bc

Ketika Tuhan Meng-iyakan

book_age12+
369
FOLLOW
2.7K
READ
time-travel
fated
friends to lovers
goodgirl
tomboy
drama
campus
highschool
first love
like
intro-logo
Blurb

Kisah Aira yang selalu gagal soal Cinta membuatnya menemukan perjalanan panjang menuju kisah akhir yang menjadi misteri. Lelah telah membuatnya pasrah hingga tangan Tuhan yang mengatur kisanya sedemikian rupa.

Menyinggahi setiap rumah dan berakhir menjadi tamu, lantas siapa yang akan menjadi rumah untuknya pulang dan menjadi tuan untuk rumah itu.

chap-preview
Free preview
Part 1
Pagi sekali ia sudah sampai di sekolah, bahkan pak satpam yang biasa membuka kan gerbang saja belum melakukan tugasnya. Terpaksa karena ia yang melihatnya lebih dulu, ia buka pintu pagar itu sendirian lalu segera masuk ke area sekolah. Sekolah masih sangat sepi, bahkan belum ada siapapun di sana selain Pak Ujang yang memang tinggal di sekolah. Tugasnya berbeda dengan pak satpam, ia hanya merapihkan sekolah, menyapu, mengurus tanaman, juga membersihkan kamar mandi. Perawakannya tinggi, kurus, tampak sekali sudah banyak kerutan di wajahnya. Hal ini menandakan bahwa umurnya memang sudah tidak lagi mudah seperti dulu. Awalnya ia akan menaruh tasnya lebih dulu ke kelas, tapi rasanya tidak mungkin karena sekolah masih sangat sepi. Khawatir ada hal-hal aneh terjadi, ia tak mau menanggung resikonya sama sekali. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke ruangan osis, karena kebetulan hari ini adalah jadwalnya untuk piket dan membantu pekerjaan Pak Ujang walau tidak banyak. Setelah menaruh tas di dalam ruang osis, ia langsung mengambil alat penyiram tanaman sambil menunggu suasana sekolah ramai. Pekerjaannya hampir saja selesai, murid-murid juga mulai berdatangan ke sekolah. Ia juga baru sadar kalau pak satpam sudah berdiri di depan gerbang untuk mentertibkan para murid yang membawa motor. Suara motor yang terdengar tidak asing membuatnya tersenyum tiba-tiba, ia yng sedang sibuk menyiram tanaman di depan ruang osis seketika menjadi tak karuan. Inginya ia tak mau menoleh ke arah sumber suara, tapi entah kenapa kepalanya reflek bergerak menoleh ke sumber suara. Satu alis terangkat diperlihatkan oleh siswa yang baru saja mematikan mesin motornya dan membuka helmnya. Sontak siswi perempuan yang tengah menyiram tanaman itu berubah tak karuan. Wajahnya ia pasang sinis, bibirnya mati-matian menahan agar tidak tersenyum. Pagi-pagi seperti ini melihat hal yang Indah memang kadang kala membuat diri sendiri menjadi tidak bisa dikendalikan. “Cakep kali lo.” Ketusnya, lalu kembali fokus pada tanaman yang tengah ia siram. Tidak terdengar jawaban setelah itu. Ia mengira laki-laki itu langsung pergi ke kelasnya, tapi ternyata salah. Semilir angin yang tiba-tiba saja wangi karena parfum dari seseorang yang baru saja melewatinya, ia hafal siapa pemiliknya. Tapi ia masih tetap berusaha fokus menyiram tanaman dan enggan terganggu sedikit pun. “Yang bener dong nyiramnya, Ra.” Ucapnya sambil cengengesan memperhatikan dari depan. Ia melipat kedua tangannya di d**a, bersikap menjadi mandor yang sedang mengawasi anak buahnya. Laki-laki itu bernama Daffa, teman satu organisasi Aira. Perawakannya tinggi, tidak terlalu kurus, matanya sedikit besar dan kulitnya sawo matang. Sikapnya memang menyebalkan, tapi entah kenapa Aira juga sering kalang kabut merespon sikap Daffa padanya. Daffa adalah laki-laki yang akan menjadi satu-satunya lawan Aira yang membuat Aira ketar-ketir karena Daffa tak mau mengalah pada perempuan, atau ralat hanya pada Aira saja. “Bantuin lah, mandor banget lo di situ.” Bukan Aira namanya kalau tidak galak, setiap hari akan ada saja suara ketus dan nada tingginya yang justru membuat orang tertawa bukan takut dan marah. Perawakan nya yang kecil membuat orang-orang menjadi gemas ketika ia marah dan berlaku selayaknya orang tegas. Walau begitu memang tak perlu diragukan lagi, Aira anak yang pintar dengan kemampuan bicara di depan umum yang patut sekali diacungi jempol. “Udah mau beres kan itu, ntar aja sore.” Alibinya sambil mengeluarkan ponselnya dari saku celananya. Ia melangkah agak menjauh dari Aira. Aira hanya berdesis, ia langsung melanjutkan kegiatannya menyiram tanaman. Daffa juga tidak lagi bersuara, biasanya ia selalu mendikte Aira jika sedang melakukan apa-apa. Aira penasaran, lalu melihat ke arah Daffa yang sedang tersenyum sambil melambaikan tangannya entah pada siapa. “Lang!” Begitu yang Aira dengar dari teriakan Daffa. Mata Aira lantas mengikuti ke mana Daffa pergi saat itu, maklum saja rasa penasarannya sangat tinggi. Kalau saja Daffa bertemu perempuan, bisa jadi gosip bulanan yang cukup seru di kalangan anggota osis. Aira melihat Daffa bersalaman dengan kerabat dekatnya, Langit. Cocok sekali mereka berteman, yang satu pecicilan dan satunya lagi pendiam. Sengaja Aira tidak meneriaki Daffa, temannya yang bernama Langit kadang menyebalkan sering meledek Aira dengan Daffa. Padahal Langit ini pendiam, tapi kadang membuat Aira kesalnya setengah mati. Setelah melihat Daffa pergi ke kelasnya dengan Langit, Aira lantas segera menyimpan peralatan yang ia gunakan tadi saat menyiram. Lalu ia mengunci kembali pintu osis, dan kembali ke kelasnya. * “Sif, besok anak sebelah datang.” Ucap Aira yang baru saja duduk di kursinya. “Siapa?” Kata Sifa dengan antusias, ia segera meletakkan ponselnya di atas meja. “Yang lo suka itu namanya siapa? Anak futsal.” Sifa tersenyum. “Oh si Zulfan, sumpah lo?” “Iya anjir, besok kan udah mulai pertandingannya. Pagi sih pembukaan dulu, paling mulai jam sepuluh.” Katanya sambil menopang dagunya di tangan. Aira memang tahu banyak soal kegiatan yang akan berlangsung, ia panitia yang terjun langsung mengurus acara tersebut. Walaupun beberapa dibantu oleh anak-anak yang juga ahli dalam bidang olahraga. “Terus freeclass besok?” Aira mengangkat bahunya. “Engga tahu deh, gue sih pasti enggak masuk kelas.” “Ya lo enak, males anjir besok ada ulangan.” “Enak dong gue, ruangan panitia kan di bawah.” Sifa mengerutkan dahinya. “Terus?” “Ya deket kelas mantan dong.” Ucapnya dengan bangga. “Ya ampun kelakuan lo masih aja.” “Usaha kali, Sif. Mana tahu nyantol lagi.” Sifa menggelengkan kepalanya, Aira memang tidak ada habisnya kalau soal mengejar cinta mantan. Padahal jelas-jelas mantan Aira sudah menyakitinya berulang kali, mencintai orang yang salah saja ia sekuat ini apalagi nanti dipertemukan dengan yang benar. “Aira!” sebuah kepala muncul dibalik pintu kelas berteriak ke arah Aira, membuat Aira dan Sifa menoleh bersamaan. “Apaan?” Jawab Aira yang masih duduk di tempatnya. Daffa melambaikan tangannya, meminta agar Aira menghampirinya ke depan kelas. Aira memutar bola matanya malas, sejenak ia terdiam sambil menghembuskan napas kasar. Lalu, ia segera bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Daffa di depan kelas. “Bentar ya, Sif.” “Iya.” Baru saja Aira melewati batas pintu kelas, ia tidak melihat keberadaan Daffa di sana. Alisnya mengkerut, ia mengedarkan pandangannya untuk mencari Daffa. “Woi!” Suara itu membuat Aira menoleh ke kiri, tepatnya di dekat lapangan. “Mau ke mana sih lo?” Tanyanya dengan nada setengah berteriak. “Buruan, udah ditungguin.” Kata Daffa yang sedikit menahan tawanya karena berhaisl membuat Aira kesal. Tanpa menunggu lagi, Aira langsung melangkahkan kakinya menuju Daffa. Ia sedikit berlari, karena penasaran kenapa Daffa menyuruhnya untuk pergi. “Ada apaan sih?” Tanyanya sambil mengatur napasnya yang memburu karena sudah berlari kecil. “Rapat anjir, masih aja nanya ada apaan.” Ujar Daffa, setelahnya ia langsung menepi dia sebuah kelas. “Lah terus lo ngapain ke sini?” Tanya Aira, ruang rapat masih harus melewati beberapa kelas. Tapi, Daffa justru berhenti di kelas lain. “Bentar.” Kata Daffa, lalu ia masuk ke dalam kelas. Tak sampai 5 menit, Daffa kembali keluar kelas. Tapi, ia tidak sendirian. “Ayo.” Ujar Daffa langsung tanpa basa-basi. Aira sedikit kaget, Daffa keluar bersama Langit. Ia berpikir keras kenapa ada Langit di sini. Sambil berjalan, ia berusaha menemukan jawaban dari pertanyaannya. “Wasitnya udah ada?” Tanya Daffa pada Langit. Seketika pertanyaan Aira langsung terjawab, ia baru ingat kalau Langit adalah bagian dari struktural kepanitian di sekolah dalam acara ini. “Udah kok, paling nanti bakal dikonfirmasi lagi sekarang.” Langkah kaki mereka sedikit melambat, ketika ruangan rapat sudah tinggal beberapa langkah lagi dari pijakannya. “Airaaaa!” aira menoleh ke sumber suara, mendapati Alika yang tengah berdiri di sana sambil melambaikan tangannya. Aira segera mempercepat langkahnya mendahului Langit dan Daffa yang masih saja berjalan sambil membicarakan sesuatu. “Udah daritadi?” Tanya Aira pada Alika. Alika mengangguk. “Iya, gue enggak masuk kelas, tasnya dititip.” Ujarnya sambil menyengir. “Ih kebiasaan.” “Btw ya, acaranya berapa hari sih?” Aira menyipitkan matanya, “Nah kan ketahuan banget enggak pernah nyimak setiap rapat.” Alika cengengesan, sebetulnya ia menyimak tapi memang karena ia sering lambat dalam berpikir hasilnya jadi seperti ini. “Nyimak kok gue, Cuma lupa.” “Emang dasar lemot.” Ledek Aira sambil mendorong bahu Alika. “Yu mulai yu.” Pak Lesmana tiba-tiba menampakkan dirinya di depan ruangannya, entah darimana ia datang tiba-tiba sudah ada di depan ruang rapat. Ta npa menunggu lagi, semua yang terlibat langsung masuk ke dalam ruangan agar rapat segera dimulai. * Selepas rapat selesai, semua pembagian mengenai kelangsungan acara besok sudah selesai. Aira terlibat dalam acara, termasuk mengondisikan acara agar berjalan sesuai rencana. Semua panitia memang bekerja merangkap, tidak harus terfokus pada satu tugas saja. Acara ini memang melibatkan dua organisasi berbeda, walaupun sama-sama berasal dari intern. Tetap saja, ada rasa canggung atau ada rasa lebih leluasa untuk berdiskusi dengan lingkungan organisasinya sendiri. Sore ini sebelum memutuskan untuk pulang, Aira memilih untuk kumpul lebih dulu bersama organisasinya. “Kumpul dulu?” Tanya Refan yang tiba-tiba keluar dari ruangan. “Iya, di ruangan kita aja.” Jawab Denis. “Gue ngambil tas dulu deh di kelas, abis itu langsung ke ruangan ya.” Pamit Aira yang langsung mendapat jawaban anggukan dari anak-anak. Keadaan sekolah yang sudah sepi, hanya tersisa panitia yang akan terlibat dalam acara besok. Ia juga tak sengaja berpapasan dengan Langit ketika hendak mengambil tas. Tipikal laki-laki seperti Langit yang dingin sulit dijelaskan, membuat Aira berpura-pura sibuk fokus pada ponselnya sambil berjalan. Setelah mengambil tas, Aira segera berjalan kembali ke ruangan di mana organisasinya akan kembali berkumpul sebelum acara besok dimulai. “Ada apaan sih? Kumpul lagi?” celetuk Daffa yang tiba-tiba datang lalu menemui Aira yang tengah sibuk menulis di buku catatanya. “Apaan sih? Ribet banget lo.” “Kumpul lagi buat apaan gue tanya?” Bentak Daffa yang sama sekali tak membuat Aira ketakutan. “Lo kira besok acara kecil-kecilan?” Daffa berdecak. “Tadi kan udah sama Pak Lesmana, sama anak olahraga juga.” “Terus? Menurut lo enggak perlu gitu ngecek kesiapan anggota sendiri dulu? Lagian gue juga tahu diantara mereka pasti ada aja yang enggak mau bersuara padahal ada yang keberatan.” Lagi-lagi Daffa berdecak. “Ah serah lo deh!” “Yaudah, lo tinggal duduk aja sih. Tunggu si Denis, bentar lagi juga dimulai.” Daffa enggan menjawab lagi, ia langsung memilih tempat duduk di barisan kedua. Matanya langsung tertuju pada ponselnya. Anak satu ini memang tak ada hentinya membuat ulah dengan Aira, sehari saja tidak pernah Daffa tidak mencari ribut dengan Aira. “Ribut mulu, cinlok tau rasa.” Ledek Alika sambil menaruh tasnya di atas meja. “Halah.” Bantah Aira. Tidak menunggu sampai 5 menit, Denis muncul dan langsung memulai rapatnya. Rapat tidak berlangsung lama, hanya sekedar konfirmasi dan mengecek kesiapan anggota masing-masing. Khawatir jika memang tadi ada anggota yang tidak siap tapi tidak menyuarakan pendapatnya. Setelah selesai rapat, beberapa diantara mereka ada yang memilih pulang dan ada juga yang memilih untuk berdiam lebih dulu di sekolah. Termasuk Aira, ia memilih untuk mengobrol dulu di sekolah dan pulang lebih lambat dari sebelumnya. “Ngapain lo di sini?” Tegur Aira ketika melihat Daffa ikut bergabung mengobrol bersama yang lain. “Dih sewot banget.” Jawabnya sambil menahan tawanya. Aira tahu sekali kalau Daffa senang membuatnya kesal. “Ya lo tadi aja rapat nanya-nanya buat apa rapat lagi, sekarang udah selesai malah diem di sini.” “Lah? Lagian gue Cuma nanya ada apa rapat lagi? emang gue bilang kalau gue pengen pulang cepet?” Perdebatan diantara mereka berdua semakin memanas, yang lain hanya menggelengkan kepalanya sambil ikut memanas-manasi keadaaan mereka berdua. “Terserah lo deh.” “Yahhh kalah kan lu.” Bukan Aira namanya kalau tidak mencubit jika sudah kesal, ia langsung saja bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke arah Daffa dengan cepat lalu mencubitnya Daffa tiba-tiba. “Rese banget sih.” Cibir Daffa. “Bodo amat.” Jawab Aira tak acuh, padahal Daffa sedang meringis kesakitan. Kebiasaan mereka memang seperti itu, padahal diantara mereka jelas ada yang menyukai Daffa secara terang-terangan. Bagi Aira, bukan ia tak bisa menghargai perasaan temannya. Tapi, jelas murni memang Aira tidak ada perasaan lebih pada Daffa jadi tak perlu ada yang dikhawatirkan. Tapi orang lain selalu mengartikan kalau di antara mereka ada yang menyukai salah satunya atau bahkan keduanya. “Besok yang lain tetep belajar enggak sih?” Tanya Arafah, mewakili pertanyaan teman-temannya yang lain. “Nah iya tuh, banyak yang nanya juga sama gue.” Tambah Laura. “Kata gue sih gimana guru lo pada aja.” Jawab Aira sambil tertawa kecil. “Bener sih, ya kalau guru lo macem Bu Pina mah enggak akan ada freeclass.” “Besok kita pelajaran siapa sih, Fah?” Tanya Alika pada Arafah yang kebetulan satu kelas. “Bu Pina anjir.” Aira tertawa. “Ya udah udah tahu kan jawabannya?” “Ulangan anjir besok.” Kata Alika menambahkan. “Ya udah sih yang lain ini, ribet banget.” Kata Arafah berusaha menenangkan. “Bukan gitu, Fah. Bener kata si Alika, mereka ulangan tar nasib lo berdua gimana?” Tanya Aira. “Duh gimana nih? Izin ikut ulangan deh.” Aira langsung melempar tatapannya ke arah Denis. “Gimana tuh?” “Pelajaran ke berapa emang?” Tanya Denis. “Pertama deh kayaknya.” “Di handle aja sama yang bisa, tapi lo tanya dulu sama Bu Pina jadi ulangan apa enggak.” “Hah? Serius lo?” Arafah tak percaya mendengar jawaban Denis. “Gini aja ya, kita saling menutupi aja ya. Jadi organisasi jalan tanpa mengabaikan kewajiban utama kita. Tapi ingat, kesadaran diri kalau udah selesai jangan ngobrol ini itu dulu.” “Cinta deh sama Denis.” Gombalan yang berasal dari Alika dibalas tawa renyah dari Denis. Nilai tambah bagi Denis memang rasa kepedulian dan memikirkan satu sama lain, hanya saja kadang Denis terlalu memberi kelonggaran bagi anggotanya yang membuat semuanya menyepelekan kegiatan atau tugasnya masing-masing. Hal ini yang kadang menjadi pro kontra ketika dipimpin oleh Denis. “Pokoknya stay di tugasnya masing-masing, gue enggak mau denger si A malah ngerjain tugas si C atau bantuin dia padahal tugasnya belum selesai. Bukan enggak boleh saling membantu, tapi utamakan yang pokok dulu baru yang lain.” Tambah Aira. Di mata Daffa, Aira adalah gadis unik yang tidak bisa ia miliki. Rasanya ia nyaman saja seperti ini, ribut atau bahkan berdebat dengan Aira. Ketibang harus menye-menye, lemah lembut pada gadis sesangar Aira. Dia beda, tidak seperti wanita pada umumnya yang menarik perhatian dengan segudang pesona melalui kecantikan atau ke lemah lembutan, ia beda jelas sangat beda. Aira menarik dengan ke bawelannya, galak dan mudah menyuarakan pendapat. Kadang yang ia suka dari Aira adalah ia mampu menyesuaikan sifatnya dengan temannya saat itu. Bukan muka dua, melainkan hal itu perlu menurut Daffa. Tapi tetap saja untuk mempunyai rasa yang lebih belum tentu bisa, sekalipun ada mana bisa Daffa mengutarakannya. Yang ada ia dipermalukan di depan orang banyak. Aira bisa menjadi anak baik, ia juga bisa melawan arah tapi tidak dengan merusak imagenya sendiri. Ah sudahlah, Daffa jadi memikirkan Aira. “Balik deh ayo.” Aira melirik pergelangan tangannya, “Eh iya udah sore.” “Yaudah ayo pulang.” Kata Denis sambil memakai tasnya. “Balik sama siapa lu?” Tanya Daffa pada Aira. Aira menahan senyumnya, benar-benar menahan dan menampilkan wajah tak acuhnya. “Sendiri lah, pake nanya. Mau ngeledek gue bukan?” “Ledek apaan sih?” “Ya iya lo ledek gue jomblo balik sendirian.” Daffa mengerutkan dahinya. “Enggak jelas.” “Duluan ya.” Pamit Alika dan Arafah yang memilih pulang lebih dulu. “Lo sama siapa pulangnya, Ra?” Tanya Denis. “Sendiri ih, kenapa sih pada nanya gitu.” Kesal Aira tiba-tiba ditanya seperti itu. “Tunggu.” Kata Daffa sambil berjalan menuju parkiran. Aira mengerutkan dahinya. “Buat apa dia nyuruh nunggu?” Aira memilih jalan sama pelan-pelan, Daffa memberi perintah juga tidak jelas. Sambil berjalan dan fokus pada ponselnya, Aira mendengar suara motor mendekat ke arahnya. Motor itu berhenti tepat di sampingnya. Aira menoleh, mendapati Daffa di sampingnya. “Apaan?” Kata Aira penasaran. “Naik lah, munafik banget.” Ucap Daffa dengan ketus. Bukan Aira tidak mau, ia hanya tidak mah disebut terlalu percaya diri oleh siapa pun apa lagi Daffa musuh besarnya di sekolah. Aira segera menoyor kepala Daffa yang ditutup helm. “Ya lu enggak ngomong enggak apa, gue asal naik aja entar salah.” “Cepetan, banyak omong.” Aira lantas menaiki motor Daffa, tanpa ada suara lagi. Daffa langsung melajukan motornya meninggalkan area sekolah. Tidak ada obrolan di antara keduanya, mereka diam saja menikmati angin yang berhembus karena motor melaju begitu kencang. Setibanya dia area rumah Aira, ia langsung meminta turun tanpa harus sampai ke rumahnya. Ini sudah menjadi hal biasa karena siapa pun yang tahu Aira pasti tahu bahwa ia dilarang dekat dengan lawan jenis. "Makasih." Ucap Aira, walaupun kesal pada Daffa ia tak akan lupa mengucapkan itu pada Daffa. Ia sudah baik berniat mengantar Aira pulang meskipun dengan nada yang tidak pernah enak untuk didenger. "Hm." Jawab Daffa seperti biasanya. Aira langsung berjalan menuju rumahnya, ia khawatir kalau di jam-jam seperti ini Zaidan tengah berkeliling komplek seperti biasanya. Bahaya saja jika Zaidan tahu kalau Aira pulang diantar oleh Daffa, bahaya ini hanya untuk Aira sebetulnya bukan untuk Zaidan. Ia tak mau Zaidan berpikir kalau Aira sudah memiliki pengganti Zaidan. Korban gagal move on memang begini adanya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Head Over Heels

read
15.9K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.9K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

DENTA

read
17.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook