Part 2

1134 Words
6 Tahun kemudian “Kamu baik-baik disana. Jaga diri, jangan bikin Nathan sama Gilbert repot.” Ini untuk kesekian kalinya Meyra mendengar wejangan ibunya. Ia yang kini duduk di ruang tunggu bandara hanya bisa menganggukkan kepala mendengar petuah sang ibu yang berada di Indonesia. “Jangan iya-iya mulu. Kamu harus hilangin sikap manja kamu. Ingat, disana kamu itu harus fokus belajar. Jangan melipir sama hal yang lain.” Kali ini sang ayah ikut berbicara. Meyra hanya bisa terkekeh geli namun kemudian kembali mengangguk. “Ya udah, Mey mau ambil bagasi dulu.” Ucapnya dengan nada pamit. Kedua orangtuanya kembali melambaikan tangan di layar pipih yang ada dalam pegangannya. Wajah pasangan paruh baya itu tampak sendu, tampak masih tak merelakan kepergian putri bungsunya. Ya. Mengikuti arahan sahabatnya, Gilbert. Meyra pada akhirnya bertekad untuk berjuang mendapatkan beasiswa supaya ia bisa menyusul belahan jiwanya. Ia melupakan ballerina dan memilih untuk berfokus pada akademik supaya dia bisa mendapatkan nilai bagus. Enam tahun dia berjuang, mengikuti kegiatan les kesana kemari. Meskipun pada awalnya dia kesulitan beradaptasi, mengingat otaknya tak secerdas Nathan ataupun kakak kandungnya, Crystal. Tapi Meyra tak mau menyerah. Akhirnya, di tiga tahun terakhir sekolahnya, ia bisa mendapatkan rangking terus menerus. Dan hasilnya, ia mendapatkan beasiswa di sekolah yang sama dengan pujaan hatinya. Mendapatkan ijin orangtuanya untuk pergi jauh meskipun dengan syarat bahwa ia harus tinggal di kediaman Nathan dan Gilbert. Tentu saja syarat itu sama sekali tidak memberatkannya. Mengingat kepergiannya ke Inggris untuk bisa dekat dengan Nathan, dan sekarang, bukan hanya selangkah lebih dekat. Melainkan sejengkal lebih dekat. Meyra tersenyum sendiri. senang dengan bayangan romantisme antara dirinya dan Nathan di masa depan. Membayangkan menjadi kekasih Nathan pun sudah membuat pipinya merona seketika, apalagi membayangkan pernikahan. Meyra menggelengkan kepalanya. Nanti, acara mengkhayalnya bisa dia lakukan nanti. Sekarang dia harus fokus dengan antrian untuk mengambil barang bawaannya. Tapi dimana Gilbert? Meyra kembali merogoh ponsel dalam saku celana jeans nya. Sahabatnya itu mengatakan akan menjemput Meyra di bandara. Tapi sampai saat ini, belum juga ada kabarnya. Ia menarik koper besarnya dengan kekuatan yang dimilikinya. Tentu saja ia membawa barang bawaan yang banyak. Selain pakaian, di dalamnya juga ada beberapa makanan yang sengaja dimasukkan ibunya sebagai oleh-oleh untuk Nathan dan Gilbert. Pipinya kembali memanas. Nathan, bagaimana kabarmu. Apa kau juga merindukanku? Meyra hanya bisa tersipu. Tubuh mungilnya menarik koper besar itu dengan agak kesusahan. Ia berjalan menuju pintu keluar bandara. Taksi sudah berjejer rapi disana. Meyra melirik, mencari wajah yang dikenalnya. Dimana Gilbert? Apa sahabatnya itu tertidur dan lantas lupa untuk menjemputnya? Meyra bergidik ngeri dengan pikirannya sendiri. Tepukan di bahunya membuatnya memekik lantang. Ia menoleh dan benar-benar hendak berteriak minta tolong saat melihat pria bertubuh tinggi besar dengan rambut berwarna orange terang dan kacamata hitam serta brewok lebat menunduk ke arahnya. “Aku tidak terlambat, kan?” tanya pria itu dengan suaranya yang menggema dalam. Meyra mengerutkan dahi, tepat disaat pria itu membuka kacamatanya dan memandang Meyra dengan cengiran lebar di wajahnya. “Apa yang kau lakukan!” pekiknya lantang. Beberapa orang menoleh dan memperhatikan mereka berdua. “Memangnya apa yang kulakukan?” pria itu balik bertanya dengan acuhnya. “Jadi ini, alasan kenapa kau tidak mau melakukan panggilan video denganku? Karena tampangmu berubah jelek seperti ini?” ledek Meyra tanpa malu. Gilbert tertawa terbahak. “Jangan menghinaku, Mey. Kalau aku marah, aku akan meninggalkanmu disini dan membiarkanmu diculik orang bule yang suka anak kecil sepertimu.” Jawab pria itu dengan nada mengancam. Meyra balas memandangnya dengan mata menyipit. “Awas aja kalo berani!” tantangnya. Gilbert kembali tertawa dan kemudian mengacak rambut Meyra. “Mana berani. Nanti malah mukaku yang tampan ini diobrak-abrik sama Crystal. Trus dicincang jadi pakan buaya sama Papa kamu.” Ucapnya lagi. Tangan kiri Gilbert meraih pegangan koper Meyra sementara tangan kanannya merangkul bahu mungilnya. “Parkirannya agak jauh.” Ucapnya pada Meyra. Meyra hanya mengangguk dan mensejajari langkah panjang pria itu. “Sudah siap berpetualang, heh?” tanyanya lagi. Meyra mendongakkan kepalanya, namun Gilbert sama sekali tidak memandang ke arahnya. “Gimana kabarnya dia?” tanyanya ingin tahu. Ya, selama enam tahun ini, Gilbert lah yang menjadi sumber informasinya. Untungnya, pria itu sama sekali tidak keberatan dan selalu dengan senang hati membantunya. “Actually, he’s not good.” Jawab pria itu datar. “Maksudnya, dia sakit?” tanya Meyra panik. Gilbert menggelengkan bahu. “Kamu akan tahu nanti, Mey. Tapi sebelum itu, aku lagi-lagi nanya sama kamu. Kamu yakin mau sama Nathan?” tanyanya tak yakin. Meyra mengangguk antusias. Tentu saja dia yakin, kalau tidak, kenapa dia mau berjuang selama ini dan sejauh ini? “Kamu yakin mau perjuangin dia? Semisal nanti dia bersikap buruk sama kamu, kamu masih mau bertahan?” tanyanya lagi. Meyra mengangkat sudut mulutnya. Ia tahu maksud pertanyaan Gilbert. Dan lagi-lagi dia hanya menganggukkan kepala sebagai jawabannya. Gilbert kemudian mengedikkan bahu. Tahu bahwa tidak ada hal yang bisa merubah pikiran sahabat mungilnya itu. dengan kasar dia menarik napas panjang dan menghembuskannya. “Aku hanya bisa membantu sebatas yang aku bisa. Sisanya, aku hanya bisa mendoakan kalian berdua.” Ucapnya lesu. Meyra tersenyum dan mengangguk. “Thank’s, G.” ucapnya dan merangkulkan kedua lengan mungilnya melingkari pinggang besar Gilbert. “By the way, itu rambut baru kecemplung di got?” ejeknya lagi. Gilbert mendengus dan kembali mengacak rambut meyra. “Ini costplay Naruto. Lagi booming tahu.” Jawab Gilbert gemas. Meyra terkekeh lagi. “Mau langsung ke rumah apa mau makan siang dulu?” “Maksi. Laper bingits.” Jawab Meyra dengan nada manja nya. Gilbert kembali terkekeh dan kemudian mengangguk. Ia merogoh kunci mobil dari dalam saku celananya dan menekan tombol kunci otomatis. Memasukkan koper besar Meyra ke bagian belakang mobil Land Rover silvernya dan kemudian membukakan pintu penumpang untuknya. Meyra membungkukkan badannya dengan anggun sebelum menaiki mobil tinggi itu, membuat Gilbert tertawa karenanya. Gilbert melajukan mobilnya dan membawanya ke sebuah restoran cepat saji. Gilbert memesan beef burger double cheese dengan soda sebagai pendampingnya untuk Meyra. Saat Meyra memotong burger berukuran besar itu dengan wajah yang hampir meneteskan air liur, Gilbert berkata. “Aku sebenernya aneh sama kamu, Mey.” Meyra menghentikkan aksinya dan mendongakkan kepala memandang Gilbert. “Why?” tanyanya dengan mimik bingung. “Tubuh kamu itu kecil mungil ibarat tantenya para kurcaci. Tapi porsi makan kamu itu loh, bisa-bisanya kayak porsi makan raksasa.” Meyra mendelik memandang Gilber. Menggigit burger dalam satu suapan besar. Mengunyahnya tanpa sedikitpun menjaga image nya. Kemudian menelannya sebelum menjawab. “You should to know, ya. Cewek yang makannya banyak itu lebih seksi daripada cewek yang makannya ngirit. Mereka itu sebenernya porsi makannya besar, Cuma kalah sama gengsi. So-so an diet makan salad, padahal di rumah mereka makan sepiring tiga kali nambah.” Gilbert tertawa dan mengacak kembali rambut Meyra. “Iya-iya. Makan yang banyak, habisin. Kalo perlu sama botol mayonnaise nya.” Ejek Gilbert. Meyra hanya menganggukkan kepala dan kembali mengunyah burgernya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD