4

1120 Words
4 Camelia POV “Kamu terlihat murung akhir-akhir ini, ada masalah, Sayang?” Aku menoleh ke Andrew yang sedang fokus di balik kemudi. Ia menoleh dan menatapku sekilas. “Aku… aku baik-baik saja, Drew,” jawabku sambil memaksa sebuah senyum tipis terlukis di bibirku. Aku kembali memandang jalan raya yang terlihat mulai padat. Setiap hari, Andrew dengan setia mengantar-jemputku saat pergi dan pulang kerja. Aku menatap kosong kendaraan yang padat di depan sana. Pikiranku melayang pada kejadian tadi malam. Orangtua Daniel benar-benar datang melamarku, bahkan si playboy juga tidak absen. Aku akui, tadi malam Daniel terlihat sangat tampan dengan kemeja lengan panjang berwarna cokelat. Bahkan dia membuatku terpana dengan senyumnya yang terus mengembang di wajahnya. Tapi sejak kapan Daniel terlihat jelek di mataku? Dari awal bertemu dengannya, wajahnya hampir setiap saat menghiasi pelupuk mataku. Membuatku harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk mengusir bayangannya. Aku mendesah kesal dalam hati saat teringat sikap orangtuaku yang sangat senang dengan lamaran keluarga Daniel. Memang sejak awal hubunganku dan Andrew, orangtuaku sama sekali tidak setuju. Aku tidak tahu, cacatnya Andrew di bagian mana hingga membuat orangtuaku tidak suka padanya. Orangtuaku tidak pernah menunjukkan dengan jelas ketidaksukaan mereka pada Andrew, tapi mereka selalu mendorongku untuk mencari pengganti Andrew. Dan kedatangan keluarga kaya raya dan terkenal seperti Pak Dennis, membuat orangtuaku langsung tergiur dan menerima lamaran Daniel begitu saja tanpa memedulikan raut wajahku yang kecut seperti jeruk nipis saat itu. Bahkan sedikit pun Papa tidak bertanya akan jawabanku. Tanpa sadar aku menghela napas berat mengingat kejadian itu. “Ada apa?” tanya Andrew sekali lagi. Aku hanya diam. Aku bingung bagaimana menjelaskan situasi ini pada Andrew. Rasanya berat sekali untuk mengatakan padanya kalau aku sudah dilamar oleh pria lain. Secara, aku juga belum rela untuk mengakhiri hubungan kami. “Kenapa, Mel?” Andrew menoleh sekilas ke arahku. Ia meraih tangan kananku. Setelah itu, kembali fokus menatap jalan raya di depan. Air mata tiba-tiba memenuhi pelupuk mataku. Aku menggeleng lesu dan kembali menarik napas panjang. Rasanya semua ini sangat gila. Hanya karena aku dan Daniel kepergok sedang duduk berdua saat kantor sudah sepi, kami harus menikah. Padahal kami tidak berbuat apa-apa. “Mel…” Andrew meremas lembut jemariku. Aku menggeleng pelan dan tidak mau menoleh ke arahnya. Takut air mataku jatuh bila menatap wajahnya. Aku merasa ini bagian tersulit dalam perjalanan hidupku. Aku tidak pernah merasa dilema seperti ini sebelumnya. Ternyata keputusanku untuk menginjakkan kaki mungilku di ‘Dennis Golden Company’ adalah sebuah kesalahan besar. Dengan mudah mereka membuatku menjadi milik si playboy dalam waktu singkat. Walau dadaku sering berdebar saat bertatapan mata dengan Daniel, atau saat berada di dekatnya, tapi sedikit pun tidak ada keinginan untuk menjadi pasangannya. Aku tahu pasti Daniel pria seperti apa. Dia playboy sejati. Bagaimana nasibku kelak bila sampai menikah dengannya? Pasti dia akan terus berpetualang, secara itulah yang dia senangi. Mobil Andrew berbelok ke sebuah kafe di bilangan Batam Center. Kafe dengan bangunan minimalis ini cukup membuat para pengunjungnya nyaman. Tapi sepertinya tidak untukku hari ini, perasaan berat masih menghimpit dadaku. Membuat sekujur tubuhku lemas tak bertenaga. Andrew memarkir mobilnya. Aku keluar dari mobil dan melangkah bersamanya menuju kafe. Andrew memesan capuccino untuknya dan air jeruk hangat kesukaanku untukku. Perlakuan Andrew yang menunjukkan dia sangat perhatian dan peduli padaku makin membuatku gundah. Aku tidak mungkin mau melepaskan pria seperti Andrew begitu saja pergi dari hidupku. Aku menyayanginya. “Sekarang cerita, ada apa?” tanya Andrew lembut sambil meremas jemariku. Aku hanya menatap hampa pada capuccino dan air jeruk yang baru saja diantar oleh pelayan kafe. Aku menggeleng. Tidak sanggup bersuara. Apa yang harus aku katakan padanya? Aku ketangkap basah dengan bosku? Atau ada pria lain datang melamarku dan orangtuaku menerimanya? Jujur aku tidak berani melawan Pak Dennis. Aku tidak mau Andrew kena imbasnya bila aku menunjukkan pada mereka kalau aku punya pacar dan menolak keinginan mereka untuk menikah dengan Daniel. Mereka pasti akan menghancurkan Andrew. Walau baru bekerja dua bulan lebih pada mereka, Aku tahu pasti sifat bos besarku itu. Mereka dermawan. Baik pada siapa saja. Tapi mereka tak sungkan-sungkan menghancurkan orang yang mereka anggap akan menjadi hambatan untuk mencapai tujuan mereka. Mereka orang yang tidak suka dibantah dan selalu bertindak tanpa memikirkan perasaan orang lain. “Aku… aku baik-baik saja, Drew...” jawabku pelan sambil menundukkan wajahku. “Jangan bohong, Mel, ada apa?” tanya Andrew tidak menyerah. Aku mengangkat wajah dan menatap Andrew dengan mata berkaca-kaca. Air mata serasa menyesakkan d**a membuatku kesulitan bernapas. Memang bersama Andrew aku tidak pernah merasakan getaran seperti saat bersama Daniel. Tapi bersama Andrew aku merasa nyaman, merasa aman. Dia sangat dewasa dan selalu memanjakanku. Dia tidak playboy seperti Daniel. Dia sangat menyayangiku. “Aku hanya tertekan dengan pekerjaan di kantor,” jawabku lesu. Andrew menghela napas panjang. Aku tahu Andrew sama sekali tidak percaya dengan jawabanku. Secara Andrew tahu pasti, untuk urusan kerja aku sangat tahan banting dan tidak mudah menyerah. Jadi pastinya dia tidak mungkin percaya kalau melihat wajahku kusut hanya karena masalah pekerjaan. “Drew, aku ingin pulang. Aku ingin istrahat,” kataku akhirnya. Mungkin tiba saatnya nanti, aku harus memilih menikah dengan Daniel dan membiarkan Andrew aman. *** “Berhenti bertemu dengan mantan pacarmu mulai sekarang!” Aku tersentak saat mendengar sebuah suara mengge-legar mengisi ruanganku. Saking larutnya melamun, aku bahkan tidak sadar sejak kapan Daniel sudah berdiri di sampingku. Ia bersandar pada sisi meja kerjaku dengan kedua tangan terlipat di atas perut rata berototnya. “Mantan pacar mana maksudmu? Aku tidak punya mantan pacar!” jawabku ketus. Sungguh aku munafik. Suaraku ketus tapi dadaku berdebar. Setiap kali berdekatan dengan Daniel, darahku selalu berdesir. “Kamu tahu pasti maksudku! Jangan bertemu Andrew lagi!” kata Daniel tegas sambil terus menatapku. “Dia kekasihku, bukan mantanku,” tukasku. Aku meraih nota pembelian dan berpura tidak terganggu dengan kehadirannya. Aku tidak tahu dari mana Daniel tahu nama Andrew, mungkin dia menyelidikinya. Tiba-tiba Daniel mencengkram pergelangan tanganku. Aku mengangkat wajah, terganggu oleh sentuhannya. “Aku ingin kamu putusin dia!” kata Daniel marah. Wajahnya menegang dan memerah. “Lepasin tanganku!” pintaku dengan napas mulai terengah. Emosiku selalu tersulut bila berhubungan dengan Daniel. Daniel melepas tanganku. Aku mengelus pergelangan tanganku yang memerah bekas cengkramannya. “Jangan membuatku marah, Sayang!” katanya sambil mengelus pelan pipiku. Elusan yang membuat sekujur tubuhku seperti tersengat aliran listrik. “Lepasin! Dasar pria lancang!” kataku marah. Aku menepis tangan Daniel. Tapi tangan yang sudah kutepis itu, justru menyentuh daguku, membuatku merasa seperti wanita lemah yang seenaknya dilecehkan olehnya. Wajahku memanas. “Kamu calon istriku! Berapa kali aku harus menjelaskannya padamu, kalau menyentuh calon istri sendiri itu bukan suatu tindakan yang bisa disebut lancang?!” Aku mengumpat dalam hati mendengar nada suaranya yang cenderung terdengar meledek dan menggodaku. “Aku bukan calon istrimu!” *** bersambung ... Follow i********:: Evathink
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD