Part 2

3000 Words
Seperti biasa, Aira selalu datang lebih dulu dibanding teman-teman nya yang lain. Entah kenapa alasannya padahal jarak rumahnya ke sekolah hanya sekitar 30 menit saja, bayangkan saja jika ia datang secepat ini itu artinya ia berangkat sangat awal dari rumahnya. Biasanya Aira terpaku dengan jadwal Ayahnya yangs sering berangkat pagi, dengan siapa lagi Aira akan pergi jika bukan dengan Ayahnya. Padahal jika Ayah bisa membebaskannya ia bisa pergi bersama Zaidan. Sesampainya di sekolah ia langsung membuka pagar, padahal ia jam paginya sudah lebih lewat dari biasanya tapi tetap saja pak satpam belum juga membuka kan pintu gerbang sekolah. Aira menghela napasnya, sejenak ia berdiri untuk mengamati keadaan sekolah yang masih sepi, terpaksa ia harus ke kelas karena ia malas jika harus menunggu di kantin atau tempat lain. Tapi baru saja kakinya hendak melangkah, ia lupa bahwa harusnya ia tak pergi ke kelas hari ini. Ada acara yang mengharuskan untuk tetap stay di ruangan panitia. Selepas menaruh tas di atas meja, lalu merapihkan kerudung yang sempat berubah bentuknya karena dihantam angin saat perjalanan. Aira mengintip di balik jendela ruangan panitia, keadaaan sekolah yang masih sepi. Langkah nya yang pelan membuat beberapa orang yang terbiasa datang, mereka sama seperti Aira. Memelankan langkahnya agar tidak terlalu cepat sampai ke kelas. Tiba-tiba saja ingatannya melayang pada sosok bernama Zaidan, ia yang selama 3 tahun ini membuat Aira tak melangkah sedikitpun di dunia percintaan. Laki-laki berperawakan tinggi, kurus dan berkulit lebih putih dibanding Aira yang sering terkena matahari. Zaidan adalah mantan Aira yang diam-diam masih ia harapkan hingga detik ini. Bagaimanapun mungkin ia bisa lupa begitu saja, kalau setiap langkah yang ia pijaki setiap harinya mengingatkannya pada Zaidan. Rumah atau sekolah, semuanya tentang Zaidan. Walaupun kenyataannya Aira sudah banyak memulai hubungan lain dengan beberapa orang, tapi tetap saja semua hanya pelarian yang ia gunakan agar melupakan Zaidan. Zaidan adalah seorang bad boy, ia juga dikenal pemalas sekali berbanding terbalik dengan Aira yang selalu dipenuhi kegiatan setiap harinya. Teman Aira sangat banyak yang menyayangkan kenapa Aira begitu sulit melupakan Zaidan. Padahal masih banyak yang lebih dari Zaidan dari segi apapun. Tapi kenyataannya bukan itu yang menjadi acuan bagi Aira, kenangan yang tak pernah ia lukis bersama siapapun itu lah yang selalu menetap setiap harinya. “Heh ngelamun!” Tak sadar kalau Alika sudah ada di sampingnya, ucapan Alika tadi berhasil membuat lamunan Aira membuyar. “Lagi nunggu Zaidan lewat.” Kata Aira dengan jujur. Tak dijawab pun semua orang terdekat Aira tahu kalau Aira sering melakukan ini sendirian. Padahal jelas-jelas Zaidan sering memamerkan kemesraan dengan lawan jenis, atau bahkan terang-terangan mengacuhkan Aira. “Zaidan mulu, Ra. Daffa aja sih yang udah jelas.” Aira tertawa sambil menatap heran ke arah Alika. “Kok Daffa? Enggak ada hubungannya tahu.” “Lo cocok berdua.” Celetuk Alika. “Cocok aja enggak cukup.” Jawab Aira dengan serius, justru karena banyak perbedaan lah yang nantinya akan melengkapi dan melahirkan kata cocok itu. Alika menghela napasnya. “Iya sih, bener kata lo.” “Ini jam berapa sih? Kok masih sepi.” “Jam setengah delapan, Ra.” Jawab Alika sambil memperlihatkan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Aira berdecak kesal. “Erwin sama timnya yang ngurus lapangan kok enggak keliatan sih? Harusnya jam segini udah persiapan lho.” Alika kebingungan. “Gimana ya, gue juga enggak tahu.” Situasi seperti hanya ada Aira dan Alika berdua, bagaimana Alika tidak gugup kalau hanya ia yang menghadapi Aira dengan segala pertanyaan nya yang mampu membuat orang-orang diam seribu kata. Alika mengutuk sekali Erwin yang lagi-lagi membuat ulah, ia pendiam tapi diamnya ini yang membuat ulah seperti hari ini. “Ayo deh.” Aira mengajak Alika tanpa menunggu persetujuannya untuk keluar dari ruangan. Ia ingin mengecek keadaan di depan. Khawatir peserta banyak yang sudah datang, tapi keadaan di sekolahnya juga belum sepenuhnya siap. Benar saja dugaan nya, beberapa orang sudah memenuhi jalanan depan. Wajah-wajahnya yang asing sudah menandakan kalau mereka adalah peserta, bukan siswa di sekolahnya. Aira berdecak kesal, ia memasukan kedua tangannya ke dalam saku almamater yang tengah ia gunakan. Alika hanya bisa mengusap d**a karena harus siap mendengar ocehan Aira, ia hanya bisa berdoa untuk Erwin agar segera menampakkan dirinya. “Lo liat deh, udah dateng.” Ucap Aira penuh kekesalan. “Minta bantuan Denis aja sih.” Kata Alika ketika melihat Denis yang sedang mengurus administrasi di depan. “Jangan, itu nanti yang jaga di depan siapa. Keteteran nantinya.” Alika tersenyum tipis, pendapat nya salah lagi. Harusnya memang ia manggut-manggut saja dan mengiyakan apa yang diucapkan Aira. Ia kemudian mencoba mengirimkan pesan di grup organisasinya, mengingatkan agar teman-temannya yang terlibat segera datang ke sekolah. Dari pada diam saja menunggu keajaiban datang di kehidupan nya. “Lo cek sound, gue cek peralatan ya.” Pinta Aira. Mau tidak mau ia yang harus merangkap hari ini, kalau bukan dia lalu siapa yang harus ia andalkan. Alika tersenyum riang, ia sangat senang dengan apa yang Aira ucapkan padanya. Setidaknya ia tidak akan mendengarkan ocehan kesal dari Aira. Alika dan Aira berpisah, Aira segera ke gudang untuk mengecek peralatan yang katanya telah dipersiapkan Erwin kemarin. Sedangkan Alika langsung mengecek sound di lapangan, barang kali beberapa ada yang mati atau macet. Bisa-bisa semua anggota kena termasuk dirinya. Sesegera mungkin Aira mengambil barang-barang yang masih ia kuasai untuk ia bawa ke lapangan, ia berharap di perjalanan menuju lapangan anggota lain sudah datang. Harapannya terkabul, beberapa orang yang sudah datang segera membantunya untuk menyiapkan acara agar bisa segera dimulai. Harusnya ia tak se panik ini, karena sudah dibagi rata tugasnya. Tapi, bukan remaja namanya kalau tidak telat. Kurang afdol mungkin. Padahal kejadian seperti ini sudah ia wanti-wanti berulang kali agar tidak terjadi atau terulang setiap acara besar atau pun kecil. Tapi yang ia dengar hanya kesanggupan pada saat itu, setelahnya semua akan berlaku seenak nya saja. Aira kini berdiri di samping lapangan, mengamati apa saja yang sudah terpenuhi untuk acara hari ini. Ia berdiam sejenak, lalu setelah itu berjalan meninggalkan lapangan untuk menemui Pak Lesmana. Baru saja hendak mengetuk pintu ruangannya, tiba-tiba Pak Lesmana sudah membuka pintunya dan berdiri persis di ambang pintu. “Gimana, Ra?” Tanya Pak Lesmana. “Pak, untuk logistik semua sudah selesai. Tapi untuk kelangsungan acara koordinator pembukanya belum datang.” Pak Lesmana sedikit kaget, ia langsung melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Siapa emang?” “Rivaldi, Pak.” “Waduh, anak olahraga ya.” Aira mengangguk. Pak Lesmana langsung mengedarkan pandangannya ke sekitar, ia terlihat kebingungan dan berusaha mencari solusi. “Oh itu tuh, Ra.” Kata Pak Lesmana sambil menunjuk ke arah parkiran. “Rivaldi bukan, Pak?” “Bukan, itu aja minta handle sama anggota lain.” “Siapa, Pak?” Tanya Aira yang kebingungan siapa yang tengah Pak Lesmana maksud. “Sini kamu!” Kata Pak Lesmana entah pada siapa, ia tak menyebutkan nama sama sekali. Aira juga tak menoleh, ia menunggu saja siapa yang datang menghampiri Pak Lesmana. Suara langkah kaki yang terdengar semakin mendekat membuat Aira penasaran, tapi ia tetap tidak mau membalikkan badannya. Ia menunggu saja orang itu menghadap ke Pak Lesmana. “Nah, Rivaldi digantikan dulu sama ini.” Kata Pak Lesmana sambil menunjuk ke siswa yang kini berdiri di samping Aira. “Iya, Pak.” Aira akhirnya menoleh, ia sempat sedikit kaget siapa yang ada di sampingnya. “Kemarin saya minta semua merangkap, hari ini si Rivaldi telat kayaknya. Kamu handle ya untuk kelangsungan acara, nanti kalau enggak jelas dibantu sama Aira.” “Siap, Pak.” “Udah, Ra. Dibantu sama Langit.” Ucap Pak Lesmana meyakinkan Aira agar tidak panik. Aira mengangguk. “Iya, makasih Pak. Saya permisi kalau gitu.” “Iya silahkan.” Diperjalanan menuju lapangan, Aira berusaha memulai pembicaraan apapun respon Langit entah hanya anggukan atau hanya iya saja ia tak peduli. Aira terus menjelaskan apa yang harus Langit lakukan untuk menggantikan Rivaldi saat ini. Ia berharap Langit jauh lebih mengerti, ia sebetulnya yakin kalau tipikal orang seperti Langit pasti menyimak apa saja hasil rapat selama ini dengan Pak Lesmana. Walaupun kenyataan nya ia lebih banyak diam dari pada yang lain. Ia hanya tak mau diamnya Langit seperti Erwin, diam yang membuat ulah seperti hari ini. “Jadi gimana, Lang?” Tanya Aira. “Bisa-bisa, gue usahain.” Aira mencoba mencairkan suasana agar tidak tegang. “Santai saja, Lang. Udah biasa kan?” “Iya enggak dadakan juga sih, Ra.” Jawabnya sambil tertawa. “Ya gimana lagi si Rival jam segini belum datang, rumahnya di mana sih?” “Di Pelajar rumahnya.” Aira berdecak. “Deket banget lah, 10 menit juga nyampe.” “Emang gitu anaknya susah.” Tambah Langit. “Ya udah gue serahin semua sama lo ya, gue percaya deh.” Ucap Aira sewaktu sudah di lapangan.Ia juga harus terlihat yakin pada Langit, sebab itu juga mempengaruhi Langit nantinya. “Lo di sini tapi, Ra. Gue enggak enak gantiin Rival soalnya.” Pinta Langit. Aira terdiam sejenak. “Iya udah deh gue di sini, kasian juga lo dadakan gini kalau ditinggal sendirian.” Aira sempat memperhatikan Langit, ternyata tidak seburuk itu cara ia berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Ia memang terlihat acuh, tapi acuh yang memang pada hal yang bukan menjadi urusannya. Jika soal seperti ini ia sangat terbilang baik untuk diajak berdiskusi di waktu sempit. Aira segera memposisikan diri, berusaha menyeimbangkan Langit saat itu. Matanya sesekali menatap ke arah parkiran, sekali ia mengedarkan pandangan matanya langsung bertemu dengan Rivaldi. Anak itu langsung mengatakan maaf berulang kali tanpa ia dengar, dari kejauhan ia bisa melihat dari gerakan bibirnya. Aira hanya menghela napas melihat Rivaldi yang masih bisa tertawa, sekalipun sudah meminta maaf. Ulahnya pasti sama, ia sibuk berdandan yang rapih untuk tebar pesona kepada para penonton yang nanti akan berdatangan. Tepukan pundak yang berasal dari belakang membuat Aira sedikit kaget, ia menoleh mendapati Rivaldi yang tengah menyengir ke arahnya. Aira hanya menghela napas saja melihat Rivaldi yang sama sekali tak merasa bersalah. “Lo di sini sama Langit.” Bisik nya pada Rivaldi. Setelah Rivaldi menggantikan posisinya, Aira segera pergi menuju stage lain untuk memastikan tidak ada kekurangan selama acara berlangsung. Ia memang tidak punya banyak waktu seperti temannya yang lain, bisa pergi kesana-kemari tanpa harus takut dicari. Tapi dengan begini Aira merasa hidupnya lebih berguna dari orang lain. * Acara mulai berlangsung dengan baik, kendala yang sempat menghambat bisa dilalui secepat itu karena usaha Aira dan teman-temannya. Beruntung Aira tak pernah pilih-pilih dalam mengerjakan sesuatu, ia anggap semua sama walaupun kadang ia mengomel karena mereka sudah dibagi tugas namun tak dijalankan sebagaimana mestinya. Semakin siang matahari juga perlahan mulai naik posisinya, semula lapangan tidak begitu panas kini berubah membuat setiap orang yang memandang akan menyipitkan matanya. “Lo kemana aja sih, Val?” Aira menegur Rivaldi yang kebetulan bertemu dengannya di koridor sekolah. “Maaf ya, Ra. Aduh gue enggak enak jadi lo yang ribet, gue itu macet tadi sumpah macet banget.” Kata Rivaldi dengan wajahnya yang penuh drama. Aira berdecih, “Yakin macet? Rumah lo kan deket.” “Di mana? Rumah gue jauh anjir ih lo so tau banget deh.” Ucap Rivaldi sedikit kaku. “Di pelajar kan rumah lo, Val? Ngaku ah ga baik bohong.” Rivaldi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bisa-bisa nya orang seperti Aira yang tidak dekat dengannya tahu persis rumahnya di mana. Padahal selama ini anak-anak yang lain tidak pernah tahu di mana rumahnya. “Kok lo bisa tahu?” “Aira dilawan.” Aira menaikkan satu alisnya sambil menatap Rivaldi. “Dih sombong.” Cibir Rivaldi. “Udah bilang makasih belom sama Langit? Kalau enggak ada dia siapa coba yang mau gantiin posisi lo di lapangan? Gue sih ogah. Enggak ngerti sama begituan, kalau si orasi ketua osis biarin lo mau diemin gue berapa lama pun di lapangan.” “Ya iya beda emang, beda.” Rivaldi mengaku kalah. “Heh ngapain lo di sini?” Tiba-tiba pembicaraan mereka dihadang begitu saja oleh laki-laki yang datang dari belakang Aira. “Apaan sih?” “Lo udah tahu tanggung jawab acara, ke lapangan sana ngapain di sini?” Aira mengerutkan dahinya. “Lho kok sewot? Gue enggak sengaja ketemu Rivaldi, tadi juga abis muter buat ngecek acara.” “Ah basi, buru-buru ikut ke lapangan.” Daffa lantas menarik lengan Aira tanpa menunggu persetujuan Aira lebih dulu. Manusia aneh memang, tiba-tiba datang lalu berlaga sok profesional. Apa daya Aira hanya bisa menuruti apa kata Daffa, dibanding ia harus ribut dan membuat semua mata tertuju ke arahnya. “Kesambet apaan sih?” Kata Aira memprotes perlakuan Daffa pada dirinya. “Lo enak-enakan bucin, anggota lo suruh panas-panasan.” Nada bicara Daffa kesal sekali, ia berlaga menegur hal yang jelas ia tak pahami sebelumnya. “Daf? Lo stress deh. Siapa yang bucin hah?” Bukan Daffa kalau tidak tiba-tiba meninggalkan orang yang sedang memarahinya begitu saja, iya dia meninggalkan Aira yang sedang marah-marah di depan ruang panitia. Aira ingin sekali berlari lalu mendorong Daffa hingga terjatuh, apa lagi kalau bukan karena rasa kesalnya. “Eh emang enggak tahu diri ya.” Kesalnya saat melihat Daffa benar-benar pergi meninggalkannya yang sedang berbicara kepadanya. “Sabar dong.” Suara yang diiringi tawa setelahnya itu membuat Aira yang semula tengah mengepalkan tangannya dibuat diam tak bergeming, suara itu tidak asing sekali untuk ia dengar. Bola matanya bergerak ke samping, melihat siapa yang berdiri di sana. “Marah-marah mulu nih kaka panitia.” Ledeknya lagi. Ah s**l, Aira benar-benar kehilangan selera untuk marah. Bibirnya justru tertarik untuk mengukir senyum di wajahnya, “Apa lo?!” Responnya memang marah, tapi tidak raut wajahnya memperlihatkan Aira bahagia mendengar suara itu. Ia Zaidan, laki-laki yang selama 3 tahun terakhir ini memenuhi isi kepalanya. Wajahnya terlihat masih sama persis seperti dulu, saat Aira masih menjadi pacar Zaidan, dan lagi senyumnya yang dulu selalu ada untuk Aira kini hanya mampu ia lihat beberapa kali saja saat bertegur sapa. Hanya tubuhnya yang makin saja terlihat kurus dari biasanya. Kebiasaan bergadang Zaidan mungkin belum hilang hingga saat ini. Se gagal itu Aira melupakan Zaidan, padahal semua perkataan temannya sudah membuktikan kalau Zaidan tidak baik baginya. Seorang bad boy, tidak setia dan tidak mengerti hidup sama sekali. Aira diputuskan karena hidupnya terlalu sibuk, kegiatannya tidak berhenti sekalipun sehabis pulang sekolah. Tapi, bagi Aira itu adalah hal yang menyenangkan memiliki pasangan aktif yang tidak bermalas-malasan. Pemikiran yang jelas-jelas sangat bertolak belakang tidak mampu diterima oleh Zaidan, padahal jelas Aira tak pernah mempermasalahkan bagaimana orang menilai Zaidan. “Heh!” Aira mendengarnya, ia segera menoleh ke sumber suara. Aira memperlihatkan sederet giginya sambil menyipitkan matanya untuk memperjelas penglihatannya. “Ketemu mantan sampai segitunya.” Cibir Sifa, sambil berjalan ke arah Aira. Aira tertawa saat menyadari sikapnya tadi yang memang terhipnotis hanya karena seorang Zaidan. “Seneng sih boleh, tapi ingat alasan apa yang bikin dia pergi. Enggak pernah support lo kan dia itu.” Lagi-lagi Sifa memperjelas terus-menerus. Aira juga tahu bahkan sangat sadar, tapi untuk saat ini Aira belum bisa melepaskan semuanya. Kalau orang-orang selalu menyarankan Aira memulai hubungan baru agar melupakan Zaidan, itu sudah ia lakukan sejak dulu. Berapa banyak pelampiasan yang Aira korbankan karena ia tak bisa melepaskan masa lalu nya itu. Hasilnya nihil, tak pernah ia menjalani hubungan lebih dari satu bulan. “Lo mau ke mana?” Tanya Aira mengalihkan pembicaraan. “Mau ke kantin sih, liat lo aja sendirian di sini terus gue samperin. Mau ke mana?” Aira tertawa, “Lagi keliling gitu, eh kebetulan aja ketemu dia jadi gue diem.” “Udah ah, gue ke Kantin ya.” Ucap Sifa, ia juga spontan menepuk bahu Aira. “Iyaa.” Jawab Aira. * Aira tengah sibuk membereskan peralatan yang baru saja dipakai hari ini, jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Keadaan lapangan dan halaman sekolah yang sangat berantakan membuatnya sedikit menghela napas. Besok acara ini masih berlangsung dan harus kembali bersih agar semuanya merasa nyaman. “Lain kali besok tuh bukan cuma kontrol acara, tapi kebersihan tolong diingatkan lagi.” Kata Denis sambil membuang sampai yang sudah menumpuk. Semuanya hanya mengangguk, malas juga menjawabnya karena mereka sudah kelelahan. Setelah membersihkan semua area sekolah, Aira juga sempat mempersiapkan peralatan untuk besok yang sekiranya bisa disiapkan hari ini. Karena jika semuanya disiapkan besok pasti akan tercecer dan panitia tidak akan sesigap itu untuk menghandle. “Ra?” Aira menoleh mendapati Daffa dan Langit tengah berdiri di depannya menunggu jawaban. “Apa?” Jawab Aira cuek, ia masih sibuk mengurus alat-alat kecil yang sedang ia siapkan. “Sekolah kita jadwal mainnya besok kan?” Tanya Daffa. “Ya lo liat jadwal lah, panitia nanya.” “Si Langit yang nanya.” Daffa mengklarifikasi. “Hah?” Aira menghentikan aktivitasnya. “Besok? Iya sekolah kita main, emang ada perubahan di jadwal maaf kalau gue belum sempet share.” “Makasih ya, Ra.” Ucap Langit. “Gue balik duluan.” Daffa menimpali ucapan Langit. “Terserah lo!” Aira sudah kesal bukan main pada Daffa, saat kebersihan tadi ia tidak ada. Sekarang juga di saat yang lain sibuk untuk besok, dia justru sibuk izin pulang. “Galak banget.” Cibir Daffa sambil tertawa, dan Langit juga ikut tertawa. “Capek tahu ga? Lo tuh seenaknya mulu deh, Daf. Pusing gue.” "Capek bucin sama Rivaldi?" Sindir Daffa. Aira langsung melotot. "Lo tanya nih sama Langit, kenapa bisa gue marah-marah dan ngobrol sama Rivaldi." “Gue balik duluan aja.” Kata Langit pada Daffa. “Enggak, gue udah diizinin sama si Aira. Iya kan, Ra?” Aira tak menjawab lagi, ia meninggalkan Daffa dan Langit yang masih berdiri di tempatnya. Aira memilih masuk ke dalam ruangan, Daffa hanya tertawa melihat tingkah Aira yang sering sekali marah-marah seperti ini. “Nanti lo suka lagi.” cibir Langit saat melihat Daffa yang justru terlihat bahagia sekali setelah membuat Aira kesal setengah mati. “Apa sih ngaco.” Langit hanya terkekeh, ia sudah berteman lama dengan Daffa. Mana mungkin ia tidak bisa membaca suasana hati temannya sendiri. Daffa memutuskan untuk pulang bersama Langit, biarlah Aira kesal. Masih ada hari esok untuknya meminta maaf pada Aira sekaligus mengganggu nya lagi seperti hari-hari biasanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD