3

1383 Words
3 Daniel meraih interkom dan menyuruh Camelia datang ke ruangannya. Setelah itu ia membuka beberapa kancing kemejanya hingga dadanya yang bidang berbulu terpampang jelas. Dasi dan jasnya sudah ia lepas dan disampirkan begitu saja di sandaran kursi kerjanya yang empuk. Daniel melangkah ke sofa di ruang kerjanya. Bertepatan dengan itu, Camelia masuk ke ruangannya. Wajah Camelia terlihat memerah saat melihat dadanya di balik beberapa kancing kemeja yang terbuka. “Ada apa, Pak?” tanya Camelia. Daniel tersenyum dalam hati. Ia sangat mengerti wanita. Walau Camelia tidak pernah menunjukkan ketertarikan padanya, tapi ia tahu pasti saat ini Camelia sedang gugup. “Duduk, dan coba kamu perhatikan, apa laporanmu itu sudah benar?” kata Daniel lagi sambil mengulur satu berkas laporan. Camelia duduk di sisinya seolah tidak melihat kemeja bagian atasnya yang terbuka. “Bukankah...” Camelia mengerut kening tanda heran. Daniel mengangkat alisnya pura-pura tidak mengerti. Ia sangat tahu Camelia heran dengan laporan itu. Laporan Camelia sebenarnya sudah benar, tapi ia sengaja mengubahnya demi bisa memancing Camelia duduk di sini sambil memperhatikan laporan itu. Suara pintu terdengar terbuka. Daniel tahu siapa yang datang. Orangtuanya mengajaknya turut serta ke rumah kakaknya sore ini. Dengan cepat Daniel sedikit merapatkan tubuhnya ke Camelia. “Mel, ada semut di rambutmu,” kata Daniel sambil makin mencondongkan tubuhnya ke depan. Tangannya menyentuh rambut hitam Camelia yang diikalkan pada bagian ujungnya. Mel adalah panggilan kesukaannya pada gadis cantik itu. Terasa begitu sensual saat nama itu terucap di bibirnya. Camelia menahan napas dan menatap Daniel dengan mata membesar. Wajah mereka sangat dekat, dengan bibir hampir bersentuhan. “Eh, apa-apan kalian?!” suara bentakan menggelegar mengisi ruang kerja Daniel. Daniel menarik diri. Kemejanya yang terbuka semakin lebar, mempertontonkan d**a bidang berototnya dengan jelas. Camelia melirik sumber suara dengan wajah memucat. Sepasang paruh baya melangkah masuk. “Kalian berdua berbuat tidak senonoh setelah semua orang pulang kerja?” tanya sosok itu dengan wajah merah padam. “Pak… ini salah paham…” jelas Camelia dengan wajah pucat dan suara terbata pada Bapak Dennis, pemilik perusahaan sekaligus ayah Daniel. “Papi…” “Diam kalian! Saya malu anak saya dan staf kepercayaan saya malah berbuat m***m setelah kantor sepi!” tukas Dennis dengan wajah merah padam. “Kapan kamu akan berubah, Dan?” Sita, ibu Daniel, ikut menyela dengan wajah kesal. “Mami… ini…” “Sudah! Hentikan omong kosongmu, Daniel! Papi sudah bosan melihatmu bergonta-ganti wanita hampir setiap minggu!” Isak Camelia mulai terdengar. Ia menunduk tanpa berani memandang bos besar di depannya yang sedang mengamuk. “Pi...” panggil Daniel. “Kalian harus menikah secepatnya! Saya tidak mau nama perusahaan ini tercemar oleh tingkah dan skandal kalian!” “Apa??” pekik Camelia histeris, “tapi kami…” “Saya mau kamu menurut, Camelia! Jangan sampai semua staf tahu tentang tingkah kalian dan membuat rumor tidak baik beredar!” kata Dennis tegas. “Pak.. ini salah paham…” jelas Camelia dengan air mata berlinang, “saya… kami... tidak...” “Sudahlah, Camelia sayang. Lebih baik kalian menikah. Toh Daniel sudah menodaimu. Ini demi kehormatanmu,” bujuk Sita sambil melangkah mendekati Camelia dan mengelus bahu gadis itu dengan lembut. Tangis Camelia pecah. Daniel menatap Camelia di sisinya dengan sejuta perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan. Ada rasa puas bisa mendapatkan Camelia, tapi juga rasa terhina karena Camelia sepertinya sangat tidak menginginkannya. Gadis itu benar-benar tak tahu diuntung. Diberi kesempatan menikah dengan bujangan tampan nan kaya raya, malah menolak. *** Camelia POV Dunia serasa kiamat. Langit serasa runtuh. Dengan mata sembap aku menuju tempat parkir. Terlihat Andrew sedang menunggu sambil bersandar pada mobil berwarna putih miliknya. “Sayang, ada apa?” tanya Andrew khawatir saat melihat wajahku yang berantakan. Aku menggeleng dan berusaha tidak menatap wajahnya. Hatiku hancur berkeping-keping. Dadaku berat oleh perasaan sakit dan menyesal. Andai aku tidak ke ruangan Daniel, mungkin kejadian seperti ini tidak akan terjadi… “Ada apa? Ada masalah?” tanya Andrew lagi. Perasaan bersalah makin kuat mendera hatiku. Andrew begitu baik padaku. Aku tidak sanggup bila harus berpisah dengannya dan menikah dengan Daniel yang jelas-jelas seorang playboy. Kenapa aku dan Daniel harus menikah? Toh kami tidak melakukan apa pun! Orangtua Daniel salah paham dan mereka sama sekali tidak mau mendengarkanku. Mendengarkan Daniel… Daniel… tunggu! Daniel sama sekali tidak berusaha menyangkal… apa ini artinya… “Mel?” “Aku… aku hanya stres dengan kerjaan kantor yang menumpuk, Drew,” bohongku. “Jangan diforsir, Sayang. Kalau nggak kuat, kembali ke kantorku saja. Mau?” bujuk Andrew lembut sambil meraih tanganku Air mataku berlomba hendak menetes. Andrew begitu baik, Andrew begitu dewasa dan perhatian. Aku tidak rela bila harus berpisah dengannya. “Aku nggak apa-apa kok...” bisikku sambil berusaha tersenyum. Kutahan air mata yang sudah bersiap terjun bebas dari sudut mata. Andrew tersenyum tipis dan meremas jemariku. Setelah itu ia membukakan pintu mobil untukku. Sekilas, sebelum masuk ke dalam mobil, aku mendongak dan menatap ke gedung kantor yang terletak di lantai atas. Terlihat bayangan Daniel sedang menatapku dari balik dinding kaca gedung. *** Camelia POV Kutatap sekuntum bunga mawar merah yang tergeletak di samping laptop. Rasanya sudah beribu kali aku mengerutkan kening menebak siapa pengirimnya. Kuraih tangkainya, kubawa bunganya ke hidung. Wangi dan segar. Aku menghela napas. Siapa sebenarnya pengirimnya? Ini kali kedua aku menerimanya. “Mel.” Aku tersentak mendengar suara seseorang memanggilku. “Ayo jalan,” kata Daniel sambil berdiri di depan meja kerjaku. Aku mendongak. “Ke mana?” “Makan siang sekalian belanja. Nanti malam orangtuaku akan ke rumahmu.” “Untuk apa?” tanyaku bingung. Aku meletak bunga mawar di atas meja. “Untuk apa lagi? Ya melamarmu!” kata Daniel kesal. Seketika napasku tersekat. Darah seolah berhenti mengalir dalam tubuhku. “Aku kan sudah bilang, aku tidak mau menikah denganmu,” kataku kesal. Aku meraih nota pembelian di atas meja. Rasa gusar membuatku lupa untuk menggunakan sebutan ‘saya’ dan memanggilnya ‘Bapak’. “Bukankah kamu sudah lihat reaksi orangtuaku kemarin? Mereka tidak mau dibantah,” kata Daniel juga kesal. Aku menarik napas panjang, “kamu kan bisa jelasin pada mereka situasi sebenarnya.” “Bukankah kamu sudah menjelaskannya dan mereka masih tidak mau peduli?” Aku terpaku. Ya. Benar. Aku sudah menjelaskannya, dan orangtua Daniel sama sekali tidak mau mendengarkanku. “Sudahlah! Ayo, buruan! Aku sudah sangat lapar!” kata Daniel sambil mengitari meja dan mendekatiku. “Saya akan mengenalkan pacar saya pada orangtua Bapak agar mereka membatalkan niat mereka,” kataku tiba-tiba. Sepertinya kesadaran untuk bersopan santun pada atasan mulai kembali dalam diriku. “Kamu bawa seribu pria yang kamu nyatakan sebagai pacarmu juga percuma, Mel. Kamu tahu pasti orangtuaku seperti apa,” tukas Daniel lagi. Aku kembali menghela napas panjang. Ya. Aku tahu sekali Pak Dennis orang yang seperti apa. Sejak berkerja di sini, aku sudah beberapa kali bertemu dengannya. Pak Dennis orang yang tidak mudah untuk percaya pada orang lain begitu saja. Apalagi melihat kondisiku dan Daniel kemarin yang sangat menunjang persepsinya kalau kami berbuat begitu. “Ayo! “ kata Deniel sambil beranjak meninggalkanku. Aku masih mematung dan menatap hampa semua barang-barang di atas mejaku. Tiba-tiba pipiku terasa hangat dan sebuah sapuan lembut menyentuh bibirku. Aku terkejut. Daniel sudah berdiri di sampingku dengan senyum nakalnya. Wajahku memanas. Berani-beraninya dia mencuri ciuman dariku. “Kamu!!’ suaraku tercekat saking marahnya. Dan lebih parah lagi, hatiku tidak sejalan dengan amarahku. Hatiku justru berdesir mendapat ciuman singkat darinya. “Aku bosan melihatmu melamun terus. Dan mencium calon istriku bukanlah sebuah kelancangan.” Selesai mengatakan kalimat itu, Daniel mundur berberapa langkah. “Ayo, Mel. Atau kamu berharap agar aku menciummu sekali lagi?” tanya Daniel nakal. Wajahku memanas. Dasar playboy berotak m***m. Apa dia pikir semua wanita haus akan ciumannya? Dua bulan dia bersikap manis dan tenang di hadapanku, sekarang dengan berani dia mulai menunjukkan taringnya. Melihatku yang masih tidak berkutik, Daniel maju beberapa langkah. Aku mendorong kursi yang kududuki untuk mundur. Daniel makin maju mendekatiku. Aku terpojok. Kursi terhenti saat membentur dinding di belakangku. Daniel menunduk. Sebelum ia sempat berbuat lebih jauh, aku mendorong dadanya dengan napas terengah. Tanpa menunggu lebih lama, aku berdiri dan meraih tasku. Terlihat di luar sana beberapa rekan kerjaku mulai beranjak meningalkan kantor untuk makan siang. Aku bisa menatap mereka dengan bebas tanpa sepengetahuan mereka karena kaca dinding ruangan ini sama seperti ruangan Daniel, tidak tembus pandang dari luar. Daniel tertawa senang. *** bersambung ... Follow i********:: Evathink
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD