PART 4 – TEMAN MACAM APA

1671 Words
Hari Senin dimana banyak orang harus memulai kembali aktivitasnya setelah libur. Tapi tidak untuk Tiara karena hari ini jadwal libur kerjanya. Ya, pegawai rumah sakit memiliki jadwal libur yang berbeda dibanding pegawai lainnya. Denting jam menunjukkan pukul tiga sore. Namun, Tiara masih bergelung manis di dalam selimut dan guling yang ia peluk erat. Terlelap tidur di kamar kosnya setelah semalaman menghabiskan malam panjang dengan aktivitasnya di rumah sakit. Saat dinas malam biasanya Tiara dapat beristirahat dengan memejamkan mata hingga tiga puluh menit atau lebih, itu bisa ia lakukan bila situasi sepi tidak banyak pekerjaan dan bergantian dengan rekan kerjanya, sehingga tetap ada yang terjaga. Akan tetapi, semalam begitu banyak sampel pasien dan laporan yang harus dikerjakan, belum lagi telfon dari ruang IGD yang membuatnya harus tetap terjaga hingga menjelang subuh. Disinilah ia sekarang masih setia menempel dengan kasur busanya yang hanya muat untuk tidur dua orang. Tiara hanya bangun sebentar untuk mengganti pembalutnya yang sudah terasa tidak nyaman di tempatnya, kemudian Tiara melanjutkan tidur lagi. Sungguh memang hari libur yang seperti ini yang Tiara dambakan. Tok.tok.tok. “ Raaa, Tiaraaa ...” Suara seorang perempuan terdengar di depan pintu kamar kos Tiara. Tok.tok.tok. Ketukan di pintu kembali terdengar karena tidak ada jawaban dari dalam kamar. “ Tiaraaa, kamu di dalam enggak, sih?” panggil perempuan itu lagi. “Eemmmhhh ...,” gumam Tiara mendengar ada yang memanggil namanya. “Ra, kamu lagi ngapain, sih?” Tiara mengerjap, lalu bangun dari tidurnya, membuka mata perlahan yang masih terasa lengket, matanya mengerjap beberapa kali menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya, menggerakkan badannya untuk duduk di pinggir ranjang lantas melangkahkan kakinya ke arah pintu kamar. Tiara memutar anak kunci lalu menekan handle pintunya. Ceklek, pintu terbuka. “Ada apa, Mbak?” tanya Tiara dengan suara seraknya khas orang bangun tidur saat mengetahui salah satu teman kosnya berdiri didepan pintu. “Ada yang nyari kamu dibawah," ujar teman kos Tiara memberitahu. “Siapa, Mbak? Maaf mbak aku tadi tidur.” Tiara mengusap matanya bergantian. “Mbak enggak tahu, Mbak lupa nanya.” sahut teman kos Tiara. Seakan kesadarannya baru kembali Tiara melihat jam yang menempel di dinding kamar. Seketika tangan kiri Tiara menjambak pelan rambutnya sendiri sedangkan tangan kanannya masih memegang handle pintu. “Waduh Mbak, aku lupa ada janji sama teman aku!” seru Tiara. “Temuin dulu sana, kayaknya udah lama nungguin.” Teman kos Tiara memberitahu seraya meninggalkan pintu kamar Tiara. “Ah ya mbak, makasih.” Tiara menutup pintu lantas bergerak ke tengah kamar mencari smartphone-nya. Setelah mendapatkan benda pipih itu, benar saja sesuai dugaannya panggilan dan pesan dari Adel sudah menumpuk di ponselnya. Demi menyingkat waktu Tiara tidak membaca pesan-pesan dari Adel, melainkan langsung mengirim pesan ke temannya tersebut. Adel [ Maaf banget del, aku baru bangun, tunggu bentar ya, aku mandi dan bersiap dulu. ] Tiara meletakkan kembali ponselnya dan bergegas ke kamar mandi yang ada di dalam kamar kosnya. Tak ingin membuat Adel menunggu semakin lama hanya butuh waktu tiga puluh lima menit Tiara sudah selesai mandi, mengenakan pakaian dan memoles wajahnya dengan pulasan make up tipis, serta memakai jilbabnya. Ia bergerak lancar mengambil tas selempang, melirik sekilas isi dalam tasnya, lalu memasukkan make up pouch , dompet dan ponsel. Mematut kembali bayangan dirinya di depan cermin, dirasa cukup ia kemudian mengunci pintu meninggalkan kamarnya, menuruni anak tangga. Hingga kaki jenjangnya yang tertutup celana soft jeans panjang berwarna hitam hampir di ambang pintu rumah kosnya, Tiara membuka kembali tas selempang yang ia bawa memastikan tidak ada barangnya yang tertinggal karena ia tadi menyiapkannya dengan tergesa. Kedua matanya masih sibuk mengabsen isi tasnya. “Del, maaf nunggu lama ya?” Tak ada jawaban, detik berikutnya Tiara mendongakkan wajahnya dilihatnya seorang lelaki duduk di kursi teras membelakanginya. “Kak Raf--” Ucapannya terhenti tatkala lelaki yang tengah duduk tersebut berdiri dan memutar tubuh menghadap ke arahnya. “Ka...Ab...” Tiara tergagap bingung harus memanggil apa, raut wajahnya nampak terkejut. Nyatanya yang menunggu ia bukan Adel atau Rafqi melainkan...Davin. “Udah siap?” tanya Davin terlihat tenang. “I..iya.” jawab Tiara kaku. “Maaf nunggu lama.” Davin menganggukkan kepalanya. Beberapa tahun yang lalu Davin terbiasa menunggu lama perempuan untuk berdandan, namun kali ini ia harus menunggu perempuan bangun dari tidurnya. Tiara membuka ponselnya tidak ada satu pun pesan Adel yang memberitahu jika Davin yang datang menjemputnya. ‘Teman macam apa dia. Aaahh, kenapa Davin yang datang menjemput. Adel bener-bener butuh di sentil’ batin Tiara. Entah kenapa Tiara masih sedikit dongkol saat mengingat pertemuannya dengan Davin tempo hari. “Ayo.” Davin melangkahkan kakinya menuju ke pagar rumah kos itu, motor naked bike nya terparkir di depan sana. Tiara layaknya anak ayam yang mengikuti induknya, patuh berjalan tepat di belakang Davin. “Kamu enggak masalah, kan, naik motor?” tanya Davin sambil membalikkan badannya menyodorkan helm ke Tiara. Gerakan Davin yang tiba-tiba membuat Tiara sedikit berjingkat mundur satu langkah. “Enggak.” Tiara menggelengkan kepalanya pelan. ‘Mau naik motor, naik ojol, bus, angkutan umum, atau naik bemo sekalipun enggak masalah. Yang jadi masalah adalah dengan siapa dulu.’ Suara itu hanya menggema di hati Tiara. *** “Mereka lama banget, Beb. Apa mereka bikin janji sendiri? Lima belas menit lagi mulai filmnya.” Rafqi nampak mulai bosan menunggu Davin dan Tiara. “Aku udah biasa, Beb, menunggu. Sabar, bentar lagi juga datang," ucap Adel sambil menekankan kata menunggu, yang sukses membuat Rafqi merasa kikuk. Diakui Rafqi kekasihnya ini memang pandai dalam hal menyindir. Adel dan Rafqi memilih duduk di salah satu sudut ruang tunggu cinema. Tak lama terlihat Davin dan Tiara yang berjalan ke arah mereka. Ya, setelah menembus jalanan kota Jakarta yang macet dengan keheningan karena diantara mereka tidak ada yang membuka suara. “Putri tidurnya sudah siuman, nih? Habis ketemu pangeran kodok?” celetuk Adel saat Tiara sudah berdiri di dekatnya sambil memberikan popcorn dan minuman dingin. Rafqi menahan tawanya mendengar ucapan kekasihnya, Davin hanya melirik Adel dengan sudut matanya tanpa berucap, sedangkan Tiara ingin sekali mencabik Adel saat itu juga. Tiara lalu duduk di dekat Adel, melihat Rafqi dan Davin yang asyik ngobrol berdua, Tiara sedikit menyandarkan badannya ke Adel. “Kalau enggak bisa jemput paling enggak biarkan putri tidur ini meneruskan mimpi indahnya, jangan biarkan yang lain mengusik," bisik Tiara tajam. Adel menutup mulutnya dengan satu tangan agar tawanya tidak meledak. Ia pun ikut berbisik. “Kenapa? Lo takut terpesona sama abang gue? Atau mungkin lo emang udah mulai terpikat sama abang gue?” Ia menoleh ke Tiara seraya menjulurkan lidah. Tiara spontan menjejalkan beberapa popcorn yang ia pegang ke mulut Adel. “Si bawel yang suka membual,” cibirnya masih berbisik. Susah payah Adel mengunyah popcornnya, setelah tertelan dengan baik tawa renyah Adel pecah, membuat Rafqi dan Davin memandang heran ke arah mereka. Adel terlihat sangat senang melihat raut wajah Tiara yang sedang cemberut. *** Dua jam sudah mereka habiskan untuk menonton. Jika diberi pilihan Tiara akan lebih memilih melanjutkan tidurnya di kos hingga ia bosan. Film yang dipilih Adel dan Rafqi bergenre horor dengan beberapa pemain berpakaian cukup menggoda. Takut? Sedikit. Yang lebih Tiara takutkan adalah salah peluk atau salah pegang saat ia terkejut melihat adegan film yang sedang berputar tersebut karena ia duduk diantara Adel dan Davin. Bodohnya Tiara sebelum masuk ia sama sekali tidak bertanya film apa yang akan mereka lihat apalagi semua tiket dipegang Adel . Sepuluh menit sebelum film selesai Tiara memilih keluar terlebih dahulu. Rasanya sudah kurang nyaman ia berada di tempat itu. Apalagi sebelumnya tanpa sengaja tatapannya menangkap sepasang sejoli yang duduk di pojok bangku depan mereka membuat adegan sendiri di ruang temaram itu. “Aku mau ke toilet.” Ucap Tiara, berbohong pada Adel. Tiara menunggu Adel yang sedang shalat bersama Davin dan Rafqi, ia menunggu di Restoran all you can it yang masih dalam satu mall setelah membaca pesan dari Adel. “Kenapa lo keluar duluan? Takut lo?” tanya Adel sambil mendaratkan bokongnya duduk di sebelah Tiara, wajahnya terlihat senang mengolok-olok temannya. ”Enggak, hidup aku lebih horor dari film tadi del.” Jawab Tiara ketus, tangannya mengaduk-aduk minuman dengan sedotan lalu menyedotnya. Adel tersenyum lebar. Makanan yang mereka pesan pun datang, mereka makan tanpa bicara. Sesekali tatapan Davin dan Tiara saling bertemu, karena mereka duduk saling berhadapan, membuat Tiara memilih menunduk memainkan ponselnya terkadang mengalihkan pandangan ke arah lain. Hingga tatapannya tertuju pada dua orang paruh baya bersama anak perempuan berusia remaja yang masuk ke Restoran itu kemudian mengambil tempat duduk di seberang meja Tiara, mereka tampak hangat dan bahagia. Hati Tiara terasa nyeri, matanya tiba-tiba terasa panas. Tiara kembali teringat kedua orangtuanya. Sudah satu tahun lebih Tiara tidak pulang, hanya rutin mentransfer uang untuk ibunya dan saling bertukar kabar kepada keluarganya via pesan, telfon, atau video call . Ia merasa teramat rindu dengan keluarganya. Apakah dia termasuk anak durhaka? “Ra?” Adel melirik Tiara kemudian melihat kemana arah pandangan temannya itu. Adel faham, ketika raut wajah Tiara berubah menjadi sendu. “Mmm...” gumam Tiara. Tiara menunduk dua bulir bening lolos dari bola matanya, ia segera menghapusnya. Adel beberapa kali mengusap bahu Tiara, berusaha menenangkan temannya. “Kalau kangen pulang ra, jangan nunggu lebaran kucing baru pulang.” Adel masih bisa meledek. Tiara menghembuskan nafas pelan. ‘Seandainya semudah itu, Del,' batin Tiara. Hening. “Habis ini mau kemana lagi nona-nona?” tanya Rafqi memecah keheningan, menatap bergantian dua perempuan yang duduk dihadapannya. “Belanja.” “Pulang.” Jawab Adel dan Tiara berbarengan. “Astaga.” Rafqi menepuk jidatnya sendiri, ia tidak ingin menolak keduanya. ”Gimana, Bang?” Rafqi meminta pendapat Davin yang duduk disampingnya yang sedari tadi hanya diam. “Terserah kalian aja,gue ngikut," ujar Davin membuat Rafqi berdecak. Adel menunjukkan jam tangan yang melingkar di tangan kirinya tepat ke mata Tiara. Lalu ditepis halus oleh Tiara. “Masih jam tujuh, Ra, kos lo tutup jam sepuluh, kan? Kalau entar kemalaman lo tidur di rumah gue," ujar Adel dengan santainya. “Okeee, ya udah. Tapi nanti aku pulang, besok aku dinas pagi, Del." Tiara mengalah. “Gitu dooong!” Adel mencubit gemas pipi Tiara. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD