Sudah 30 menit lebih aku duduk termenung di salah satu restoran mewah di ibukota. Malam kian larut dan menunggu adalah hal yang sangat menyebalkan. Tapi jika aku memutuskan untuk pulang, sudah dipastikan semua akan sia-sia.
Ini bukan pertama kali mami mengatur kencan buta untukku. Sudah tujuh kali berlalu dan semuanya gagal total. Aku harus meragukan bagaimana definisi ideal yang mami sematkan untuk sederet calon-calon tidak berguna itu. Memang jika dilihat dari segi materi semuanya sangat mapan, entah karena warisan orang tua atau usaha sendiri. Tapi bagiku, perilaku dan tutur kata juga wajib menjadi pertimbangan. Aku tidak suka dengan laki-laki lemah mental, tidak tegas, terlalu bergantung dengan orang lain, annoying, sombong, kurang ajar dan tidak tahu tata krama. Aku bahkan tidak sungkan untuk menampar laki-laki yang berani mengajakku having s*x di pertemuan pertama. Orang-orang seperti itu sebaiknya dikebiri saja.
Jujur, aku tidak suka ide kencan buta seperti ini. Percayalah, aku bukan perempuan yang tidak laku sampai harus mengikuti kencan buta. Aku punya banyak teman dan kenalan laki-laki yang dengan sukarela akan datang kepadaku jika aku memintanya. Tapi yang jadi masalah sebenarnya adalah mami.
Sebagai putri tunggal keluarga pengusaha yang bahkan tidak berniat untuk terjun di bisnis keluarga besarku dan justru merintis bisnis sendiri, mami meminta kompensasi dari sikap membelotku. Aku harus setuju dijodohkan dengan siapapun yang sekiranya akan berguna untuk keberlangsungan perusahaan kedepannya. Jadi, mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus setuju.
Mami bilang, kali ini aku tidak boleh mundur lagi. Sudah cukup aku menolak jejeran pria yang ditawarkannya. Jadi, aku dilarang keras kabur-kaburan lagi. Mami bilang dia bahkan sudah menetapkan tanggal pertunangan kita. Benar-benar tidak masuk akal.
"Maaf, membuatmu menunggu lebih lama, Nona Zelline. Sebenarnya saya tidak biasa tidak tepat waktu. Ada sedikit masalah sebelum datang kemari, mohon memakluminya," ucap Brian penuh sesal lalu duduk di hadapanku.
Brian Cavero—laki-laki 32 tahun, Direktur Keuangan PLC—Salah satu perusahaan properti di Jakarta.
Tampan dan mempesona. Kata-kata yang cocok mendeskripsikan pria di hadapanku ini. Jika ada hibridisasi antara dewa yunani dan penghuni surga mungkin inilah hasilnya. Aku bahkan harus berdiam selama beberapa detik untuk menikmati wajah rupawannya itu sebelum kembali menyadarkan diri sendiri. Aku harus berhati-hati agar tidak terpelosok ke dalam pesona pria tersebut.
"Its okay, Gue rasa setiap orang punya kesibukannya masing-masing." Aku memulai percakapan dengan bahasa informal. Aku tidak ingin memainkan peran menjadi seorang putri atau sekedar mencari muka kepada Brian.
Brian tidak menyahutiku. Dia masih menatapku secara intens. Tatapan matanya sangat tajam dan tengah berusaha menelisik. Apa dia ingin mengulitiku dengan sorot matanya? Yang benar saja.
"Gue harap lo nggak keberatan menggunakan bahasa informal, kita bakal sering ketemu ke depannya dan gue nggak mau sekaku itu sama lo." Sebenernya aku cukup was-was mengatakan hal semacam ini mengingat reputasi Brian yang cukup dingin dan galak di mata koleganya.
Brian tersenyum miring. Ia memanggil pelayan dan memesan hidangan untuk kita.
Sial! Aku ingin mengumpat rasanya. Bagaimana dia bisa mengabaikanku. Oh lebih sialnya lagi Brian terlalu menawan untuk diberi pelajaran.
"Excuse me, Sir! Do you hear me? Or maybe you cant open your mouth? Sayang sekali, ganteng-ganteng kena gejala stroke. Sulit buat mangap ya, Pak?" Aku menyindirnya habis-habisan, aku tahu hal ini mungkin akan memiliki efek buruk nantinya tapi aku tidak bisa tinggal diam diabaikan begitu saja.
Dilihat dari bola matanya yang melebar seketika, sudah sangat jelas Brian cukup terkejut dengan responku. Memangnya apa yang dia harapkan. Memperlakukannya dengan sangat hormat atau menggoda dia habis-habisan? Jangan berharap! Dia sudah mengacuhkanku, jadi balasan yang tepat sebenarnya adalah kata-kata u*****n. Berhubung aku masih baik, kubiarkan saja dulu.
"Oke terserah lo mau diam atau tidur sekalipun gue nggak peduli, tapi paling nggak buka telinga lo lebar-lebar. Oke... pertama, rasanya kita tidak perlu kenalan lagi mengingat kita sudah saling mengenal masing-masing secara tidak langsung. Gue rasa, gue juga cukup populer di antara pebisnis ataupun di media sosial," jelas gue yang terlalu percaya diri, "yang kedua, ini penting banget, gue perlu ngebahas rencana pertunangan kita."
Dia masih diam. Memandangku lebih dalam.
"Menarik. You are look so georgeous, Zelline Mabella, nice to meet you!" ucap Brian tiba-tiba dengan senyum paling menawannya.
Aku mendadak blank, sepersekian detik kemudian aku ingin sekali menyiramkan air ke wajah pria itu. Mulut Brian benar-benar berbahaya.
Beruntung pramusaji segera tiba mengantarkan pesanan kami. Aku harus mengontrol diri.
"Terimakasih sudah repot-repot membuka mulutmu, Bapak Brian Yang Terhormat." Aku menatapnya sinis.
Brian tertawa ringan. "Jadi, mengenai pertunangan. What do you want?"
"Kalo menurut lo sendiri gimana?" tanyaku kembali. Aku penasaran dengan pemikirannya.
"Kerja sama? Kesepakatan pembatalan pertunangan? Pura-pura bertunangan? Actually, i dont have any idea. Hal ini terlalu mendadak menurut gue," terang Brian.
Aku tersenyum simpul mendengar jawabannya. Aku melanjutkan acara memotong steakku sambil sesekali melihat ke arahnya. Harus kuakui Brian sangat menarik. Sepertinya tangkapan mami yang satu ini perlu diapresiasi.
"Zelline... seandainya lo meminta gue untuk bekerja sama dalam pembatalan pertunangan ini gue nggak keberatan," imbuh Brian. Dia hanya memandangiku tanpa berniat menyentuh garpu dan pisau di meja untuk melahap steaknya.
"Kalau gue berpikir sebaliknya, gimana?" Aku bertanya sambil tersenyum miring.
"Maksudnya?" Brian menyipitkan matanya.
"Aku hanya sedang berpikir, jika kita sungguhan bertunangan, bukankah kita akan menjadi pasangan yang serasi? Kenapa harus repot-repot membatalkan hal yang sangat mengundang banyak keuntungan."
Dia berdehem canggung. Sepertinya dia ingin membatalkan rencana pertunangan kita. Oh maaf sekali Brian tampan, aku tidak akan semudah itu melepaskan tangkapan sepotensial Kamu.
"Kita tunangan aja kali, Yan. Gue pikir nggak ada ruginya buat lo ngambil kesempatan ini. Secara fisik, gue luar biasa mempesona, bisnis sudah pasti, saham perusahaan lo dan bokap gue dipastikan naik, dan yang paling penting gue nggak akan ikut campur lebih dalam terkait privasi dan kesenangan lo selama tidak berimbas pada gue," jelas gue dengan santai sekaligus menyombongkan diri. Petuah Ratu Sihir—Mami—sangat berguna di saat seperti ini.
Brian menganga, dia tampak kehilangan kata-kata. Oh My God, He is so cute.
"Sebenarnya, gue nggak keberatan," ucap dia tiba-tiba lalu tersenyum miring.
"Im okay, Zell. Kalau bisa secepatnya aja. Mau tunangan kapan? Bulan depan? Minggu depan?" lanjut Brian lalu meneguk wine dihadapannya sambil melirikku.
Hell you, Sir! Mata lo aja semoga nggak katarak. Tunangan ya ini, bukan dagang koran. Enak banget kalau ngomong.
"Kenapa Zell? Mau test drive dulu?" Brian menyunggingkan senyuman menggodanya.
Wow! Mulutnya!
"Brian!"
Dia tertawa kecil. "Bercanda, Zell. Kaku banget. Garis besarnya aja, Im okay with that. Gue nggak keberatan tunangan sama lo. Lo asik. Kalaupun gue mengelak sekarang, pasti bakal ada Zelline-Zelline yang lain, yang belum tentu semenarik lo."
Indeed. Hal itu juga yang ada dalam pikiranku sekarang. He is absolutely handsome, yang berarti aku bisa memamerkan dia di depan kolega dan teman-temanku. Kekayaan keluarga dia setidaknya cukup untuk membungkam mulut mami. Sejauh yang aku tahu, dia pekerja keras. Bukankah hal tersebut sangat potensial.
"Yan... gue nggak akan menuntut apapun dari lo. Gue hanya ingin mencoba. Kalau pada akhirnya kita nggak cocok atau justru ada yang dapat pasangan lain. Its okay, just lets talk about that. Kita sudah dewasa dan bukan anak remaja yang akan galau berkepanjangan hanya karena suatu masalah. Kita hanya perlu kejujuran dan transparansi. Gue rasa itu sudah cukup." Aku bertutur panjang kali lebar, menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku.
Brian terdiam—tertegun mungkin.
Aku tidak berpikir apa yang aku katakan adalah kesalahan. Hal itu memang benar adanya. Segala sesuatu sudah memiliki proporsi masing-masing. Setiap orang datang dan pergi karena memang alurnya. Jadi, apa salahnya mencoba.
"Zelline..."
"Ya?"
"Kayaknya gue suka deh sama lo."
Damn! Ingatkan aku jika suka yang dimaksud di sini tidak berkonotasi lain dan tidak lebih dari makna aslinya. Aku harus rajin-rajin merapalkan mantra agar tidak hilang kendali nantinya.
To be continued