PART 3 - BERTEMU

2251 Words
Adel yang baru saja selesai mandi setelah pulang dari dinas paginya di rumah sakit berjalan menuruni anak tangga, bermaksud untuk ke dapur mengambil beberapa camilan yang disimpan disana. Rumahnya terlihat sepi, bi Minah asisten rumah tangganya juga baru saja pulang karena memang waktu bekerjanya hanya sampai sore hari di kediaman itu. Adel anak tunggal di keluarganya, hanya tinggal berdua bersama bundanya, ayahnya meninggal dunia saat Adel masih duduk di bangku sekolah menengah atas. “Eh, anak Bunda sudah di rumah.” Langkah kaki Adel yang akan menaiki anak tangga untuk kembali lagi ke kamar seusai mengambil dua stoples camilan terhenti, Adel menoleh ke arah sumber suara, memutar badan menuju ruang tengah. “Bunda, kok udah di rumah?” Alisnya mengernyit. “Oh iya .. ini hari sabtu kan ya? Jam kerja Bunda hanya sampai siang.” Adel memukul jidatnya sendiri. “Adel, anak Bunda sepertinya kebanyakan mikir, ya? Mikirin apa hmmmm?” Tersenyum geli melihat anaknya yang bertanya tapi dijawab sendiri. “Bun, acara besok minggu jadi, kan?” Adel mengalihkan pembicaraan, ia duduk di samping Bunda Alia yang sedang menonton acara televisi, dua stoples yang sedari tadi ia peluk diletakkan di meja. “Jadi dong manis.” Mencolek dagu putrinya. ”Bunda cuma mengundang beberapa teman sama tetangga sebelah, enggak banyak.” “Aku ngajak Tiara, kak Rafqi, sama abang bun.” Adel memberitahu, sedangkan tangannya sibuk membuka stoples. “Bagus deh kalau gitu, Tiara disuruh nginap aja sekalian,” sahut Bunda Alia. “Dia enggak bisa nginap, Bun, dia dinas malam, berangkat kerja dari sini.” “Ooh, ya sudah enggak apa-apa.” Bunda Alia menyahuti. *** Acara syukuran ulang tahun Bunda Alia berjalan dengan lancar, syukuran diadakan secara sederhana. Akan tetapi cukup ramai karena tamu undangan ialah teman-teman dekat Bunda Alia dan tetangga sekitar. Ada beberapa teman Bunda Alia yang mengirim pesan meminta maaf karena berhalangan hadir. Termasuk dua lelaki yang diundang Adel juga tak menampakkan batang hidungnya. Membuat Adel semakin kesal karena keduanya tak memberikan kabar. Kompak sekali. Dari pagi Tiara sudah sibuk membantu Adel dan bi Minah menyiapkan berbagai macam hidangan, dari makanan berat hingga camilan ringan yang jauh-jauh hari sudah Bunda Alia pesan dari jasa catering langganannya. Sampai tamu berpamitan pulang Tiara ikut membereskan gelas dan piring kotor, meletakkannya di bak cuci piring, lalu mencucinya. “Non Tiara, ini pekerjaan Bibi, biar Bibi saja yang mencuci piringnya, Non Tiara istirahat saja.” Bi Minah mengambil alih piring yang di pegang Tiara. “Enggak apa-apa kok Bi, biar cepat selesai.” Tiara tetap membantu Bi Minah meniriskan piring-piring yang sudah di cuci. “Ra, udah ... ini biar diselesain sama Bibi.” Adel menunjuk piring-piring kotor dengan dagunya. “Sini deh ikut gue.” merangkul bahu Tiara mengajaknya ke ruang tengah. “Lo nunggu disini dulu, ya? Gue sama Bunda mau anter makanan ke rumah bu RT terus ke beberapa tetangga yang tadi enggak bisa kesini. Kalau lo ngantuk tidur aja di kamar gue.” “Kalau gitu sama aku aja nganternya, Del," sahut Tiara. “Tiara istirahat dulu aja di sini, pulangnya nanti malam, kan? Sekalian berangkat ke rumah sakit?” Bunda Alia tiba-tiba sudah berdiri di dekat Adel. “Eh iya, Tan, maaf Tiara malah kelamaan di sini.” Tiara tersenyum kaku. “Aah...Tante malah senang Tiara di sini, jadi enggak sepi, ada temennya. Ya udah Tante keluar dulu ya?“ pamit Bunda Alia dengan senyum ramahnya diikuti Adel yang melambaikan tangan ke Tiara, lalu membantu Bundanya membawa beberapa kardus makanan yang tadi sudah ia siapkan. *** Entah berapa lama Tiara tertidur di sofa ruang tengah, rasa kantuk yang begitu besar tak dapat ia tahan ketika mencíum bantal sofa. Tidurnya terusik kala samar-samar mendengar suara dari arah belakangnya, tepatnya dari ruang tamu. ‘Siapa? mungkin Adel dan Bunda Alia sudah pulang.’ Tiara bangun dari tidurnya, mengucek kedua matanya lalu menggelengkan kepala ke kanan dan kiri, meregangkan ototnya yang terasa pegal karena tidur dengan posisi asal. Berjalan melangkahkan kakinya ke ruang tamu dengan kesadaran yang belum seutuhnya. Bruukk!! “Aduh ....” Badan Tiara tersungkur ke lantai, tangan kirinya memegang pinggangnya yang sedikit nyeri. “So--Sorry.” Laki-laki di depannya berniat membantu Tiara berdiri. Namun, ditolak Tiara dengan gelengan kepala.” “Kamu siapa?” “Lo siapa?” Ucap Tiara dan Davin bersamaan. Tiara memperhatikan laki-laki yang memakai kaos biasa dibalut bomber jacket dengan celana jeans menenteng dua buah paper bag berdiri tepat di hadapannya. Tinggi, berkulit putih bersih, bermata sipit dan tampan, ciri khas lelaki dari negeri gingseng. Terang saja Davin memiliki perawakan seperti itu, kakek buyutnya memang berasal dari negera tersebut. “Kamu, masuk rumah orang enggak ketuk pintu, enggak ngasih salam,” tegur Tiara membuat Davin melongo. Davin menoleh ke arah pintu utama rumah itu, lalu melihat sekelilingnya. ‘Gue enggak salah masuk rumah orang kan?’ batin Davin seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Gue udah ketuk pintu berkali-kali, gue juga udah kasih salam, lo nggak lihat pintu kebuka lebar enggak dikunci? Siapa aja bakal bisa masuk,” ketus Davin sambil meninggalkan Tiara yang masih berdiri di tempatnya, Davin memilih duduk di sofa ruang tamu. Tiara menunduk wajahnya tersipu, malu. Apa iya dia tertidur pulas sampai tidak mendengar ketukan pintu? Ragu-ragu Tiara berjalan ke ruang tamu duduk bersebrangan dengan Davin. “Tante Alia dimana?” Davin bertanya tanpa melihat Tiara. “Tante Alia sama Adel lagi nganter makanan ke beberapa tetangga sekitar sini,” jawab Tiara. Hening. Hening. Hanya denting jarum jam yang mengisi ruangan itu. Tiara dan Davin sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tiara kemudian beranjak dari duduknya. “Aku ambilkan minum.” “Enggak usah, gue bisa ambil sendiri.” Davin melangkah pergi ke dapur. ‘Aiiisshh, dia siapa sih?! menyebalkan!’ Melirik tajam punggung Davin yang berjalan menjauh. Menghempaskan kembali badannya ke sofa, Tiara merogoh ponselnya yang berada di kantung celana. Berselancar di dunia maya guna menghilangkan rasa kesal pada laki-laki yang baru saja ditemuinya. “Ra, sorry lama. Biasaaaa, emak-emak ketemu emak-emak, panjang kali lebar gitu deeehh,” ucap Adel yang baru saja masuk ke ruang tamu memutus tatapan Tiara dari layar ponselnya. “Huusshh, kamu itu!” tegur Bunda Alia disambut kekehan Adel. Bersamaan dengan itu Davin keluar membawa gelas dan botol minum berisi air dingin. “Davin, kapan datang ?” tanya Bunda Alia sedikit terkejut. “Baru aja Tante, sekitar sepuluh menit yang lalu.” Ia meletakkan gelas dan botol di meja lalu meraih dua paper bag yang ia taruh di lantai. “Selamat ulang tahun tante, bahagia dan sehat selalu. Mama, papa dan Hana minta maaf karena belum bisa kesini.” Davin menjabat tangan Bunda Alia kemudian memeluknya. “Enggak apa-apa Dav. Gimana kabar mereka?” tanya Bunda Alia. “Sehat, Te,” jawab Davin. “ Ini ada sedikit bingkisan dari Davin dan mama. Ma’af Davin baru bisa main kesini.” Davin tersenyum melihat perempuan di hadapannya yang terlihat bahagia. “Terimakasih Dav, malah merepotkan.” Bunda Alia menerima paper bag dari Davin. “ Udah belom ni acara penyambutan Dubes RI dari Mesirnya?” sindir Adel tepat di samping Davin, memandang Davin dan Bundanya secara bergantian. “Abang jahat! Udah lama banget enggak kesini, gue kira abang udah ngelupain gue sama Bunda.” Adel mengerucutkan bibír, matanya mulai memerah, menahan tangis. Davin memeluk dan mengusap halus rambut Adel, adik sepupunya yang sudah ia anggap seperti adik kandungnya sendiri. Terdengar isakan kecil di d**a Davin. “Maaf," lirih Davin. Bunda Alia pun ikut menitikan air mata. Davin mengakui beberapa bulan ini terlalu sibuk bekerja, sampai tak menyempatkan waktu untuk berkunjung ke rumah tantenya. Tiara yang sejak tadi menyaksikan interaksi sebuah keluarga di depan matanya tiba-tiba merasakan getir pada ulu hatinya, ia rindu...rindu keluarganya. Setetes bening lolos dari pelupuk matanya. Adel melepas pelukannya, menghapus jejak air mata yang ada di pipi. “Eh iya Bang, kenalin ini Tiara, teman Adel.” Menggandeng telapak tangan Davin melangkah mendekati Tiara. “Ra, kenalin abang gue.“ “Abang?” tanya Tiara terlihat bingung. “Iya Tiara, jadi Almarhum ayahnya Adel itu adik kandung Mama Youra--Mama Davin.” Bunda Alia memberitahu, Tiara mengangguk faham. Tiara dan Davin saling membatu, tidak ada satupun diantara mereka yang mau menyodorkan tangannya untuk berkenalan, Adel dan Bunda Alia yang melihat keduanya pun heran. Sampai akhirnya Davin mengangkat tangannya terlebih dahulu. “Davin Lee, panggil aja gue Davin.” Davin tersenyum manis menatap Tiara, pandangannya terpaku pada perempuan di hadapannya. ‘ Menarik, ck... gue baru nyadar. Bodóh,’ batin Davin. Tiara tampak acuh tak acuh netranya melihat ke arah lain tidak memandang lelaki di depannya, tapi tetap menyalami Davin. “Tiara,” balasnya . ‘Fix, cowok aneh!’’ Tiara mengumpat dalam hati. Saat kedua tangan itu saling berjabat Davin merasakan ada getaran lain yang mengusik hatinya, debar jantungnya bekerja lebih cepat, ada rasa yang berbeda di dalam sana. *** Seusai shalat ashar berjamaah, Bunda Alia berpamitan untuk istirahat di kamarnya. Davin, Tiara dan Adel asyik mengobrol di ruang tengah sambil menikmati berbagai camilan serta menonton acara di televisi, walaupun obrolan mereka lebih di d******i Davin dan Adel, Tiara lebih banyak menjadi pendengar setia. “Abang tidur sini, kan?” Adel bertanya pada Davin yang duduk disampingnya. Davin menghela nafas pelan. “Lain kali aja ya, Del, nanti Abang balik mess. Besok kan hari Senin, Abang kerja,” jawab Davin. Selama Davin bekerja sebagai marketing di Denka Farma salah satu perusahaan farmasi terbesar di Jakarta, Davin lebih memilih menempati mess yang disediakan kantornya dibandingkan tinggal di rumah orangtuanya, karena memakan waktu yang cukup lama bila harus bolak-balik kantornya ke tempat tinggal orangtuanya. “Halah bohong, alasan Abang aja, paling besok-besok kagak kesini lagi,” cibir Adel. “Abang jan--.” Ting tong ting tong Suara Davin terhenti ketika bel rumah itu berbunyi. Bi Minah berjalan sedikit tergesa dari dapur ke ruang tamu untuk membukakan pintu. Adel bangun dari duduknya.“Biar Adel aja yang buka pintu, Bi Minah berkemas aja, sudah waktunya pulang, kan?“ “Eh, iya Non. Terima kasih,” ucap Bi Minah berlalu ke dapur. Adel membuka pintu, beberapa detik kemudian berusaha menutup pintu kembali tetapi badan seseorang yang ada di depan pintu menahan dan mendorong daun pintu agar tidak tertutup. “Pulang sana, enggak perlu datang kesini lagi!” bentak Adel meninggalkan tamunya. Tidak perduli dua pasang mata memperhatikannya, ia menghempaskan badannya di sandaran sofa, meraih remote TV mengganti channel dengan menekannya keras-keras. Rahangnya mengeras, garis wajahnya tampak menahan kesal. Rafqi ikut duduk disebelah Adel, kedua tangganya menangkup tangan kekasihnya itu. “Maaf Beb, tadi pagi nganterin mama dulu belanja ke supermarket sampe siang,” ucapnya memohon. ‘Katanya lelaki yang sayang ibunya bakal sayang juga sama perempuannya, mana buktinya? Gue sendiri sering dilupakan. Apa karena belum jadi istri jadi semaunya, lah apa kabarnya kalau udah jadi istri?’ batin Adel yang masih setia memandang layar televisi. “Hari ini gue udah kenyang makan ucapan ma’af.” Menampik tangan Rafqi yang berada di punggung tangannya. Davin yang duduk di samping kanan Adel ikut tersentil mendengar ucapan sepupunya itu. “Beb, beneran akhir-akhir ini kerjaan lagi banyak banget. Aku beneran kerja Beeebb, tanya aja Abang Davin biar kamu percaya. Iya kan, Bang?” Rafqi menggerakkan dagu sambil melirik Davin meminta pertolongan. “Iya Del, Rafqi beneran kerja kalau Abang di kantor. Tapi kalau Abang lagi tugas di lapangan mana Abang tau,” jawab Davin santai. “Bangké ya lo Bang! “ Rafqi melempari Davin kulit kacang yang ia ambil dari atas meja. Davin hanya menghindari serangan Rafqi, ia cuek tak membalas. “Eh ada cewek cantik disini .. Hai Tiara,” sapa Rafqi yang semenjak tadi hanya fokus pada Adel, sedangkan di ruangan itu juga ada Tiara. “Hai Kak.” Tiara menarik sedikit sudut bibirnya. Tiara berteman dekat dengan Adel sudah cukup lama, Tiara juga sudah mengenal Rafqi. Tapi Tiara tak mau mencampuri masalah Adel dengan Rafqi, baginya itu privasi terkecuali bila Adel yang bercerita sendiri dan meminta pendapatnya. “Siȧl, lo masih bisa ya ngegoda temen gue!” Adel mencubit lengan Rafqi, gemas. “Aaahh, ampun Beb”. Rafqi meringis kesakitan.” Udah Beeeb, jangan ngambek lagi, aku kerja juga buat kamu Beb. Sebagai gantinya besok sore kita jalan yuk, sepuas kamu, nonton juga boleh,” ucap Rafqi membujuk. Adel nampak berfikir, menimbang-nimbang tawaran Rafqi. Hampir satu bulan ini hubungannya dengan Rafqi sedikit renggang karena kesibukan Rafqi, mereka jarang bertemu. “Ok. Gue mau, tapi Tiara harus ikut, " jawab Adel bersyarat. Sebenarnya ia masih merasa sebal dengan pacarnya. Namun ia juga tidak ingin hubungannya dengan Rafqi tak jelas. “Hah!?” Tiara terkejut, ia menggelengkan kepalanya. Adel memang sering mengajaknya hangout, tapi jika perginya bersama Rafqi, terkadang Tiara menolaknya. Enggan ketika harus mengekor temannya ketika sedang berkencan. Bayangkan saja rasanya menjadi obat nyamuk, hampir sering pula. “Baiklah, enggak masalah, udah biasa. Máin bertiga juga Beb,” ucap Rafqipenuh antusias, mengedipkan mata genit ke Tiara sambil merangkul bahu pacarnya. “Pokoknya lo harus ikut, Ra. Lo habis dinas malam off kan, lo bisa tidur dulu kita perginya sore,” ujar Adel tak ingin dibantah. "Abang juga ikut,” tambahnya menoleh ke Davin yang duduk disampingnya. Davin mengangguk pasrah mengikuti kemauan sepupunya, ia merasa Adel dalam mood yang kurang baik, tidak ingin lagi membuatnya semakin marah. “Ceritanya doubel date nih.” celetuk Rafqi terkekeh. “Tapi Del ak—“. “ Ikut ya ikut, Ra, titik enggak pakai koma Tiara Shahia!” perintah Adel. “Ck..” Tiara mencebik, tangannya meraih ponsel yang berada di atas meja. Ada satu pesan masuk ke nomor ponselnya, Tiara membaca pesan itu kemudian memblokirnya. Sepertinya kekesalan Adel menular padanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD