Dan kami pindah kesini karena saat itu, di Kanada lagi banyak virus tertular. Jadi nenek saya meminta agar kami kembali ke Indonesia. Adik saya masih 11 tahun."
Entahlah, aku senang mendengarnya bercerita. Seperti ada sesuatu yang pernah hilang dan kini telah kembali. Bahkan rasanya berkali-kali lipat dari sebelumnya.
"Sekarang mau dengar cerita apa lagi?" ia bertanya seolah tidak ingin waktu ini kami lalui hanya dengan berdiam diri.
"Kamu tidak keberatan menceritakan semuanya padaku?"
"Tidak."
*Tuhan, bisakah kau sisakan seorang lagi yang memiliki sifat sepertinya.*
"Hanya sifat? Wajah tidak?"
Ah, lagi-lagi dia mendengar isi hatiku.
"Lagi pula tidak perlu disisahkan. Kan sudah ada saya."
Aku tersenyum kikuk. Entah sudah ke berapa kalinya dia membuatku tidak bisa berbicara apapun.
Tiba-tiba aku ingat dengan kemampuannya yang disebut telepathy. Aku pernah mendengar kata itu, tapi tidak pernah tahu apa arti dan asal-usulnya. Kuberanikan diri menatapnya.
"Kalau aku bertanya tentang telepathy yang tadi kamu bilang, boleh gak?"
Dia mengangguk lalu tersenyum. Entahlah, aku jadi suka dengan caranya menjawab menggunakan isyarat seperti itu. "Kamu kenapa bisa dapat telepathy itu? Apa keturunan? Atau tiba-tiba aja udah dapat kemampuan itu."
"Kata nenek saya, kemampuan ini adalah keturunan dari buyut. Jadi, Mamanya nenek juga mempuanyai telepathy. Bedanya, buyut saya itu bisa mengetahui isi hati orang tanpa harus memikirkannya."
"Maksud dari tanpa harus memikirkannya, apa?"
"Seperti ini, kan saya tahu isi hati kamu kalau saya memikirkan kamu, begitu pun dengan kamu, juga harus memikirkan saya. Tetapi buyut saya tidak, dia bisa tahu isi hati orang lain sesukanya. Siapa pun orang itu, orang tidak dikenal sekalipun."
"Wahh ..., hebat banget, dong. Kalau begitu dia bisa tahu siapa yang tulus dan hanya berpura-pura."
Dia mengangguk. "Tapi ada gak enaknya juga."
"Apa?"
"Di saat buyut saya menyukai seseorang, tapi dia tahu orang itu tidak menyukainya. Istilahnya, menyerah sebelum berjuang. Karena dia tahu kalau dia akan kalah."
Aku mengangguk perlahan. Benar juga apa yang dikatakannya. Aku merasa menemukan segala jawaban dari pertanyaanku selama ini. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang hanya terpendam di d**a. Berkat dia juga, kini aku paham bahwa segala sesuatu yang ada di diriku semuanya harus ku syukuri. Karena barang kali, orang yang hidupnya sangat ingin kumiliki, adalah orang yang hidupnya penuh dengan luka. Dan bisa jadi mereka juga ingin hidup sepertiku.
Tuhan itu adil, ya. Ia menciptakan seseorang yang hampir sempurna, tapi dibalik itu semua ia juga menciptkan kekurangan untuk orang tersebut. Begitu pun dengan orang yang kekurangan. Tuhan menciptakannya dengan segala kekurangan, tetapi dibalik kekurangan itu Tuhan menyiapkan suatu kelebihan.
Tapi, entahlah apa ini berlaku dengan Gar. Dia terliht amat sempurna, tapi apa dia juga memiliki kekurangan. Anehnya, aku tidak melihat kekurangan sedikit pun dari dirinya. Apa Tuhan menciptakan Gar tanpa kekurangan, setidaknya untuk menjadi satu-satunya contoh bahwa dialah munusia ciptaan Tuhan yang sempurna. Ah, entahlah aku juga tidak tahu. Biarlah waktu yang menjawab segalanya.
"Masih mau di sini atau balik ke sekolah?"
Aku tersenatak kaget. Lantas melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku.
"Gar, lima menit lagi istirahat selesai," ucapku gelagapan. Terlalu enak berada di sini sampai membuatku lupa untuk kembali ke sekolah.
Gar terkekeh pelan. "Yasudah, yuk, balik." ia bangkit dari tempatnya, dan menyuruhku untuk turun terlebih dahulu.
Kini kami telah berada di bawah. Tanpa menunggu lama kami langsung keluar dari alam raya yang amat indah ini.
Di perjalanan, kami juga tidak hanya diam. Kami mengobrol banyak, dan aku menanyakan dia kelas berapa. Bayangkan saja terlalu asyik dengannya membuatku lupa bertanya mengenai kelasnya, padahal itu tak kalah penting. Dan ternyata dia kelas XII IPA-1. Kelasnya para genius berkumpul. Tidak heran juga, sih, dia masuk kelas itu. Dari tampangnya saja dia terlihat pintar.
Kini kami telah berada di koridor kelas X. Tadi dia bilang mau mengantarkanku sampai kelas, tapi aku menolak. Karena bel sudah berbunyi.
"Aku duluan, ya," ucapku.
"Iya. Hati-hati."
Aku mengangguk, lalu berjalan menjauh darinya.
"Rhe ...." dia memanggilku lagi. Aku berbalik melihatnya.
"Kalau besok saya ajak jalan lagi, mau?"
Aku tersenyum, lalu mengangguk antusias. Tidak ada alasan untuk menolak ajakannya. Karena aku percaya, dia akan membuat warna yang baru untuk hidupku. Bukan hanya abu-abu.
《》《》《》