GM-4- Sian sakit

1028 Words
Sejak malam di mana ia bertemu dengan editor bernama Axen itu, entah mengapa tubuh Sian selalu terasa panas. Bahkan untuk berangkat ke kampus hari ini saja, kepalanya masih terasa pusing sekaligus berat. "Bang? udah mau jam tujuh! gak ngampus hari ini?" Alkana, adik perempuan sian pertama menyembulkan kepalanya di antara daun pintu kamar Sian. Bahkan setelah salat subuh pun, Sian tertidut lagi. Tidak biasanya ia seperti ini. Ia menyentuh keningnya sebentar menggunakan telapak tangan kanan. Rasa panas terasa menjalar di sana. "Abang sakit?" Sian hanya menggeleng pelan seraya berusaha bangkit dari kasur. "Cuma demam dikit. By the way hari ini abang ngampus siang, abis zuhur. Abang mau istirahat bentar. Nanti jangan lupa ke sini lagi buat bangunin abang, ya?" Kana hanya mengangguk - angguk layaknya boneka di dasbor mobil. Sementara Sian sedang beranjak dari kasur menuju kamar mandi, seorang gadis berparas cantik sekaligus manis, dengan lesung pipi di pipi kanan dan tahi lalat kecil di sudut matanya. Gadis itu mengendap - ngendap di ruang tengah rumah sederhana keluarga Ibu Amina, ibu Sian. Tadi malam ia berhasil membujuk bu Amina untuk mengizinkannya kembali menumpang semalam di rumah sederhana namun begitu nyaman bagi Tri. Gadis dengan latar belakang keluaraga broken home itu akan sanggup membuat seribu alasan agar ia tak perlu pulang ke rumah- Ah, lagi - lagi ia terlalu malas dan muak mengatakan bahwa itu sebuah rumah. Bukankah rumah adalah tempat beristirahat yang paling nyaman. Bukankah rumah adalah tempat pulang yang paling dirindukan setiap orang. Bukankah rumah adalah tempat ternyaman melepas keluh kesah dan lelah yang menerpa fisik maupun jiwa. Tapi, kenapa ia tak dapat merasakan semua itu di tempat yang orang - orang sebut dengan rumah. Kenapa semua lelahnya justru bersumber dari sana. Kenapa yang ia rasakan di sana hanya dingin dan gelap. Kenapa tempat yang seharusnya membuatnya merasa lebih baik setelah lelah belajar seharian di sekolah dan di tempat les, malah menjelma menjadi tempat yang hanya menambah lelah dan membuat beban di pundakknya menjadi dua kali lipat lebih berat. Saat gadis itu bergelut dengan pikiran dan hatinya, saat itu juga tak terasa cairan bening itu mendesak keluar dan memenuhi sudut mata kecilnya tanpa bisa ia kendalikan. Langkahnya terhenti di hadapan sebuah nakas yang berukuran sedang terbuat dari kayu jati, di sana terdapat sebuah frame berukuran sedang dan kecil. Menampilkan figur yang sama. Sepasang suami istri dan satu anak lelaki tampan serta tiga anak perempuan cantik duduk di sebuah kursi berwarna putih gading. Mereka tersenyum bahagia. Bukan sebuah foto keluarga yang pada umumnya hanya menampilkan senyuman tipis. Sekadar senyum formalitas. Sejurus kemudian, gadis itu tiba - tiba saja menepuk keningnya seraya meringis. Hampir saja ia lupa kalau ia sengaja mengendap - ngendap untuk mencari letak kamar kecil di rumah ini. Gila. Sepertinya itulah kata yang tepat menggambarkannya. Bagaimana mungkin, ia bisa lupa di mana letak kamar kecil rumah keluarga Sian. Padahal ini sudah menjadi kali kedua, ia berhasil menginap dan bahkan ia pernah menggunakan kamar kecil rumah Sian. Meskipun saat itu malam hari dan ia dalam kondisi mengantuk dengan mata yang setengah terbuka. Buru - buru kakinya melangkah menuju kamar kecil yang untungnya memori ingatan di kepalanya masih bisa mengingat letak kamar kecil rumah ini. Meski membutuhkan waktu yang tak sebentar untuk mengingatnya. Beberapa menit kemudian, gadis itu keluar dari kamar kecil dengan perasaan lega. Hampir saja ia pipis di celana. Memalukan sekali jika itu benar - benar terjadi. Memikirkannya saja sudah membuatnya geli dan jijik sekaligus. Sejak semalam, ia tak melihat Sian. Lelaki itu entah ke mana. Meski ia sebenarnya senang karena Sian tak ada saat ia memelas dan memohon pada ibu lelaki itu, agar ia diizinkan untuk menginap semalam saja. Sebab kalau pada saat itu Sian ada di sana, bisa dipastikan bahwa lelaki itu akan menolaknya mentah - mentah. Ini hari Sabtu, seharusnya ketiga adik perempuan Sian tidak berangkat ke sekolah, bukan. Akan tetapi, kenapa suasana rumah lelaki ini begitu sepi. Apa orang - orang di rumah ini sedang bepergian atau ke mana? Pikir Tri dengan kening berkerut. Selang berapa menit setelah ia menerka - nerka keberadaan orang - orang rumah, tiba - tiba saja terdengar suara ribut - ribut khas suara perempuan. Melengking dan nyaring. "Gue duluan!!! Awas, siapa suruh lo telat bangun!" Seujurus kemudian, muncullah tiga orang gadis yang keluar dari satu kamar yang sama. Lengkap dengan kalimat perseteruan di antara ketiganya. "Tapi ka, Kuna bentar lagi mau dijemput sama temen," rengek salah satu dari mereka yang menyebut dirinya sebagai Kuna. Entah siapa nama mereka sebenarnya. Sebab di mata Tri, ketiga gadis itu memiliki wajah yang hampir serupa. Padahal mereka tidak kembar tiga. Sempat Tri berpikir kalau ketiganya itu, adalah anak kembar tiga. "Ah, Tri? Kupikir kamu udah pulang. Makanya gak kelihatan," sapa Kana kaget saat mendapati gadis cantik seumuran dengannya itu tersenyum kikuk. Sementara Kana sedang menyapa Tri, kedua adiknya, Kena dan Kuna, menyerobot antrian hingga terjadilah pertengkaran di antara keduanya. Tri yang saat itu menyaksikan interaksi kakak beradik itu, seketika merasa hangat dan lirih sekaligus. Hubungan kekeluargaan di rumah Sian benar - benar terasa hangat. Di sisi lain, hatinya terasa sedikit mencelus. Mengingat kenyataan pahit, bahwa kehangatan yang ia rasakan di sini, tak pernah ia rasakan barang sekali saja di tempat di mana ia hidup, selama hampir tujuh belas tahun. Sebuah gedung yang orang - orang sebut rumah, baginya hanyanya sebuah gedung yang tak lebih dari itu. Hampir saja Tri lupa kalau hari ini ia punya janji temu dengan kakak pertamanya, Ka Mon. Untuk itu, ia memutuskan untuk itu mengantri di belakang gadis yang lebih muda sedikit darinya, yaitu Kuna. Adik ketiga Sian. ________ Sian baru saja selesai berkutat memnersihkan kamarnya yang semula berantakkan. Bagaimana tifak, semalam ia bahkan tidur begitu larut demi menyelesaikan revisi proposal penelitian yang sehari sebelumnya ia ajukan pada dosen pembimbing. Belum lagi dengan revisi naskah cerita Sian yang sudah dipinang oleh penerbit. Rasanya kepalanya mau pecah. Lihatlah sekarang! lingkaran hitam mengelikingi matanya terlihat semakin jelas. Pria itu bercermin sebentar lalu mengembuskan nafasnya dengan lelah. Jarum jam beker yang ada di atas nakas itu, sudah bergerak perlahan menuju angka sepuluh. Tak seperti biasanya, pria itu mandi pagi di atas jam delapan. Sepertinya efek kelelahan yang menggelayutinya lah yang membuatnya memilih untuk melanjutkan tidur bahkan setelah salat subuh. _______
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD