GM-3-Tawaran

797 Words
Entah apa saja yang terjadi semalam, yang pasti sekarang gadis itu hanya tersenyum kaku saat ketiga adik perempuan Sian menatapnya lekat-lekat. Apa semalam ia sudah melakukan kesalahan? Pikir Tri seraya mengingat-ingat kejadian semalam. Namun tak banyak yang bisa ia ingat. Sebab semalam ia terlalu lelah bahkan untuk tetap terjaga. Seingatnya, ia sudah tertidur di kafe tempat Sian bekerja. "Kamu bukannya siswi SMA Negeri Krypton?" Tanya salah satu adik Sian. "I-iya. Kok kamu tau? Kamu juga siswi di sana, ya?" "Soalnya teman-teman cowokku pada ngomongin kamu. Kata mereka di sebelah kelas kami ada bidadari yang kesasar di bumi. Awalnya sih aku jijik banget dengarnya. Paling mereka cuma lebay dan gombal. Tapi, setelah aku lihat foto kamu, aku jadi percaya. Kamu cantik banget soalnya. Apalagi kalo liat orangnya langsung kayak gini Hehe. Ah iya, seperti yang aku bilang tadi, kelas kita tetanggan." Seru Kana, adik pertama Sian, dengan antusias. "A-ah kamu berlebihan. Aku gak secantik itu kok." Balas Tri malu-malu kucing seraya menyelipkan anak rambutnya ke sisi telinga. "Abang berangkat dulu!" Seketika keempat gadis yang tengah duduk manis di meja makan itu menoleh ke sumber suara. Sian, lelaki itu tengah menggulung lengan kameja hitamnya sebatas siku lalu membenarkan letak kaca mata yang hanya ia pakai saat ingin kuliah. Tri bahkan hampir ngiler karena terlalu lama menatap lelaki yang terlihat begitu maskulin di hadapnnya ini. "Na? Jangan lupa nanti bilang ke Ibu, Abang malam ini ada janji sama editor. Jadi pulangnya agak telat." Ketiga adik perempuan Sian hanya saling menoleh satu sama lain. Bingung! Siapa yang Sian maksud Na? Bukankah nama mereka sama-sama memiliki akhiran -Na? "Semuanya! Kalian bertiga!" Tambah Sian, seolah paham kenapa ketiga adiknya saling toleh. "Assalamu'alaikum!" Pamit Sian tanpa menoleh ke arah gadis yang entah sampai kapan akan menumpang di rumah kecilnya ini. Yah, Tri, gadis itu masih betah di rumah sang pujaan hatinya ini. Rumah Sian sederhana, tak begitu besar dan juga tidak kecil. Tri merasa sangat nyaman dan tenang berada di sini. Suasana kekeluargaan sangat terasa di dalamnya. Tidak seperti di rumahnya. Bagi Tri, rumah yang ia tempati bersama keluarganya itu tak lebih dari sekadar gedung besar dan tinggi yang diisi oleh manusia-manusia egois. Guratan kekecewaan dan kesedihan nampak jelas di wajah gadis itu tiap kali memorinya memutar kenangan di masa lalu tentang keluarga dan rumah yang tak pernah memberika kehangatan baginya. *** Lelaki itu duduk dengan gelisah. Antara percaya dan tidak percaya, Sian merasa tak yakin kalau orang yang mengaku bahwa ia sebagai editor itu benar-benar akan datang menemuinya di sini. Sian bahkan ragu jika naskah cerita yang selama ini ia publish di Ways itu akan diterima oleh penerbit. Cerita yang ia publish bahkan belum tembus sepuluh ribu reads. Waktu sudah berlalu lima menit lebih dari waktu yang dijanjikan. Sian masih menunggu harap-harap cemas. Sian mulai berpikir kalau dia sedang dikerjai oleh orang yang mengaku sebagai editor itu. Bagaimana bisa Sian percaya dengan begitu mudahnya. Sian tak habis pikir dengan dirinya. Saat ini ia benar-benar membutuhkan uang. Wajar saja jika ia menganggap semuanya adalah kesempatan yang tak boleh ia sia-siakan, tapi jika seperti ini, bukankah ini salahnya karena terlalu berharap kepada makhluk. "Maaf membuatmu terlalu lama menunggu!" Sian terkesiap saat mendapati lelaki dengan perawakan besar tinggi datang menghapirinya. Lelaki itu tampak habis berlari. "Saya tadi mendadak ada urusan yang tak bisa ditunda. Saya sangat menyesal sudah membuat anda menunggu lama." "Tidak apa-apa pak. Saya di sini juga belum sampai lima belas menit kok. Santai saja." "Syukurlah kalau begitu. Oh ya, kenalkan! Saya Axenon, editor dari Ways. Panggil saja Axen!" "Sebelumnya saya ingin tahu, kenapa pak Axen tertarik pada cerita saya? Padahal cerita saya kan belum banyak dibaca? "Maaf, bisa kamu panggil Axen saja? Saya tidak setua itu hingga harus dipanggil 'Pak'." "Ma-maaf pak-eh Axen. Tapi seprtinya umur anda di atas saya. Saya gak enak jika panggil nama saja. Boleh saja panggil 'Bang' atau 'Kak' saja?" "Ya sudah! Senyamannya kamu saja." Setelah perdebatan cukup panjang mengenai panggilan Sian pada Axen, akhirnya mereka dapat mengobrol cukup panjang. Membahas banyak hal yang berkaitan dengan dunia literasi. Terutama mengenai cerita Sian yang akan dipinang oleh sebuah penerbit ternama yang bekerja sama dengan platform Ways. Sian masih tidak menyangka jika cerita yang mulai ia tulis setahun yang lalu, akhirnya membawa berkah baginya. Saat lelaki itu benar-benar membutuhkan pundi-pundi rupiah, Axen datang dengan tawarannya. Jodoh memang gak kemana. Setelah berbincang cukup lama, akhirnya Sian dan Axen berpisah di parkiran kafe. Sian akan pulang ke rumah, sedangkan Axen, lelaki itu tersenyum penuh arti sebelum ia benar-benar berlalu dengan mobil yang dikendarainya. Entah kenapa, namun sekarang Sian seolah merasakan rambut halus di sekitar lehernya meremang. Seolah ia baru saja berpapasan dengan makhluk astral. "Ah mana mungkin!" Sian menggelengkan kepala seraya beristighfar dalam hati. Axen, lelaki itu terlalu manusiawi untuk dianggap sebagai hantui. Pikir Sian dalam perjalanan dengan motor vespa antiknya. *** Tbc...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD