Part 3

2229 Words
“Princess, kita pulang?” ajak Gilbert saat melihat Meyra tampak sudah menurunkan semua makanan di tenggorokannya ke dalam perut. Meyra mengangguk dengan antusias dan menerima uluran tangan sahabatnya. “Bagaimana kehidupan di kampus?” tanyanya dalam perjalanan menuju mobil. “Nyaman?” "Fun.” Jawabnya singkat. “Tenang aja, hidup di luar negeri gak semenyeramkan itu kok. Banyak anak Indo disini. Mereka juga ngadain perkumpulan, nanti aku kenalin kamu sama mereka.” Ujarnya seraya membukakan pintu penumpang bagi Meyra sebelum kemudian berjalan memutar menuju kursi kemudi. “Kamu bakal nyaman tinggal disini. You'll feel like home. Ada aku, dan bakal ada banyak temen-temen satu Negara." Lanjutnya dengan mata melirik kea rah Meyra. “Dan ini juga kesempatan buat kamu berubah pikiran, Mey. Siapa tahu kalo udah di kampus kamu nemuin cowok yang segalanya lebih baik daripada Nathan. Di dunia ini bukan hanya ada dia. Banyak cowok cakep lain yang berseliweran, tahu?” Meyra mendelik dengan tak suka lantas kemudian mendecih. “Jangan coba-coba ngeracunin pikiran aku untuk beralih haluan, G." Gilbert terbahak mendengar ucapan kesal Meyra. "Ya, kan Cuma saran, Mey. Sebagai orang yang mengenal kalian berdua, aku Cuma gak mau kamu disakiti sama dia.” Ucapnya dengan mengedikkan bahu. “Trus, kamu udah punya rencana apa buat dapetin Nathan?" tanyanya lagi. Kini Meyra yang menggelengkan kepala bingung. Ia menoleh, memandang ke luar jendela. Memilih untuk tidak menatap Gilbert secara langsung. “Nihil.” Jawabnya. Jelas membuat Gilbert terkejut dan memandangnya dengan sebelah alis terangkat. Mereka sudah masuk ke area perumahan dimana Gilbert tinggal. Yang Meyra yakini bukanlah komplek perumahan biasa dengan harga murah. Gilbert menghentikkan mobilnya di depan sebuah rumah berlantai dua berwarna putih dengan jendela-jendela besar di bagian muka rumahnya. Rumah itu memiliki halaman berumput yang cukup luas dan tertata rapi. Ia mengeluarkan koper Meyra dari dalam bagasi dan kemudian menariknya dengan tangan kanan sementara tangan kirinya merangkul bahu Meyra. “Tidak usah sedih. Kita bisa memikirkan strategi untuk mendapatkan Nathan nanti.” Ucapnya dengan nada antusias. “Istilah kata, sambil menyelam minum air.” Lanjutnya. Mereka berjalan beriringan di jalan setapak yang akan mengarahkan mereka langsung menuju beranda luas di bagian depan rumah. “Selamat datang di kediaman Chayton.” Ucapnya seraya merentangan tangannya lebar-lebar sebelum menaikkan koper Meyra ke atas beranda. “Kuharap kamu betah disini.” Ucapnya dengan tulus. Meyra tersenyum mendengarnya. Ia melirik ke sisi kanan beranda dan melihat sebuah ayunan kayu kokoh bertengger di sana. Sementara tak jauh dari ayunan itu ada sepasang kursi santai yang terpisah oleh meja bulat yang terbuat dari bahan kayu yang sama. Pria itu kemudian membuka pintu ganda yang langsung menyajikan lemari sepatu yang terhubung langsung ke ruang tengah dan keluarga yang perabotannya didominasi dengan warna krem dan coklat tua. Tidak ada sekat di ruangan itu, sehingga ketika masuk, Meyra juga bisa langsung melihat ke arah dapur dimana seorang wanita tua bertubuh gemuk dengan rambut keperakan yang tampak sedang sibuk dengan pisaunya. “Perkenalkan, beliau ini Aunt Jody. Dia orang kepercayaannya Papa dari dulu. Selain mengurus rumah, dia juga bertanggung jawab untuk memberikan aku dan Nathan makan.” Ucapnya seraya tersenum. “Aunt Jody ini hanya bekerja dari hari Senin sampai Jum’at. Dari pukul delapan sampai empat sore. Sabtu-Minggu dia libur. Tapi kalau ada sesuatu yang penting, kita bisa panggil kok. Rumahnya deket, sekitar lima menit dari sini kalo naik mobil.” Lanjutnya lagi yang hanya diangguki oleh Meyra. “Aunty, she’s Meyra.” Hanya mengatakan seperti itu, wanita itu tersenyum dengan ramahnya seraya melambaikan tangan. Meyra pun membalas dengan cara yang sama. “Itu pintu kamar Papa sama Mama.” Ucap Gilbert menunjuk pintu yang ada di sebelah kiri. “Di sampingnya itu pintu menuju basement. Laundry ada disana.” Ucap Gilbert seraya berjalan masuk melewati sofa yang ada disana menuju ke tangga yang ada di sebelah kanan dinding. “Itu kamar pujaanmu.” tunjuknya pada satu pintu yang ada di bawah tangga. “di dalamnya ada pintu penghubung yang terus ke tempat kerjanya. Jadi nanti kamu bisa keluar dari sana.” Tunjuknya pada satu pintu yang ada di dekat tangga. “Kamu bisa lihat pintu kaca yang ada di samping dapur kan?” tanyanya pada Meyra yang dibalas anggukan. “Itu pintu menuju halaman belakang. Disana ada kolam renang. Meskipun aku tahu kamu gak akan pakai kolam itu, tapi sedikit saran saja, mungkin kamu bisa melihat pemandangan indah disana saat malam hari.” kekehnya. “Jadi waspadalah.” Ucapnya memperingatkan. Meyra hanya mengangguk saja meskipun kurang mengerti. “Dan diatas sana, itu adalah kamar kita.” Ucapnya kembali mengangkat koper Meyra untuk menaiki anak tangga. Gilbert melangkah lebih dulu sementara Meyra mengekorinya dari belakang. “Perlu aku peringatkan lagi. Nathan orang yang sangat cuek, jadi jika kau belum bertemu dengannya. Maka dia tidak akan pernah menyadari keberadaanmu, Mey.” Ucapnya apa adanya. Mendengar perkataan itu malah membuat Meyra tersenyum. Tentu saja dia tahu seperti apa Nathan. Gilbert tidak hanya sekali dua kali memintanya untuk berhenti menyukai kakaknya. Namun walau bagaimanapun sahabatnya itu mencoba menentang, perasaan Meyra masih saja tetap untuk Nathan. Ada atau tidaknya dirinya secara nyata, Meyra tahu bahwa di mata pria itu dirinya tak pernah terlihat. Di hati Nathan, namanya tak pernah tersirat. Meyra juga bukan tidak tahu bahwa perasaan cinta yang dimilikinya saat ini adalah cinta yang bertepuk sebelah tangan. Ia jelas tahu—sangat tahu bahwa Nathaniel hanya menganggapnya sebagai adik—itu pun mungkin hanya anggapan publik. Sementara jauh dalam hatinya, mungkin Nathan menganggapnya hanya orang asing saja. Dan Meyra juga tahu—sangat tahu tentang siapa wanita yang sebenarnya diinginkan Nathan. Namun dengan egoisnya ia memilih untuk menulikan telinga dan membutakan matanya. Ia lebih memilih untuk pura-pura tak tahu. Bukan karena Meyra tidak pernah mencoba. Sejak saat dia tahu siapa wanita yang dicintai pujaannya itu, sejak saat itu juga dia ingin berhenti. Mengalihkan segala hal pada kesibukan yang bisa dia lakukan. Menjadikan pelajaran sebagai pelampiasan. Menghabiskan waktu bersama teman-teman sebayanya saat ia tidak punya kegiatan yang bisa ia lakukan. Semua cara dia coba. Tapi saat dia kembali pada kehidupannya, kembali Nathan adalah kata pertama yang terlintas di kepalanya. Bisa karena terbiasa. Itu istilah yang sering ia gaungkan di kepalanya. Ia akan bisa melupakan Nathan. Tapi dalam prosesnya, setiap kali ia mencoba lupa, semakin ia malah dihantui rasa rindu pada pria itu. Rasa yang sudah tertanam sangat lama itu begitu sulit untuk dia hilangkan. Alhasil, ia hanya bisa berdoa supaya kelak—suatu saat nanti Nathan akhirnya bisa melupakan wanita yang dia cintai dan memandang Meyra. Menyadari bahwa selama ini ada dirinya disana, yang mengaguminya dan mencintainya. “Melamun?” Suara itu membuatnya kembali pada dunia nyata. Ia melihat Gilbert yang kini tengah berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. Meyra memandang sahabatnya itu dengan senyum malu. “Enggak.” Elaknya halus. Namun Gilbert malah mencebik. “Istirahatlah, hilangkan jet lag mu. Aku akan memanggilmu saat makan malam tiba.” Ucapnya yang hanya dijawab Meyra dengan anggukan. Gilbert keluar dari kamarnya sambil menutup pintu. Meyra tidak tahu kemana pria itu pergi. ia hanya menuruti saja sarannya untuk beristirahat dan menghilangkan jet lag nya. Sambil berbaring di atas tempat tidur berukuran queen itu, ingatannya kembali pada masa lalu. Masa ketika hatinya hancur seketika karena sebuah adegan yang tak pernah diduganya akan ia lihat. Flashback. Ini untuk kesekian kalinya Meyra menghapus keringat di dahinya dengan punggung tangannya. Cuaca hari ini memang sangat terik. Tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah saat ini dia juga sedang haid hari pertama, dan perutnya benar-benar terasa tak nyaman. Ia ingin sekali sampai di rumah dengan cepat. tapi semakin cepat dia berjalan, rasa sakitnya malah semakin menjadi. Suasana hatinya yang buruk berubah menjadi senyum lebar saat melihat sebuah mobil yang sudah lama tak dikemudikan pemiliknya bertengger manis di depan rumahnya. “Nathan?” gumamnya dalam hati. langkah pelannya seketika berubah menjadi langkah cepat. ia bahkan mengabaikan rasa tak nyaman yang sejak tadi mengganggunya. Sesaat sebelum sampai di teras, Meyra kembali memelankan langkahnya. Ia bahkan berusaha menetralkan napasnya supaya tidak tampak terlalu antusias untuk bertemu pujaan hatinya. Pintu tidak terkunci. Dengan maksud ingin memberikan kejutan, ia berjalan masuk tanpa suara, mencari sosok yang sudah tiga tahun tak ditemuinya. Ketika melihat pintu ruang kerja ayahnya sedikit terbuka, Meyra mengendap dan mendekat. "Kamu gak bisa kayak gini Nathan.” Langkah Meyra tertahan ketika mendengar suara kakaknya berbicara dengan suara pelan. Meyra menahan langkahnya. Kejutannya malah berbalik pada dirinya sendiri. “Meyra sangat mencintai kamu, bagaimana bisa kamu seperti ini?" lanjut kakaknya dengan desisan kesal. Meyra mengerutkan dahi, mencoba menajamkan pendengarannya. "Tapi aku tidak mencintainya, Crys.” Jawaban itu seketika membuat Meyra merasa jantungnya jatuh ke lantai. “Aku hanya menganggapnya sebagai adik. Bagiku, dia sama seperti Gilbert.” Lanjut pria itu lagi. “Kamu tahu kalau yang aku cintai selama ini itu kamu, bukan dia!" Deg! Meyra terbelalak, tertegun di tempatnya berdiri. Suara Nathaniel jelas terdengar lebih lantang dan lebih tegas daripada suara kakaknya tadi. Tenggorokannya tiba-tiba terasa tercekat dan mata Meyra terasa memanas seketika. Airmata begitu saja menggenang dan jatuh tanpa disadarinya. Inikah yang disebut dengan penolakan? Inikah yang namanya patah hati? tanyanya pada diri sendiri. "Tapi kamu tahu kalau yang aku cintai itu bukan kamu,” Jawab kakaknya dengan nada sedih. “Yang aku cintai itu Juan.” Lanjutnya dengan tegas. Tentu saja. Meyra dan seluruh keluarganya tahu hal itu. Kakaknya dan Juan bahkan sudah menjalin hubungan sejak mereka masih duduk di bangku SMA . "Itu karena kamu tidak memberiku kesempatan untuk menunjukkan cinta aku ke kamu, Crys." Tolak Nathan dengan nada memaksa. "Terlambat, Nath.” Meyra kembali mendengar suara kakaknya. “Aku dan Juan sudah memutuskan untuk menikah.Dan itu tidak akan lama lagi. Jadi aku mohon, bukalah hatimu untuk Meyra. Dia benar-benar mencintai kamu.” Ucap kakaknya dengan nada memelas. “Dia akan menjadi istri dan ibu yang baik untuk kamu." Lanjutnya tegas. Sedih? Tentu saja Meyra merasa sedih. Sedih sekaligus tersingnggung. Apa harus kakaknya menjual namanya pada Nathan seperti itu? Seolah dia ini barang dagangan yang harus di promosikan. "Tidak udah mempromosikannya padaku, Crys.” Tolak Nathan dengan tegas. Dan penolakan itu terdengar lebih menyakitkan bagi Meyra jika dibandingkan dengan ucapan kakaknya barusan. “Bagaimana bisa aku mencintainya sebagai seorang wanita sementara bagiku dia tidak lain hanyalah gadis kecil?" Apakah Nathan sedang menghinanya? Tanya Meyra pada dirinya sendiri. "Dia memang belum dewasa, Nath.” Tolak Crystal lagi dengan nada yang lebih halus. “Tapi akan dewasa seiring berjalannya waktu.” Lanjutnya tegas. “Jika kamu memintaku untuk memberimu kesempatan untuk membuktikan cintamu padaku, kenapa tidak kamu lakukan yang sama untuk adikku?” tawar Crystal. “Berikan dia kesempatan untuk menunjukkan cintanya padamu. Dia memiliki kasih sayang dan cinta yang besar untuk dia beri sama kamu." Kali ini Meyra merasa berterima kasih atas ucapan kakaknya. Tentu saja Crystal paling tahu betapa Meyra mencintai Nathan. Dan ia merasa bersyukur atas dukungannya itu. "Cukup, Crys!" Bentak Nathan yang juga membuat Meyra terkejut. "Kalau kamu memang tidak bisa menerimaku, fine.” Desis pria itu tajam. “Bagiku tidak masalah. Tapi jangan larang aku untuk mencintai kamu. Jangan sudutkan aku untuk menerima cinta adikmu. Jangan sekali-kali mencampuri obsesi adikmu terhadapku. Aku merestui pernikahanmu dengan Juan. Kudoakan semoga kalian bahagia. Tapi maaf, aku tidak bisa hadir di hari bahagiamu." Putus pria itu. Meyra seketika terbelalak dan dengan cepat bergerak untuk bersembunyi di balik dinding yang ada di samping pintu ruang kerja ayahnya. Diwaktu yang sama, dia bisa mendengar kakaknya memanggil-manggil Nathan. Flashback off Tidak ada yang tahu tentang apa yang Meyra dengar saat itu. tidak Crystal, tidak juga Nathan. Bahkan saat kakaknya akhirnya menikah dengan Juan, Nathan tidak hadir disana. Meskipun pria itu mengirimkan sebuah hadiah untuk kakak dan kakak iparnya. Dan sejak saat itu, Meyra mulai mengalihkan perhatiannya dari Nathan. Namun kemudian, ucapan sahabatnya, Carina terngiang di kepalanya. Flashback “Diam ataupun diutarakan, cinta itu tetap cinta.” Ucap Carina memandang Meyra dan Syaquilla bergantian. Pembicaraan itu tiba-tiba saja muncul saat mereka sedang makan siang di kantin. “Terserah kalian mau pilih yang mana. Diam tapi penasaran sama perasaan cowok itu. Atau kalian pilih mengutarakan meskipun berakhir dengan kecewa karena penolakan. Kalo aku sendiri, jelas lebih milih buat ngutarain itu.” “Tapi kan malu, Rin. Semisal ditolak, nanti kita gak punya muka lagi buat lihat dia.” Syaquilla memandang Carina dengan tatapan lembutnya. Meyra hanya mengangguk menyetujuinya. Tapi Carina, gadis berambut panjang lurus itu malah menggelengkan kepala. “Hal yang paling membuat kita lelah itu adalah rasa penasaran. Kecewa, itu ada obatnya. Tapi penasaran? Obatnya hanyalah jawaban.” Ujarnya apa adanya. “Gak usah malu, toh kita juga bukan berniat merendahkan diri. Tapi, setelah kita tahu apa jawaban pria itu, kita bisa punya kelanjutan cerita. Apa cerita cinta itu akan berakhir disini dan kita berubah haluan. Atau cerita cinta kita akan berlanjut jadi episode-episode selanjutnya yang mungkin bisa manis, tapi juga bisa menyakitkan.” Jawabnya dengan kalimat puitis. Meyra dan Syaquilla saling memandang sejenak sebelum kemudian kembali memandang Carina. “Ingat apa yang terjadi sama Papa kamu sama Itan,” Carina memandang Syaquilla mengingatkan. “Sampai kapanpun mereka gak akan nikah kalo dua-duanya saling diam.” Lanjutnya. Flashback Off Berpegang pada nasihat itu. Meyra yang awalnya pesimis ingin mendapatkan Nathan, merasa kembali mendapatkan semangat untuk mengejar cintanya. Benar kata Carina, ditolak ataupun diterima, itu akan menjadi hal yang harus ia pikirkan nanti. Ia sudah menyiapkan diri jika kemudian nanti Nathan menolaknya. Malu? Hal itu akan menjadi nomor sekian. Tapi pertama-tama. Ia harus tahu dulu bagaimana reaksi Nathan saat melihatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD